Karen Armstrong and Charter for Compassion;
Sebuah Catatan Kritis
16 June 2013 at 17:26
OLEH : EZA AHIM IKI
Karen Armstrong adalah seorang penulis
kenamaan yang memiliki concern terhadap studi perbandingan agama-agama.
Dilahirkan di Wildmoor, Worchetershire, Inggris, pada 14 November 1944 dengan
background pendidikan Kristen, Karen
muncul ke muka publik dengan identitas sebagai monotheism freelancer, sebuah
term yang unik tapi cukup wajar ditengah kegamangan theologis masyarakat Barat
pada umumnya.
15 Juni 2013, Karen memberikan ceramah umum
di Universitas Paramadina, Jakarta dalam rangka mengkampanyekan “Charter for
Commpassion” atau Piagam Welas Asih. Sebagaimana yang dapat kita baca dalam
brosur yang dibagikan pada saat mengisi buku tamu, Piagam Welas Asih ini
bertujuan untuk mengembalikan welas asih sebagai inti kehidupan religious dan
moral.
Catatan Selama Kuliah Umum
Dalam kuliah umumnya yang disampaikan
kurang lebih dalam waktu satu jam, Karen menjelaskan makna compassion yang
menurutnya secara etymologis memiliki makna “keinginan yang kuat untuk bersama
dengan orang lain”. Terkait dengan konsep compassion, Karen melakukan
pendekatan ethic dengan menjadikan Golden Rule (One should treat others as one
would like others to treat oneself / One should not treat others in ways that
one would not like to be treated) sebagai basis pemahaman bersama, karena
konsepsi Golden Rule menurut Karen, terdapat secara nyata dalam ajaran setiap
agama.
Satu hal yang menarik dari yang beliau
sampaikan disini adalah ketika wacana ini digulirkan secara nyata, respon
terbaik dan terbanyak yang ia dapatkan bukanlah dari para pemuka agama,
melainkan dari para pengusaha.
Karen berpendapat bahwa setiap para pembawa
ajaran agama muncul disaat kondisi masyarakat tengah mengalami dekadensi moral
yang luar biasa parah dengan membawa ajaran yang fungsi utamanya adalah
memperbaiki moralitas yang rusak tersebut. Ia memberikan contoh seperti Buddha,
Confusius, Jesus, dan Nabi Muhammad SAW.
Dalam bahasannya yang mengerucut pada
ajaran Islam, Karen memulainya dengan mengupas dan melakukan interpretasi
sejarah proses penerimaan wahyu pertama oleh Rasulullah SAW. Ketika wahyu
pertama yang Rasulullah terima di gua Hira begitu luar biasa hingga Beliau
bercucuran keringat, Karen menafsirkan bahwa kejadian ini adalah tamsil betapa
kerja untuk membangun compassion ditengah masyarakat jahiliyyah (yang didapat
lewat penerimaan wahyu) bukanlah pekerjaan ringan yang membutuhkan keringat
untuk dicucurkan. Lebih jauh Karen menjelaskan bahwa proses memperjuangkan
compassion inilah makna jihad ditempatkan.
Karen juga menyinggung soal Hijrah yang
darinya kaum Muslim mengambil posisi sebagai permulaan tahun, pengambilan
posisi awal tahun ini menurutnya adalah karena terdapat banyak nilai-nilai
penting yang terkandung dalam Hijrah, terutama dalam terjadinya “peleburan”
perbedaan diantara suku-suku yang dahulunya sering bertikai. Jika Hijrah
nilainya berada di bumi, maka Karen member contoh nilai-nilai compassion yang
“transcendent” lewat kisah Isra’ Mi’raj, dimana ketika Rasulullah SAW melakukan
perjalanan malam tersebut, ia disambut oleh Nabi-Nabi lainnya dengan panggilan
brother, sebagai saudara yang saling mengasihi satu sama lainnya.
Menjelang penghujung waktu, Karen
memberikan penekanan terhadap perjanjian Hudaibiyah dalam keterkaitannya dengan
semangat memperjuangkan compassion. Ia memfokuskan pada moment dimana ketika
Suhail menolak lafadz “Muhammad utusan Allah” dalam teks perjanjian Hudaibiyah
dengan meminta agar lafadz tersebut dicoret, lalu Rasulullah meminta Ali ra
untuk mencoretnya, tapi pun Ali ra menolak karena tidak mungkin ia mengingkari
bahwa Rasulullah adalah utusan Allah, hingga akhirnya Rasulullah sendiri yang
meminta kuas dan mencoret lafadz itu sendiri.
Menjelang penghujung waktu, Karen memberikan
penekanan terhadap perjanjian Hudaibiyah dalam keterkaitannya dengan semangat
memperjuangkan compassion. Ia memfokuskan pada moment dimana ketika Suhail
menolak lafadz “Muhammad utusan Allah” dalam teks perjanjian Hudaibiyah dengan
meminta agar lafadz tersebut dicoret, lalu Rasulullah meminta Ali ra untuk
mencoretnya, tapi pun Ali ra menolak karena tidak mungkin ia mengingkari bahwa
Rasulullah adalah utusan Allah, hingga akhirnya Rasulullah sendiri yang meminta
kuas dan mencoret lafadz itu sendiri. Moment inilah yang menurut Karen
menunjukkan compassion yang begitu besar pada diri Rasulullah SAW, walau
menimbulkan keheranan dan kebingungan dari banyak pihak (karena menurut mereka
perjanjian Hudaibiyah merugikan Ummat Muslim dan menguntungkan kaum kafir Quraisy)
toh akhirnya membuahkan penaklukan Makkah.
Dalam sesi tanya jawab yang melibatkan 5
orang penanya, penyair kita, Bapak Taufik Ismail yang mendapat giliran pertama
membacakan puisi yang berisikan tentang keindahan harmoni, yang unik walaupun
puisi ini hampir menyentuh seluruh perbedaan entitas yang berkolaborasi satu
dengan yang lainnya, tapi sama sekali tidak meneyebutkan kata faith, religion,
ataupun agama didalamnya.
Penanya-penanya lainnya berkutat dalam
masalah menyikapi perbedaan itu sendiri, seperti: “pernahkah anda (Karen
Armstrong) menyampaikan opini anda kepada kaum fundamentalis?”, “bagaimana
mencari titik temu dianta dua konsep suci (sacred) yang berbeda?”, “dapatkah
idealism konsep compassion ini diterapkan di dunia nyata?”, dan “bagaiman cinta
dapat bersanding dengan politik sebagaimana saran Aristoteles”.
Karen menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
dengan lugas, ia menceritakan pengalamannya ketika berada di Pakistan, dimana
saat itu kondisi keamanan begitu mencekam sehingga ia pribadi membawa senjata
kemana-mana, pun begitu ia bertutur bahwa kampanyenya menyerukan compassion
disana mendapat sambutan yang sangat baik. Karen juga mengatakan bahwa ia lebih
memilih terminology appreciation dibandingkan dengan toleration, karena compassion
adalah sebuah gerak aktif yang tidak berpadan dengan “toleransi” yang pasif.
Karen pun menegaskan bahwa tujuan utama dari dialog bukan untuk menyatukan
entitas, tapi memunculkan penghargaan dan kasih sayang diantara dua entitas
yang berbeda, ia juga mengajukan alternative dalam dialog dengan cara lebih
“banyak mendengar” sebelum bertindak karena seringkali karena kurang banyak
mendengar kita kurang mampu merasakan apa yang dirasakan lawan dialog kita.
Sementara tentang kekuatan politik untuk mempromosikan cinta , bagi Karen
sendiri dianggap sebagai sebuah constant struggle yang tak bisa disatukan,
mengingat refleksinya tentang dunia politik di parlemen Amerika.
Kritik
Walaupun secara pendekatan ethics konsep
compassion yang dikampanyekan Karen Armstrong terlihat menawan, sejatinya
konsep ini memiliki kerancuan, terutama dalam worldview Islam. Setidaknya ada
dua kerancuan utama dalam konsep compassion ini; pertama adalah, apakah makna
compassion atau welas asih ini sifatnya universal?. Kedua adalah, apakah makna
dan nilai compassion itu walau ada di setiap agama, sama satu dengan yang
lainnya
Universalitas compassion adalah harga mati yang tidak bisa ditawar, jika
kita ingin menjadikannya sebagai “jembatan penghubung” antar ragam entitas manusia,
tapi kenyataannya compassion yang dikampanyekan oleh Karen tidak memiliki
nilai-nilai yang jelas didalamnya dan cenderung dimaknai dengan
“suara/panggilan hati” yang emosional. Sehingga ketika seorang Ibu menunjukkan
compassion nya kepada anaknya dengan memanjakannya secara berlebihan tentu ini
tidak bisa diterima oleh ibu-ibu lainnya yang menganggap compassion adalah
dengan mengajarkan hidup prihatin kepada anaknya.
Menyatakan bahwa di dalam setiap agama terdapat nilai-nilai compassion
tanpa menjelaskan perbedaan prinsip yang mendasarinya adalah sebuah bentuk kerancuan yang fatal.
Karena bagaimanapun setiap nilai-nilai compassion yang ada dalam setiap
agama-agama dibangun dengan susunan nilai masing-masing yang berbeda, walaupun
tampak sama di permukaan, sesungguhnya berakar dari konsep yang bisa jadi
bertolak belakang. Sehingga jika makna compassion dengan dasar nilai yang
“kosong” ini dijadikan landasan bersama dalam menyatukan perbedaan, justru
potensi yang kelak muncul adalah pembenturan nilai-nilai dalam agama-agama
tersebut dengan compassion itu sendiri.
Contoh sederhana adalah ketika membandingkan nilai-nilai compassion
antara Islam dan Buddha. Dalam ajaran Buddha nilai-nilai serta praktik
compassion berakar dari konsep dharma yang kental dengan sifat kausalistik
deterministiknya (karma), sedangkan nilai-nilai compassion dalam Islam berakar
dari konsep Tauhid yang menjadikan Allah SWT sebagai sumber segala sesuatu.
Dari sini dapat kita pahami, bahwa dasar nilai yang berbeda dari setiap agama
akan berimplikasi pada bagaimana ia menunjukkan atau mengaplikasikan compassion
nya, Jika katakanlah penganut Buddha tidak mengalami masalah untuk memaafkan
seorang pencuri atau pezina, maka dalam Islam compassion yang demikian tidak
dapat diterima karena akan berbenturan dengan persoalan hadd.
Kesimpulan
Katakanlah jika yang Karen Armstrong lihat saat ini adalah maraknya
kasus kekerasan yang merebak diantara para pengikut agama, dan dari situlah ia
mengambil sebuah resolusi untuk menjadikan compassion sebagai jalan keluar
bersama, tidakkah ini seperti berusaha melupakan fakta sejarah ketika Ummat
Islam menguasai Andalusia?.
Dari fakta sejarah tersebut, Ummat Islam seharusnya tidak mencari
jawaban dari “luar” Agamanya, pun katakanlah sekarang kasus kekerasan sedang
marak perlu pula dipertanyakan, apakah Ummat Islam kurang punya compassion
sehingga perlu mengundang seorang monotheist freelancer untuk menumbuhkan
semangat compassion tersebut?.
Compassion atau segala macam bentuk tata nilai ethics yang ada dalam Islam tidak dibangun
berdasarkan subjektifitas emosional, melainkan lewat pengetahuan dan pemahaman.
Maka jelaslah permasalahan kita terdapat pada Al ‘ilm qobla al ‘amal (ilmu
sebelum beramal) karena tanpa ilmu yang benar dan baik, rusaklah amalan
seseorang, compassion “secantik” apapun teorinya kalau tidak didasari oleh ilmu
yang baik dan benar dapat melahirkan sinkretisme atau bahkan perenialisme.
Dapat dibuktikan kiranya bahwa ketika membahas masalah etika, kita
enggan sekali membuka bab-bab mengenai adab dalam kitab-kitab klasik karya
ulama-ulama kenamaan dan lebih percaya diri untuk membaca 7 Habbit. Akibatnya
kita kehilangan jati diri sebagai Ummat Islam yang memiliki fondasi utama
peradaban yang luhur.
Apa yang dibahas oleh Karen Armstong dalam kuliah umumnya pada intinya
adalah mengenai aksiologi. Sungguh rancu jika kita kemudian membahas tentang
aksiologi tanpa memahami konsep ontology dan epistemology yang menjadi sumber
atau dasar aksiologi tersebut.
Wallahu 'alam bisshowwab
Comments
Post a Comment