JAKARTA- Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP)
mengajak seluruh masyarakat untuk menandatangani petisi yang ditujukan kepada Komisi
Penyiaran Indonesia melalui http://change.org/kpibekerjalah.
Hal ini menjadi sangat penting karena menjelang Pemilu 2014, isi televisi
kita disesaki wajah-wajah pemburu kekuasaan. Dalam siaran bernada kampanye
politik tersebut, mereka tampil dalam berbagai bentuk, baik secara terselubung
dalam tayangan berita maupun terang-terangan dalam iklan dan kuis. Para
pemiliik stasiun TV, yang adalah petinggi partai politik, menggunakan medianya
masing-masing untuk kepentingan kelompoknya, tanpa kesadaran bahwa mereka
sedang bersiaran menggunakan frekuensi milik publik.
Pada TV
One dan ANTV, iklan Aburizal Bakrie tumpah ruah. Surya Paloh dan Partai Nasdem
mendapat peliputan yang banyak dan dengan durasi yang tak wajar di Metro TV.
Pada RCTI, MNC TV, dan Global TV, Wiranto dan Hary Tanoe dari Partai Hanura
membombardir layar kaca kita dengan wajah dan suaranya.
Para caleg Hanura menjadi “bintang tamu” dalam Kuis Kebangsaan. Bahkan, Pemred
RCTI, Arief Suditomo, adalah caleg Hanura untuk Dapil Jabar 1. Begitu pun Arya
Sinulingga, Pemred Global TV, yang adalah Wakil Ketua Bapilu Hanura.
Hal ini tambah memprihatinkan karena TVRI sebagai TV Publikjustrumenunjukkan malfungisnyadengan menjadi
corong beberapa partai politik. Tercatat Demokrat, PAN, dan Golkar pernah
memakai TVRI untuk menyiarkan acara internal partai dengan durasi yang tak
wajar. Di luar catatan tersebut, kampanye terselubung melalui siaran berita,
iklan, atau bahkan adzan maghrib juga perlu diawasi. Yang lebih menyedihkan:
Tantowi Yahya, anggota Komisi 1 DPR yang mengurusi bidang penyiaran, justru
berjoged dan bernyanyi memuja Aburizal Bakrie dalam sebuah tayangan di TVRI.
Di hadapan situasi demikian, demokrasi jelas tengah mendapatkan ancaman.
Publik akhirnya hanya mendapat informasi yang berat sebelah. Media yang tidak
independen sebenarnya tidak hanya merusak dirinya sendiri, tapi juga merusak
akal sehat dalam kehidupan negara demokrasi. Alih-alih mendewasakan pendidikan
politik warga, stasiun televisi macam demikian justru menjadi mesin penghancur
kewarasan logika publik. Lucunya, stasiun televisi tersebut justru menolak
diatur.
Ironisnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang punya tanggung jawab
menertibkan dan menindak berbagai pelanggaran oleh stasiun TV malah lambat
dalam bekerja. Eksploitasi media oleh pemiliknya yang sudah dilakukan jauh-jauh
hari, baru direspon KPI baru-baru ini (Desember 2013). Padahal, keresahan publik butuh
diredam dengan sikap KPI yang lebih tegas dan berani menindak para perampas hak
publik.
KPI bisa menggunakan UU Penyiaran No. 32 yang menyatakan bahwa lembaga
penyiaran yang menggunakan frekuensi publik tidak boleh digunakan untuk
kepentingan sektarian. Pun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai
aturan kampanye yang hanya dibolehkan pada 21 hari sebelum masa tenang dan
pembatasan jumlah iklan kampanye politik per hari.
Belum usai keprihatinan publik atas tayangan sampah murahan penuh kekerasan
dan pengabaian akal sehat yang ada di 10 stasiun TV swasta Jakarta bersiaran
nasional, kini limbah lain sudah memenuhi layar kaca: para pemburu kekuasaan.
Maka, sebagai pemilik frekuensi publik harus merebut kembali haknya atas
informasi yang benar, bermutu, dan mencerahkan kehidupan. Dan ini harus
dilakukan sekarang dan segera.
Denganhormat,
EkoMaryadi, 0811-852-857
Koordinator KIDP
Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran:
AJI Indonesia
| AJI Jakarta |
PR2Media | Remotivi
|Rumah Perubahan | LBH Pers
| Yayasan TIFA |
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
| AJI Bandung |
AJI Yogyakarta | AJI Semarang |
AJI Denpasar | Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia
Comments
Post a Comment