Di petang yang tenang diterangi
matahari yang menghangatkan pula, terdengar sedikit keributan berasal dari
tetangga sebelah, bukan keributan dalam arti perkelahian, hanya obrolan kecil
dengan nada sedikit marah plus sumpah serapah. Tema nya saat itu mengenai para orang tua yang ikut direpotkan karna
permintaan serba aneh dari anaknya yang baru masuk di sekolahnya yang baru, ibu
dan bapak baik hati itu dibuat murka dan ikut diribetkan dengan permintaan ini
itu anaknya untuk keperluan MOS (MASA ORIENTASI SEKOLAH) atau Ospek sebutannya
kalai di peruruan tinggi yang selalu menjadi wacana wajib bagi murid-murid
baru. Peralatan yang dibutuhkan beraneka macam mulai dari pernak-pernik ini,
kaos kaki yang berwarna itu, membawa tanaman ini, dan gaya rambut yang seperti
itu, masih banyak sekali variasinya, tidak hanya biaya-biaya lagi yang keluar
dari kantong sang ortu, tapi mereka masih tetap saja ikut kecipratan repotnya
dan pentingnya dengan ikut mencarikan keperluan sang anak yang harusnya sudah
bisa mengurusnya sendiri. sungguh kreatif sekali para senior itu menyambut
adik-adik barunya disekolah.
MOS hanya satu dari sekian banyak
fase yang harus dilewati peserta didik dinegeri ini dalam proses menamatkan
sekolah, dari mulai sekolah sampai universitas tidak absen ada acara tahunan
ini. Ya judulnya penyambutan, perkenalan, tapi isinya? Who knows... Beragam bentuk acara dan penyebutannya tergantung
tempat dan pelakunya, MOS pun setiap tahunnya seakan tak pernah habis untuk
diperdebatkan, manfaat dan kekurangannya.
Sebagai sebuah bagian dari sistem
pendidikan yang harus dilalui seorang murid, MOS haruslah mengandung unsur
pembelajaran dalam pelaksanaannya, tapi dalam proses dan kenyataannya? Apakah
kita melihat hal itu?.
Tak sedikit orang yang menentang
tak sedikit pula yang setuju pada MOS. Tapi alangkah baiknya kalau kita sedikit
membuka mata hati dan pikiran kalau MOS sudah sangat tidak relevan dan
ketinggalan jaman. MOS dengan segala peraturannya menempatkan anak murid kita
sebagai objek permainan dan keisengan sekelompok orang yang menamai diri mereka
sebagai “senior” saja. Dengan senjata utamanya berlandaskan pada ijin dari
pihak sekolah dan para pemangku kepentingan diatasnya, mereka memperlakukan
adik-adiknya dengan tidak sepatutnya dan tidak mencerminkan etika pendidikan manapun
di negeri ini ataupun dunia ini sama sekali.
Berapa banyak kasus kekerasan,
perkosaan, sampai kematian dari kegiatan perpeloncoan ini? Tak terhitung
jumlahnya. Tetapi masih saja ada orang yang memperdebatkan perlu tidaknya
meniadakan kegiatan semacam ini. Tentu saja jawabannya jelas, kegiatan MOS yang
materi acaranya tidak mencerminkan seperti tujuan utamanya haruslah disudahi
sampai disini. Kalaupun ingin diadakan haruslah disesuaikan dan diatur ulang
sistemnya kembali, dengan pengawasan yang ketat dan kesiapan pihak-pihak yang
bertanggung jawab kalau terjadi suatu pelanggaran.
MOS tidak hanya ada di Indonesia,
hampir di seluruh negara ada, tapi bentuk kegiatannya yang jauh berbeda. Kalu
mau dibandingkan, malu rasanya. Kita yang menyebut diri kita sebagai orang
berpendidikan dan beradab (ada dalam salah satu poin pancasila yang kita
banggakan). Malah menghianati ungkapan sakral itu dengan mengencingi para calon
penerus negeri ini di gerbang sekolahnya sendiri. Ketika di luar negeri sana
mereka para murid baru itu, diperlakukan bak raja dan ratu, disuguhkan pertunjukkan bernilai dari
sekolah barunya, diajak tur keliling sekolahnya, bahkan diperbolehkan orang
tuanya ikut juga, mereka terlihat lebih manusiawi dan memang ia, dibanding
kita.
Kita malah sebaliknya,
memperbudak adik kita sendiri, teman sebangsa sendiri. Apakah sudah sebegitu
dalam jiwa negeri jajahan itu tertanam dalam sanubari generasi penerus bangsa
ini, sampai-sampai keinginan untuk membawahi orang lain itu tak bisa dibendung
sama sekali, gaya petantang-petenteng bak preman jalanan adalah sosok yang
menjadi idaman anak-anak kita, sungguh kita telah lalai menerapkan contoh figur
yang baik bagi mereka kelak.
MOS menjadi buruk karna
panitianya, sistemnya, dan stakeholder nya
tidak mengerti. Mereka tidak menjiwai arti dari perkenalan dan perploncoan
adalah makna yang jauh berbeda. Tidak perlulah kita berlagak bersikap seperti
bos hanya untuk mendapat hormat dari junior kita. Sudah bukan jamannya lagi
main otot atau berperilaku like a bos!
Kita bisa tunjukkan kalau kita bisa menjadi besar tanpa harus mengecilkan orang
lain.
Perkenalan pada program-program,
guru-guru/dosen/kakak kelas, fasilitas sekolah/kampus, kegiatan-kegiatan yang
dapat mendukung hobi dan lain-lainnya memang penting dan harus dilaksanakan,
tapi kalau sudah keluar dari konteks seharusnya, pihak sekolah dan kampus harus
siap bertanggung jawab. MOS tidak harus dihapuskan, tapi penanganannya yang
perlu di reset ulang, tujuannya
diperjelas, dan dihapuskan semua bentuk persyaratan tak masuk akal yang tak
relevan sama sekali dengan isu-isu pendidikan. Kekerasan dalam MOS? Sama sekali
tak usah dipertanyakan lagi itu sudah pasti diharamkan. Kalau saja masih
didapati kejadian semacam itu pemerintah dan sekolah/kampus harus bersikap
tegas sebagai cerminan terhadap perlawanan institusi pendidikan kepada setiap
aksi bullying yang merendahkan
martabat manusia.
Comments
Post a Comment