Hari ini kita mendengar
kembali ada sekelompok orang bersenjata yang menyerang sebuah pameran seni
anti-Muslim di Curtis Culwell Centre, di Garland, Texas. Dua pelaku yang
ditembak mati (menurut berita online) marah karna di pameran itu penyelenggara
menggelar pameran kartun Nabi Muhammad SAW. Tidak sama sekali membenarkan aksi
brutal tersebut, tidak pula mendukung pameran tersebut, bahkan penulis pribadi
menentangnya, tapi seharusnya hal seperti ini sudah bisa diprediksi akan
terjadi. Mana ada orang yang rela sosok yang sangat ia hormati dan puja
direndahkan martabatnya. Tentu saja ini menimbulkan amarah bagi umat muslim
sedunia, tapi entah mengapa kegiatan semacam ini masih saja tetap diadakan. Bagi
umat muslim ini merupakan suatu penghinaan besar, karna dalam keyakinannya sangat
tabu dan haram hukum memvisualkan wujud Rasul Allah itu dalam bentuk apapun.
Tapi kejadian semacam ini bukanlah yang pertama, seperti yang kita tau sekali
lagi sebelumnya aksi yang sama menimpa pada Majalah satir Charlie Hebdo di
Paris Prancis Januari tahun ini yang diberondong peluru kantornya oleh sekelompok
orang bersenjata hingga menewaskan 12 orang, motifnya sama mereka tidak senang
dengan penebitan majalah itu yang sering memuat karikatur Nabi Muhamma SAW yang
bernada melecehkan cenderung merendahkan nabi yang sangat dicintai oleh umat
muslim itu. Jauh sebelumnya Seperti di 2006 lalu, terjadi aksi protes terhadap
harian Denmark, Jyllands-Posten yang menerbitkan kartun yang menyindir Nabi
Muhammad SAW.
Inikah demokrasi yang
diagung-agungkan barat itu? Mereka berkarya dan mempublish sesuatu semaunya
atas dasaar kebebasan berpendapat, tidak peduli yang menjadi objek pemberitaan
dan karya seni mereka itu sesuatu yang dianggap tabu atau sensisitf atau bahkan
dilarang bagi sebagian orang dengan latar belakang tertentu, baik agama, ras
maupun alasan lainnya dibelahan dunia yang berbeda yang seharusnya dihormati. Bukankah ini inti
dari nilai-nilai demokrasi? Menghormati perbedaan dan keyakinan setiap orang.
Mereka seakan bersembunyi dibalik-nilai-nilai demokrasi yang mengagungkan
kebebasan atas segala pelecehan yang selama ini mereka lakukan terhadap
kelompok tertentu yang selalu mendapat stigma negatif di negara mereka terutama
dari media nya.
Demokrasi hingga kini
menjadi sistem pemerintahan yang paling banyak dipakai di dunia, telah
menumpahkan banyak darah orang-orang yang menjadi martir dalam usaha membawa
nilai-nilai yang ada dalam demokrasi itu kedalam negara mereka. Tapi nilai-nilai
agung yang dibawa demokrasi itu yaitu kebebasan sepenuhnya bagi setiap individu
untuk berbicara, berkeyakinan, berserikat dan sebagainya telah disalah artikan
oleh sekelompok orang yang mengklaim sebagai bapak demokrasi dunia. Mereka melabrak
itu semua, atas dasar kebebasan berpendapat dan mengekspresikan opini mereka
lewat seni yang sungguh kebablasan. Wajar kalau akhirnya ada pihak-pihak yang
merasa berang dengan ketidakacuhan terhadap kesensitifan masalah ini. Tragedi
Charlie Hebdo merupakan luka mendalam bagi dunia jurnalistik juga sekaligus
peringatan besar, masalah agama atau keyakinan tidak bisa diganggu gugat atas
dasar nilai kemanusiaan apapun. Sungguh mereka tak mengambil pelajaran.
Jangan kita berlindung
dibalik hukum yang diciptakan manusia. Sungguh penistaan pada suatu agama,
simbol agama, merupakan suatu kejahatan yang tak bisa ditolerir. Karna tidak
lagi mengindahkan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang ia anggap suci dan
berkekuatan maha segalanya. Orang barat yang terkesan tidak percaya Tuhan,
selalu berbuat semaunya dan tidak mengindahkan nilai-nilai tradisi, agama,
maupun sosial yang bisa saja dan pasti ada perbedaan dengan yang mereka anut
dan mereka anggap benar di negara mereka.
Ini seakan membuka luka
dan sejarah lama mengenai keserakahan dan kesewenang-wenangan Barat dalam hal
ini adalah Eropa dan Amerika terhadap kekayaan yang terdapat pada apa yang
mereke sebut “dunia ketiga”. Kita semua tahu eropa dan Amerika adalah pihak
yang paling getol menyuarakan nilai-nilai demokrasi pada awal penyebaran paham
ini, dan ironisnya ini mereka lakukan di negera jajahan mereka. Ya penjajahan,
adalah bentuk nyata dari perbudakan yang mana bertentangan sangat dengan nilai
demokrasi itu sendiri. Mereka menuntut kebebasan bagi setiap individu tapi
mereka masih memegang cambuk ditangannya yang berlumurah darah orang-orang
pribumi yang mereka raup sumber daya alamnya untuk kekayaan negeri mereka
sendiri, kemudian ditnggalkan negara jajahan yang sudah sengsara itu dengan
lubang luka yang mengangan lebar.
”penjajahan
Barat diawali oleh pemburuan akan rempah-rempah Nusantara, terutama Maluku,
dikembangkan melalui pengacak-acakan (kacau-balau) seluruh dunia non-Barat,
untuk dapat membawa segala yang berharga ke dunia barat. Yang teracak-acak
bukan saja mengalami perkosaan pelembagaan budaya, lebih dari itu adalah
pemiskinan yang sistematis. Pada pihak lain Barat semakin membengkak dengan
kemajuan, kekuasaan, keilmuan, dan teknologi dengan bangsa-bangsa jajahan
sebagai landasan percobaan. Doktrin-doktrin yang membenarkan penjajahan
dilahirkan di Barat yang semua merugikan pihak bangsa-bangsa yang dijajah.”
Sikap
dan peran kaum intelektual di dunia ketiga –Pramoedya Ananta Toer
Tidak ada asap kalau
tidak ada api. Tidak akan terjadi penyerangan yang berujung pada aksi teror dan
pembunuhan kalau tidak ada pameran atau apapun itu yang bersifat melecehkan
keyakinan beragama umat tertentu. Atau jangan-jangan ini suatu kesengajaan,
untuk terus merusak citra umat muslim melalui pemberitaan media mereka yang
selalu menyudutkan Islam dengan kekerasan dan sebagainya. Wallahua’lam bisshawab…
Comments
Post a Comment