Banyaknya konflik yang terjadi
belakangan di belahan bumi pertiwi ini tak nyana melemparkan isu kontroversial
yang katanya itu merupakan buah dari ketidaksiapan masyarakat kita pada sistem
demokrasi yang dianut negeri ini terlebih sejak peristiwa 98. Kurang nya
pengertian dan pikiran yang tidak dewasa disinyalir sebagai penyebab utama
lahirnya tindakan-tindakan anarkis
masyarakat dalam merespons setiap isu di lingkungannya dengan
mengatasnamakan kebebasan menyuarakan pendapat.
Tak ayal situasi seperti ini
menumbuhkan kembali pertanyaan, apakah bangsa ini sudah benar dan siap dalam
menerapkan sistem demokrasi yang lahir dari revolusi prancis ini kedalam sistem
ke-bhinekaan negara kita?
What is ur Democrazy??? |
Salah satu bapak pendiri bangsa ini
ternyata pernah mengutarakan suatu pandangan menarik seputar sistem demokrasi
yang dulu digadang-gadang paling pas dengan bangsa Indonesia muda. Moh. Hatta
dengan tegas membedakan esensi demokrasi barat sebagaimana yang digagas
Rousseau dengan “konsep kedaulatan rakyat” atau demokrasi ala indonesia,
sebagai berikut ;
“demokrasi
barat yang dilahirkan oleh revolusi prancis tiada membawa kemerdekaan rakyat
yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Sebab itu
demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya,
yaitu kedaulatan rakyat. Haruslah adapula demokrasi ekonomi, yang memakai
dasar, bahwa segala penghasilan yang mengenai penghidupan oranag banyak harus
berlaku dibawah tanggungan orang banyak juga. Volkssouvereiniteit (demokrasi barat) yang dianjurkan oleh Rousseau pincang dan
menyimpang jalannya, tiada membawa kedaulatan kepada rakyat, oleh karena ia
berdasar pada individualisme.
Keterangan diatas semakin menguatkan
opini bahwa semangat individualisme tidak dapat sesuai dengan cita-cita kedaulatan
rakyat, yaitu rakyat adalah raja dalam menentukan nasibnya sendiri. Menjadi
negara mandiri yang membuat keputusan untuk rakyat nya sendiri tanpa mengadopsi
ideologi negara-negara asing.
Moh. Hatta melalui pernyataan nya
diatas hanya ingin menegaskan bahwa demokrasi yang ingin dijalankan oleh negara
indonesia adalah bentuk demokrasi yang berorientasi pada kolektivitas bukan
“demokrasi barat” yang berorientasi kepada individualisme kemudian
menstrukturkan kapitalisme dan menanam kemegahan autokrasi dalam perekonomian ;
menurut Hatta pula, demokrasi kapitalis tidak mencegah “I’ exploitation de I’ homme par I’ homme”. (eksploitasi manusia
atas manusia lainnya, manusia yang satu menjadi ‘sarana’ atau alat yang tidak
beridentitas manusia lagi bagi manusia lainnya yang tengah memiliki kekuasaan).
Aristoteles membagi bentuk-bentuk
negara berdasarkan jumlah orang yang memerintah kedalam tiga bentuk :
1. Monarki/kerajaan, yaitu
pemerintahannya dilaksanakan oleh satu orang untuk kepentingan seluruh rakyat.
Apabila orang yang memerintah kemudian melaksanakan pemerintahan untuk
kepentingannya sendiri maka bentuk monarki berubah atau merosot menjadi
tirani/diktator.
2. Aristokari. Yaitu pemerintahan oleh
sekelompon orang misalnya para ahli filsafat atau para cendekiawan yang
merupakan orang baik-baik, dan melaksanakan pemerintahan untuk kepentingan
rakyat. Apabila sebaliknya maka bentuk aristokrasi akan merosot menjadi
oligarki. Apabila untuk kepentingan orang-orang kaya bentuk pemrosotannya
adalah plutokrasi.
3. Politeia, yaitu pemerintahan oleh
seluruh orang untuk kepentingan seluruh rakyat. Apabila pemerintahan
dilaksanakan oleh orang-orang yang sama sekali tidak tahu masalah pemerintahan,
bentuk pokiteia akan berubah merosot menjadi Demokrasi. (menurut Polybios,
bentuk negara ideal yang ketiga bukan Politeia tetapi Demokrasi, dan bentuk
pemrosotannya adalah Mobokrasi (pemerintahan yang chaotic, inilah sepertinya yang sedang dialami bangsa kita sekarang).
Comments
Post a Comment