Skip to main content

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES
Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu:
• Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
• Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
• Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
• Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba¬gai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)
5. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
PART II
• Menurut Aristoteles: di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
    Ajaran Tentang Etika
Aristoteles mengembangkan ajaran filsafat tentag etika.atik aristoteles pada dasarnya serupa dengan etik sokrates dan plato.tujuannya mencapai eudaemonia, kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi ”dalam kehidupan.akan tetapi,ia memahaminya secr realistik dan sederhana, ia tidak bertanya tentang budi dan berlakunya seperti yang dikemukakan oleh sokrates. Ia tidak pula menuju pengetahuan tentang idea yang kekal dan tidak berubah-ubah, tentang idea kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh plato. Ia menuju kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan gendernya, derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup, katanya ,tidaklah mencapai kebaikan untuk kebaikan, melainkan merasai kebahagian. Untuk seorang dokter, kesehatannlah yang baik, baik bagi seorang pejuang kemenanganlah yang baik, dan bagi seorang pengusaha, kemakmuranlah yang baik. Yang menjadi ukuran gunanya yang praktis tujuan kita bkan mengetahui, melainkan berbuat.bukan untuk mengetahui apa budi itu, melainkan supaya kita menjadi orang yang berbudi. 

Dalam penjelasan sebelumnya kita  sudah mengetahui bahwa aristoteles telah menguraikan pendiriannya tentang etika dalam tiga karya yaitu Ethica nicomachea, Ethica eudemia dan magna moralia. Karya terakhir ini umumnya tidak di anggap otentik. Otentisitas Ethica eudemia pada awalnya sering kali di persoalkan,  tetapi sekarang sudah tercapai konsensus antara para ahli mengenai otentisitasnya. Tetapi  Ethica nicomachea agaknya di tulis aristoteles pada usia lebih tua daripada Ethica eudemia, sehingga dapat di simpulkan bahwa dalam Ethica nicomachea kita dapat menemukan pemikiran aristoteles yang lebih matang dalam bidang etika. Dalam buku ini ada empat hal penting yang dapat di ambil dari ajaran aristoteles tentang etika yaitu:
a)    Kebahagiaan sebagai tujuan
Dalam segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan. Ia mencari sesuatu yang baik baginya tetapi ada bannyak macam aktivitas manusia yang terarah pada macam-macam tujuan tersebut. Dan menurut aristoteles tujuan yang tertinggi ialah kebahagiaan (eudaimonia). Disini dapat di catat pula bahwa terjemahan “kebahagian” sebetulnya sedikit pincang untuk menyalin eudaimonia ke dalam bahasa indonesia. Dengan kata eudaimonia orang yunani tidak memaksudkan suatu perasaan subjektif, tetapi suatu keadaan manusia yang bersifat demikian sehingga segala yang harus ada padanya terdaapat pada manusiaa (“well-being”). Dengan pemapaaran tadi maka sudah jelas bahwa yang di maksudkan dengan etika adalah cabang filsafat yang sifatnya praktis bukan teoritis.
Dalam mencapai tujuan ini aristoteles memberikan pendapatnya tentang tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup: 

1.    Manusia harus memiliki harta secukupnya, supaya hidupnya terpelihara. Kemiskinan mengakibatkan perilaku rendah bagi manusia, memaksa ia menjadi loba.milik membebaskan ia daari kesengsaraan dan keinginan yang meluap, sehingga ia menjadi orang yang berbudi.
2.    Alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan ialah persahabatan .menurut aristoteles, persahabatn lebih penting daripada keadilan. Sebab, kalau orang-orang bersahabat,dengan sendirinya keadilan timbul antara mereka.seorang sahabat sama dengan satu jiwa dalam dua orang. Cuma persahabatan lebih mudah tercapai antara orang yang srdikit jumlahnya dari antara orang banyak.semua kita adalah sahabat maka tidak akan ada kemiskinan, karena sahabatnya yang kaya telah meghilangkan kemiskinannya.
3.    Keadilan. Keadilan disini mempunyai dua pengertian. Pertama, keadilan dalam  arti pembagian barang-barang yang seimbang, relative sama menurut keadaan masing-masing. Kedua, keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya, perjanjian mengganti kerugian. ini keadilan menurut hukum.    
b)   Kebahagiaan menurut isinya
Jika kita berasumsi bahwa kebahagian merupakan tujuan yang tertinggi dalam hidup manusia. Maka perkataan ini perlu di klarifikasi kembali, karena hal ini terkait dengan berbagai pendapat manusia tentang kebahagiaan itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa kekayaan itu kebahagiaan, ada yang mengatakan kesehatan itu kebahagiaan, bahkan suatu kebahagiaan adalah ketika kita di hormati oleh sesama.

       Manusia hanya di sebut bahagia jika ia menjalankan aktivitanya dengan baik. Atau, seperti di rumuskan oleh aristoteles sendiri, supaya manusia bahagia ia haarus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan”. Hanya pemikiran yang di sertai dengan keutamaan (arete) dapat membuat manusia menjadi bahagia. Keutamaan menurut rasio, tetapi juga manusia seluruhnya. Manusia bukan hanya makhluk intelektual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu, dan lain sebagainya. Dari sebab itu, sebagaimana yang akan di terangkan sebentar lagi, menurut aristoteles terdapat dua macam keutamaa: keutamaaan intelektual dan keutamaan moral. 
       Akan tetapi dalam hubungannya antara keutamaan dan kebahagian aristoteles beranggapan bahwa manusia belum di katakan bahagia jika manusia menjalankan pikirannya dengan keutamaan  dalam waktu yang relatif singkat atau sesekali saja. Menurut ia manusia bisa di katakan bahagia seutuhnya jika manusia itu dapat menjalankan pemikirannya dengan disertai keutamaan  dalam jangka waktuyang yang cukup panjang. Dengan lain perkataa, kebahagian itu adalah ketika manusia sudah sampai pada keadaan yang bersifat stabil (tetap).

       Selain dalam uraian di atas, masih ada beberapa unsur lagi yang bisa membuat manusia meskipun unsur-unsur ini bukan termasuk pada hakikat kebahagiaan itu sendiri. Agar manusia benar-benar mendapatkan kebahagiaan yang utuh maka perlu juga bahwa dia (manusia) harus merasakan senang dalam menjalankan kebahagian seperti yang sudah di jelaskan di atas. Jadi, mesti ada kesenangan atau rasa bahagia yang subjektif. Dan perlu di garis bawahi kebahagiaan tidak dapat di samakan dengan kesenangan, aristoteles menolak hedonisme, akan tetapi ia mengakui bahwa kebahagiaan tidak akan sempurna jika tidak di sertai kesenangan (hedonis). Selain dari kesenagan yang sifatnya batiniah, maka dalam penyempuraan kebahagian di perlukan juga kesengan yang sifanya lahiriah, seperti misalnya kesehatan, kesejahteraan ekonomi, sahabat-sahabat, keluarga, penghormatan dan lain sebagainya. Pada dasarnya manusia yang kurang dari beberapa hal yang sudah di sebutkan tadi maka akan sukar untuk mendapatgkan kebahagiaan. Kan tetapi perlu di tekankan kembali bahwa kesengan dan unsur-usur lahiriah tidak termasuk hakikat kebahagian itu sendiri melainkan hanya merupakan  syarat bagaimana kebahagiaan itu dapat di capai dan di realisasikan.

Kontektualisasi Ajaran Aristoteles Tentang Etika Terhadap Kehidupan Sekarang
Kondisi masyarakat kontemporer saat ini sudah mulai di gelisahkan oleh berbagai problem kemanusiaan dan ekologi sebagai dampak daru berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kita lihat misalnya dari semarakya seminar-seminar yang membahas tentang pemanasan global, kerusakan sumber air, limbah nuklir dan sebagainya atau mungkin yang lebih mutakhir munculnya dampak dampak dari limbah kebudayaan yang telah mencemari hampir di seluruh kawasan dunia melalui cyberspace . adalah realitas yang tak terbantahkan dari upaya manusia untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.

Pemikiran aristoteles, dalam konteks ini masih mempunyai relevansi pada dimensi-dimensi tertentu hal ini tentunya untuk memberikan solusi terhadap persoalan persoalan yang telah di uraikan tadi. Dalam persoalan persoalan ini, coba kita konteks kan ajaran etika aristoteles tentang keutamaan(arete) dengan keadaan dunia kita saat ini, jika ajaran ini di aplikasikan maka akan memberikan dampak yang sangat baik bagi kehidupan manusia. Sebab, konsep yang di ajarkan oleh aristoteles tersebut berusaha untuk memberikan bingkai dalam berperilaku (kebijakan praktis, phronesis) dan berpikir (kebijaksanaan intelektual, sophia) bagi manusia, dalam konteks sosial (human as zoon politicon) maupun individual (human as zoon logon echon).
Pada aspek lain, pemikiran etik aristoteles yang mengedepankan konsep aktus akan potensi, dapat di lihat sebagai upaya strategis untuk ethos pengembangan diri manusia. Kebahagiaan manusia tidak di ukur oleh bagaimana kita mengejar nikmat (hedonis) tapi tergantung pada seberapa jauh kita telah mengaplikasikan da mengaktualisasikan diri secara bijaksana. Dalam sebuah terminologi yang di berikan erich fromm: kita bahagia bukan karena apa yang kita miliki melainkan karena keberadaan kita dan sejauh aktualisasi potensi kita.
Berkenaan dengan pokok-pokok pemikiran aristoteles tersebut, berikut dapat di berikan beberapa catatan kecil sebagai berikut:

1.    Etika aristoteles yang mengedepankan aspek “kebahagiaan” sebagai finalitas tujuan hidup manusia pada satu sisi mempunyai kemiripan dengan konsep yang terdapat dalam agama islam. Bedanya, bahwa konsep kebahagiaan aristoteles berdimensi “kedisinian” sedangkan konsep kebahagiaan dalam islam mencakup juga dimensi “kedisanaan” atau eskatologis.

2.    Konsep jalan tengah (mesotes) yang di tawarkan sebagai hal keutamaan moral pada satu sisi terdapat kebenarannya wlaupun hal itu merupakan sesuatu yang menyederhanakan dimensi keutamaan moral. Hal tersebut tidak lain karena keutamaan moral mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya mengedepankan aspek mesotes.

3.    Sebagai tokoh aliran teleologis, bagi aristoteles, tindakan adalah betul sejauh mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan. Etika aristoteles ini dapat di golongkan kedalam egososialistik karena yang di utamakan adalah aspek kebahagiaan pelaku dan pada saat bersamaan ia ber-praxis, artinya berpartisipasi dalam menjalankan kehidupan warga polis.

4.    Berpijak dari pemikiran aristoteles bahwa upaya pengembangan diri manusia dapat di tempuh melalui proses self actualization atau aktualisasi diri manusia. Aktualisasi diri pada manusia , menurut aristoteles mencakup dua aspek yaitu aspek intelektual dan aspek sossial. Aspek intelektual dapat di tempuh dengan jalan ber-theoria yaitu mengembangkan secara maksimal kemampuan manusia sebagai makhluk yangt berfikir, sedag aspek sosial dapat di tempuh dengan  jalan praxis yaitu mengembangkan potensi manusia sebagai mahluk sosial.

5.    Habitus (pembiasaan) adalah hal yang sangat penting dalam pembentukan keutamaan bagi manusia, secara intelektual maupun moral. Hal ini berarti bahwa dalam upaya pengembangan diri manusia pembiasaan untuk melakukan  hal-hal yang utama dalam dimensi intelektual dan tindakan adalah hal yang niscaya. Hal ini berarti bahwa untuk membentuk manusia yang berkualitas membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Pembentukan etika aristoteles sebagaimana yang telah di uraikan di atas, meskipun di gagas pada masa klasik ternyata ketika di kontektualisasikan pada zaman sekarang masih mempunyai banyak relevansi dan patut di pertimbangkan bagi upaya pengembangan diri manusia di zaman sekarang. Hal ini dapat kita cermati dari gagasan nya bahwa pengembangan diri manusia baik sebagai makhluk yang berakal maupun makhluk sosial.   



VERSI IMMANUEL KANT
Immauel Kant (1724-1804) adalah seorang filosof Jerman yang berhasil menyatukan pandangan Rasionalisme dan Empirisme lewat pemikirannya yang terkenal dengan sintesis a priori. menurutnya pengetahuan tidak murni berasal dari akal, sebagaimana yang diungkapkan kaum rasionalis, namun pengetahuan juga tidak selalu berdasarkan pengalaman inderawi. Filsafatnya juga dikenal dengan kritisisme yang dilawankan dengan filsafat sebelumnya, yakni dogmatisme. Tindakan kritis beliau yang sangat luar biasa sangat memberikan sumbangan besar bagi dunia pengetahuan.

Untuk memahami konsep pemikiran Immanuel Kant dalam etika, alangkah baiknya jika kita juga sudah mengetahui metode yang di pakai Kant, yakni murni a priori. a priori berarti sebelum pengalaman. Dalam artian ia  masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman atau pemikiran orang lain baik berupa nilai budaya atau adat istiadat suatu masyarakat. Jadi metode Kant adalah murni  deduktif, tanpa memiliki perhatian terhadap pengalaman empiris. sehingga dalam persoalan etika ini memnurutnya prinsip-prinsip moralitas tidak tergantung pada pengalaman sama sekali. Melainkan benar-benar berasal dari kehendak dalam diri, dalam hal ini disebut “ authonomi kehendak”. Jadi kehendak dari dalam diri itulah yang nantinya memberikan hukum, bukan karena faktor dari luar. Dan ia adalah satu-satunya sumber moralitas.
Kant juga membagi akal menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni)dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Bukan berarti keduanya seakan-akan berdiri sendiri dan tidak mempengaruhi, justru  pemikiran Immanuel Kant dalam akal teoritis inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi pandangannya dalam etika, misalnya saja dalam teori sintesis a priorinya.

Etika yang digagas Immanuel Kant berbeda sekali dengan yang digagas oleh filosof sebelumnya. Etika Kant secara hakiki merupakan etika kewajiban yang tidak menuntut adanya kebahagiaan atau faktor-faktor emosi lainnya dari luar. Kewajiban yang murni berasal dari kehendak kita untuk melakukannya tanpa adanya pemaksaan. Selain itu, etika Kant tidak mengharuskan adanya konsekuensi sebagaimana dalam utilitarianisme, justru Kant lebih mengutamakan adanya konsistensi. Sebagaimana yang  ia katakan “ consistency is the highest obligation of a philosopher and yet the most rarely found”. Kant juga percaya bahwa moral tidak dapat di sandarkan kepada kebhagiaan. Kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi yang terjadi jika kita mengandalkan tindakan kita semata-mata hanya untuk kebahagiaan

B.  PRINSIP DAN LANDASAN
Dalam etika Immanuel ada beberapa hal perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
Prinsip good will
Konsep kewajiban (duty)
Imperative hipotesis dan kategoris
Prinsip subjektif/ maxim
Good Will (kehendak baik) & kewajiban (duty)
Moralitas menurut Kant tidak menyangkut hal yang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral itu baik dari semua sisi, tanpa ada pembatasan sama sekali. Secara mutlak kebaikkan itu tetaplah baik, meskipun berkonsekuensi merugikan orang lain. Yang baik tanpa adanya batasan sama sekali menurutnya hanyalah satu, yakni kehendak baik (good will). Kehendak itu selalu baik dan dalam kebaikkannya tidak tergantung pada sesuatu di luar.

Kehendak baik yang dimaksud Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty). Manusia bukanlah roh murni, ia juga mahluk alami yang memiliki dorongan dan terikan hawa nafsu, emosi, kecendrungan dan dorongan-dorongan batin. karena itu manusia  tidak hanya tertarik untuk melakukan perbuatan baik, namun ia juga tertarik melakukan perbuatan jahat. Itulah sebabnya akal budi praktis menyatakan diri dalam bentuk kewajiban. Seseorang dikatakan berkehandak baik apabila ia berkehendak untuk melakukan kewajiban.
Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban, yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati/ belas kasihan dan karena kewajiban. Menurut Kant hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang dimaksud dengan moralitas menurut Kant. [3] selain itu tindakan moral juga harus bersifat sintetik a priori. jujur itu benar ; jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang  dalam akal murni /pure reason , sedangkan benar itu sintesis, karena konsep benar tidak terkandung di dalam konsep jujur. Oleh karena itu ia termasuk sintesis a priori.

Dalam contoh kasus, misalnya saja ketika sedang berlangsung ujian di kelas, ada temanmu yang pintar dan ia ingin membantumu menyelesaikan soal-soal pertanyaan dengan memberikan kertas jawaban. Jika kamu menolak atau mengabaikannya, berarti kamu melakukan tindakan yang benar/ right. Meskipun mungkin saja kamu menolak menerima jawaban itu karena takut ketahuan guru. Mencontek adalah perbutan buruk yang selamanya buruk, walaupun disatu sisi ia menguntungkan karena bisa membuat nilaimu tinggi. Kehendak baik lah yang  akan mendorong kita untuk mengerjakan soal ujian sendiri, tanpa bantuan contekan dari orang lain.

Di awal dijelaskan bahwa  Immanuel Kant bukanlah seorang consequentalist , dalam artian ia tidak melihat konsekuensi dari suatu tindakan, ia adalah seorang yang konsisten bukan konsekuen. Untuk mengukur moralitas seseorang , kita tidak boleh melihat pada hasil perbuatannya, karena belum tentu hasil yang baik menunjukkan bahwa perbuatan itu baik, sebagaimana yang terjadi pada kasus mencontek diatas, meskipun nantinya ia mendapat nilai yang baik padahal di dapatkan dari perbuatan yang tidak baik, yakni mencontek. Oleh karena itu menurut Kant, yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam artian moral bukanlah hasilnya, melainkan karena kehendak baik yang menuntun untuk melakukan kewajiban.
Imperatif Hipotesis dan Kategoris
Imperatif adalah suatu bentuk perintah. Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen) . perintah dalalm arti ini adalah rasional, bukan karena paksaaan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat.

Ada tigamacam perintah menurut Kant :
Keharusan keterampilan yang bersifat teknis, misalnya jika ingin menggunakan kendaraan, entah mobil atau motor, diharuskan mengisi bensin terlebih dahulu
Keharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya jika ingin mengurangi polusi udara, gunakanlah alat transportasi yang bebas polusi, seperti sepeda.

Keharusan kategoris.misalnya selalu berkata jujur, meskipun dalam keadaan terdesak.
 Keharusan 1 dan 2 adalah keharusan yang tidak mutlak, dalam artikan jika anda ingin menghendaki x maka saya harus melakukan y. Jadi kedua keharusan itu dilakukan hanya mempertimbangkan resikonya saja, bukan karena murni kewajiban itu sendiri. Inilah yang disebut kant dengan “imperatif hipotesis”. Sedangkan keharusan yang ketiga adalah keharusan yang mutlak, tanpa syarat. Imperatif ini mengharuskan kita untuk melakukan apa yang wajib tanpa syarat dan bersifat niscaya yang disebut juga “imperatif ketegoris”.

Salah satu bentuk imperatif kategoris yang paling sederhana adalah “ betindaklah secara moral !” itulah perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya. Disitu terlihat bahwa moralitas tidak tergantung pada berbagai konsekuensi perbuatan, melainkan berlaku dimana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa terkecuali sama sekali. Adapun rumusan imperatif kategoris Kant yang paling terkenal adalah “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”

Maxim (prinsip subjektif)
Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap  dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap  dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Dimanapun kita berada itu tidak terlepas dari suatu tindakan. Jenis tindakan apa yang kita pilih disesuaikan dengan keadaan. Kita melakukan tindakan karena alasan. Ada yang ingin memutuskan suatu perkara karena memang ingin membela kepentingan pribadinya, adapula yang tetap memikirkan kepentingan orang lain, jadi maksim itu dapat baik dan juga tidak baik.

Oleh karena itu untuk mengetahui prinsip-prinsip mana yang bermoral dan mana yang tidak, kembali lagi ke dalam imperatif kategoris. Rumusan itu mengatakan bahwa kita bertindak sesuai dengan kewajiban  yang sesuai dengan kehendak kita, namun hal itu tidak hanya berlaku bagi kita melainkan berlaku bagi semua orang , semua mahluk rasional yang ada di dunia. imperatif ini disebut juga prinsip penguniversalisalian. Ia adalah suatu prinsip yang mana suatu tindakan dapat dinyatakan benar jika ia memang dapat diberlakukan kepada semua orang.

Kant merumuskan tiga macam imperatif kategoris:
Hukum universal
Mengingat kedaan realitas menurut hukum umum dalam pengertian formal Kant adalah sama dengan alam, maka imperatif kategoris juga berbunyi “ bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjdi hukum alam umum”
 Manusia merupakan tujuan dirinya sendiri
Imperatif kategorisnya berubah bentuk menjadi “ bertindaklah sedemikian rupa, sehingga engkau memakai umat manusia, baik dalam pribadimu, maupun dalam pribadi setiap orang lain, selalu juga sebagai tujuan, tidak pernah hanya sebagai sarana.”
Dalam hal ini dalam kehidupan sehari-hari kita juga pastinya berinteraksi dengan orang lain  (hablumminannaas) yang mana kita harus perlakukan manusia dengan baik.
Berbuat seperti dalam kerajaan Tuhan
Imperatif kategorisnya berbunyi “ semua maksim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin, satu kerajaan alam.”
Dari berbagai prinsip dan landasan etika kant yang disebutkan di atas, Menurut saya, inilah peta pemikiran etika Kant :

http://duniaonme.blogspot.com
http://erniritonga123.blogspot.com
http://hiburan.kompasiana.com/buku/2010/03/12/belajar-hidup-bermutu-dari-aristoteles/
http://www.darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19

DAFTAR PUSTAKA
Kees bartens, 1999. Sejarah filsafat yunani, Kanisius, Yokyakarta.
Atang abdul hakim, beni ahmad saebani, 2008. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi, Pustaka Setia, Bandung.
Mohammad Hatta, 1986. Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta.
Ahmad Syadali dan Mudzakkir, 2004. Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung.
Ali Maksum, 2009. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Ar-Ruzz Media, Jokjakarta.
Achmadi, asmoro. 2001. Filsafat umum. Jakarta, grafindo persada.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y