OLEH ; EZA AHIM IKI
21 February 2014 at 22:52
Tahukah anda bahwa pada tanggal 1
Februari 1887, daerah yang kini bernama Hollywood baru saja didaftarkan secara
resmi ke Kantor Pencatatan Daerah Los Angeles (county recorder's office of los angeles).
Hollywood saat itu luasnya sekitar 160 Ha dimiliki oleh pebisnis property,
Harvey Wilcox.
Harvey yang lumpuh akibat polio
berangan-angan bahwa tempat yang ia beli ini akan menjadi daerah khusus bagi
komunitas Kristen yang saleh. Sebuah kota kecil utopis dimana kaum Kristen
dapat hidup dengan moral yang terjaga dan jauh dari hal-hal jahat seperti
minuman keras. Dengan harapan sedemikian, Harvey dan istrinya Daeida memberi
nama daerah tersebut “Hollywood”.
Sayangnya waktu memupus harapan
Harvey. Alih-alih menjadi kota utopis dimana kaum Kristen dapat hidup dengan
ketaatannya, Hollywood menjelma menjadi industry raksasa perfilman yang penuh
dengan fantasi, nuansa glamour, dan aktor serta aktris ternama.
Selain dari sekelumit fakta sejarah
tentang asal-usulnya, Hollywood sebagai salah satu sentral industry film dunia,
rupanya tidak hanya menampilkan hingar-bingar prestise dan gengsi yang menawan
mata jutaan orang. Tapi dibalik itu semua, muncul kritik keras tentang isu
kreatifitas.
Sequel, Adaptation, Remake, Ripoff
Siapa yang tidak kenal agen 007,
tokoh intelegent rekaan karya Ian Fleming ini sudah bolak-balik masuk layar
lebar sebanyak 23 kali. Dengan 7 orang pemeran dan 15 director yang berebeda,
serial agen 007 ini terbilang cukup sukses mempengaruhi perkembangan kultur
pop, terbukti frase “Bond…James Bond” menjadi frase yang catchy dan marak
digunakan khalayak.
Larisnya sosok Bond dengan beraneka
gadget dan wanita-wanita cantik yang menyertainya tanpa kita sadari
meninggalkan tanda tanya besar. Apa yang kita dapat setelah menyaksikan sepak
terjang sang agen intelejen ini?
Hiburan?, jawaban yang terlalu klise
untuk menjelaskan bagaimana mungkin masyarakat ini bisa dengan konstannya
menikmati 23 serial James Bond yang terus diulang lewat berbagai media. Belum
lagi jika kita melihat lebih dalam bahwa nyaris tidak ada perubahan konsep dari
seluruh film Bond. Dan juga tanpa kita sadari, bukan hanya seri 007 saja yang
terus diulang dengan sedikit tambahan kecil disana-sini, tapi hampir rata-rata
semua film Hollywood.
Sequel, adaptation, remake, ripoff
adalah istilah-istilah perfilman yang bisa disederhanakan pengertiannya dengan
konsep “daur ulang”. Artinya, cukup kumpulkan materi dari berbagai sumber yang
sudah ada (film, komik, game, novel dll), padu padankan satu sama lain dan
jadilah film baru.
Banyak contoh film-film lainnya yang
secara konsepsi isinya hanyalah pengulangan dari ide-ide yang sudah ada
sebelumnya. “Avatar” garapan James Cameron mungkin jika dilihat dari genre
fiksi ilmiah akan terlihat seolah-olah produk revolusioner.
Tapi jika kita lihat isinya, film
“Avatar” tidak lebih dari pengulangan film-film sebelumnya seperti “The Last
Mohicans”, “The Last Samurai”, “Dances with Wolf”, dan bahkan “Pocahontas”.
Bersama film-film tersebut, “Avatar” masuk dalam sub genre dengan konsep “sorry
about colonialism”.
Contoh diatas belum mencakup
film-film superhero yang hampir muncul setiap tahun dan tentunya dengan alur
yang nyaris itu-itu saja.
Budaya Pop, Media Massa dan Hegemoni
Pemikiran
Ada beberapa latar belakang penting
untuk dipahami bersama agar dapat menjawab pertanyaan mendasar, soal mengapa
kebesaran Hollywood tidak membuatnya menjadi lebih “kreatif”.
Pertama kita perlu menelisik kondisi
sosial dan budaya masyarakat Barat diakhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Pada
era ini, Barat mulai merasakan pergeseran besar dalam kehidupan sosial dan
budaya. Jika sebelumnya ada agama dan keluarga yang menjadi salah satu pilar
integrasi sosial, Barat yang sudah kadung jatuh hati dengan visi sekular
liberalnya justru meninggalkan dua hal tersebut.
Efeknya individualism, anonimitas
personal, dan isolasi sosial pun tak terhindarkan. Sadar bahwa mereka butuh
“pengikat” sosial baru, para sosiolog Barat melihat bahwa media massa memiliki
kapasitas sebagai “penghimpun” masyarakat sekular.
Bersama dengan kondisi sosial
masyarakat Barat yang pecah berantakan, media massa dengan kemampuan
komunikasinya yang luas melahirkan fenomena budaya baru yang kemudian kita
kenal dengan budaya pop atau pop culture. Dalam budaya pop, masyarakat tidak
terikat atas dasar ikatan paradigmatis. Dalam budaya pop semua dianggap
bersaudara asal sama-sama menunggang motor scorpio misalnya, atau kehormatan
tidak lagi terikat pada adab dan budi pekerti, tapi dari seberapa mahal
restoran yang sering kita kunjungi.
Sayangnya, Barat tidak berhenti di
barat saja. Sebagai pemenang Perang Dunia II, Amerika menjadi duta besar Barat
untuk seluruh dunia dengan penguasaannya yang besar terhadap ilmu-ilmu sosial
dan media massa. Hegemoni menjadi tidak terelakkan dan negara-negara yang
dianggap kurang maju akan ditekan baik secara langsung atau tidak langsung
untuk ikut pola sosial dan media massa karya Barat.
Remake Hollywood dan Hubungannya
dengan Hegemoni Pemikiran
Penjelasan antara kondisi sosial,
media massa dan hegemoni pemikiran diatas sejatinya memiliki kolerasi penting
dengan konsistensi Hollywood mendaur ulang ide-ide dalam setiap filmnya.
Kolerasi yang paling mudah dilihat adalah bahwa Barat yang diwakili oleh
Amerika tidak pernah menginginkan hegemoninya digoyang dengan ide-ide serta
pemikiran yang kontra.
Disini, film-film Hollywood sebagai
media massa berperan mempertahankan hegemoni Amerika dengan terus menggulirkan
isu yang itu-itu saja. Perbedaan, perubahan gaya yang tidak signifikan serta
atribut-atribut tambahan hanyalah bentuk pengelabuan.
Dalam film “World War Z” tahun lalu,
Brad Pitt yang berperan sebagai perwakilan PBB dengan heroiknya menyelamatkan
seorang tentara wanita Israel dari infeksi zombie. Alegori-alegori semacam ini
akan terus dipertahankan, sebagai public relation atau humas dari Amerika
Serikat, Hollywood akan terus “mengkomunikasikan” kepentingan Amerika ke
seluruh dunia.
Pemuda Indonesia dan Kreativitas a la
Hollywood
Hollywood yang tidak “kreatif” itu
sayangnya masih dianggap sebagai kiblat pemuda-pemuda kita. Bisa kita lihat
dengan mata gamblang berapa banyak remaja Indonesia yang gandrung dengan cerita
cinta sekelas sinteron macam “Twilight Saga”, atau malah gemar dengan sosok
playboy arogan macam Tony Stark?
Budaya pop yang menjangkiti
pemuda-pemuda kita inilah yang membuat mereka krisis identitas, karena di umur
yang sedemikian, pemuda kita yang rapuh ilmu agamanya dan rentan ikatan
keluarganya ini akan mudah terseret arus mengidolakan figure yang bahkan sangat
tidak bagus.
Celakanya, Hollywood bukan
satu-satunya “tangan” yang mengontrol dan memastikan budaya pop menyebar secara
massif ke seluruh dunia. Lewat dunia akademik kita dicekoki konsep-konsep sekular
liberal, sementara budaya kita dikepung informasi satu arah menuju budaya
popular. Jika kita masih bergerak lambat dan bersikap acuh tak acuh, mungkin
anak-anak kita nanti akan memanggil orangtuanya dengan nama langsung, seperti
yang dicontohkan film-film Hollywood itu.
Kreativitas itu sejatinya tersimpan
dalam nilai dan makna, kalau Cuma ahli visual effect, CGI, dan 3D, serahkan
saja itu semua pada robot. Manusia menjadi mulia bukan karena tampilan tiga
dimensinya.
[1] . Kirby Ferguson. everythingisremix.info
[2]
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, terj. Putri Iva Izzati
(Jakarta:Penerbit Salemba Humanika, 2012)
[3]
J. Tunstall, The Media were American, (Oxford: Oxford University Press,
2007)
Wallahu a'lamu bisshowwab
Comments
Post a Comment