OLEH : Eza Ahim Iki
Pembahasan mengenai bagaimana proses manusia menuju atau mendapatkan ilmu (epistemology) telah banyak melahirkan berbagai macam penelitian, teori, dan pendapat yang tidak jarang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini pada dasarnya menjadi sangat wajar mengingat betapa kompleksnya manusia itu sendiri sebagai entitas yang diberi kemampuan intelektual, sehingga berbagai penelitian, teori, dan pendapat yang muncul terkait dengan hal tersebut seringkali tidak mampu untuk mencakup keseluruhan aspeknya atau luput melihat akar utama permasalahannya.
Salah satu topic particular dalam epistemology adalah pembahasan mengenai persepsi. Dalam hal persepsi pun banyak kalangan yang memiliki pandangan beragam terkait konsepnya secara mandiri ataupun berkaitan dengan perannya dalam pencapaian manusia kepada ilmu.
Memahami keterkaitan dan peran persepsi dengan epistemology menjadi penting dikarenakan setidaknya dua hal utama. Pertama, adalah karena persepsi merupakan salah satu pintu masuk bagi informasi luar kedalam diri manusia untuk kemudian diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan ilmu. Kedua, karena dengan pemahaman tentang relasi dan konsepsi keduanyalah (persepsi dan epistemology) kita dapat terhindar dari hegemoni postmodernisme yang bersifat dekosntruktif dan anti otoritas yang berujung pada kebingungan dan kerancuan.
Persepsi yang dipahami dan berkembang menjadi konsep akhi-akhir ini adalah salah satu produk kebingungan dan kerancuan postmodernisme, ini dapat dilihat dari penghargaan opini diatas sebuah penelitian, tingginya nilai pencitraan dibandingkan kerja nyata, serta maraknya gossip dan berita rekayasa yang jauh dari objektifitas dan kebenaran. Persepsi kini dijadikan komoditas bisnis dengan potensi menggiring opini public demi kepentingan tertentu, dan bukan lagi menjadi salah satu pintu masuknya ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
PEMBAHASAN
Pengertian Persepsi Secara Umum
Secara bahasa kata persepsi berasal dari kata latin percipiõ ~ipere ~eptum yang memiliki beberapa arti antara lain: 1. To acquire possession of (especially as proceed or reward of one efforts), earn, reap. 2. To perceive, apprehend, notice. 3. To receive delivery of. 4. To take in grasp with the mind. Yang kemudian diserap dalam bahasa Inggris menjadi kata perceive yang bermakna to become aware of, know, or identify by means of the senses[2], yang kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia sebagai persepsi dengan makna proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.
Untuk lebih mengelaborasi definisi dari persepsi dapat kita kutip beberapa pendapat :
Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken:
Persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita.
Agita Widyasari:
Persepsi adalah menangkap sesuatu diluar dirinya dengan kemampuan untuk melihat, mendengar atau lebih peka terhadap objek melalui panca indranya. Dapat juga diartikan secara harfiah yaitu kemampuan menangkap fenomena dengan panca indranya.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa persepsi setidaknya melibatkan object (yang dipersepsi), senses (panca indra/indra), mind (kerja otak), dan conclusion (hasil persepsi/interpretasi), object eksternal “ditangkap” lewat mekanisme Sense (panca indra/indra) yang kemudian ditransfer menuju otak sebagai stimulus atau sensasi untuk kemudian diolah oleh mind (kerja otak) untuk kemudian menghasilkan conclusion (interpretasi).
Object yang dimaksud dalam proses persepsi ini meliputi segala hal yang berada dalam jangkauan sense (panca indra) untuk mengindra, baik itu diri sang pemersepsi (seperti saat kita merasakan detak jantung diri sendiri) ataupun hal-hal diluar sang pemersepsi seperti manusia lainnya dan alam sekitar, sedangkan yang dimaksud dengan mind (kerja otak) disini adalah kondisi dimana otak memberikan impuls spontan terhadap setiap sensasi ataupun stimulus yang masuk dan bukan dalam pengertian proses berfikir melalui logika dan rasio.
Peran Persepsi dalam Epistemology
Menjadi jelas bagi kita bahwa persepsi secara umum merupakan pintu masuk pertama bagi informasi dunia luar untuk dapat kemudian diproses lebih lanjut. Maka persepsi menjadi penting dalam epistemology, sebab tanpanya manusia akan mengalami kesulitan untuk sampai pada tingkat memahami karena kurangnya informasi yang ia dapatkan, sehingga mustahil baginya untuk sampai pada kondisi mendapatkan ilmu
Pendapat Para Filosof Barat Terkait Persepsi
Para filosof pada umumnya terbagi dalam dua pendapat besar dalam memahami persepsi, yaitu pendapat tentang direct realism atau biasa juga disebut dengan naïve realism dan indirect realism. Perbedaan kedua pendapat ini terletak pada argument, apakah dunia yang kita terima informasinya melalui panca indra (persepsi) adalah betul begitu wujud aslinya, atau hanya merupakan tamsil yang dihasilkan oleh proses pengindraan itu sendiri.
Pendapat direct realism pertama kali merujuk kepada pendapat Aristoteles. Dalam karyanya De Anima
Since the actuality of the perceptible and that which can perceive is one, though their being is different, actual hearing and actual sounding must be simultaneously destroyed and simultaneously preserved, and so actual flavour and actual tasting and the others similarly, while this is not necessary when these are spoken of as potentialities. But the earlier philosophers of nature were mistaken in their view that without sight there was no white or black, nor flavour without taste. Their statement was partly true and partly false; for since the perception and the perceptible are spoken in two ways, as potential and as actual, the statement holds of the latter, but does not hold of the former.
Pendapat Aristoteles mengenai direct realism sesungguhnya didasari oleh teori yang ia buat yakni Hylomorphism yang menjelaskan bahwa substansi memiliki komposisi berupa ὑλη hyle (matter) dan μορφή morphé (form). Hal ini berimplikasi pada kondisi jiwa dan raga yang menjadi satu dalam konsep hylomorphism, bahwa ketika apa yang diindrakan oleh tubuh akan langsung diterima oleh jiwa sebagaimana ia adanya.
Para filosof barat penganut Aristotelenian di zaman selanjutnya mewariskan pemahaman direct realism seperti Thomas Aquinas (1225-1274) dan Pietro d’Abano (c.1250-1316)[7]. Sampai dengan naiknya era filsafat modern ditandai munculnya Rene Descartes (1596-1650) dan John Locke (1632-1704)[8] yang membawa konsep indirect realism dalam persoalan persepsi.
Descartes dalam membangun teori filsafatnya memulia dengan “Keraguan Cartesian” yang meragukan apapun yang dapat diragukan, termasuk kemampuan persepsi dalam menangkap fenomena diluar dirinya. Dalam Second Meditation ia menulis:
I therefore suppose that all I see is false; I believe that none of those things represented by my deceitful memory has ever existed; in fact I have no senses at all; body, shape, extension in space, motion, and place itself are all illusions. What truth then is left? Perhaps this alone, that nothing is certain.
Dasar keraguan inilah yang membuat Descartes mengajukan kritik terhadap kemampuan persepsi yang sangat rentan terhadap kesalahan berupa ilusi ataupun bias lainnya. Dikarenakan kecurigaan terhadap persepsi inilah kemudian Descartes mengambil jarak terhadap apa-apa yang berkaitan dengan produk-produk persepsi dan mengujinya terlebih dahulu melalui proses rasionalisasi.
Walaupun disebut sebagai salah satu tokoh empirisme yang mengedepankan kekuatan indrawi diatas rasio dalam mencapai ilmu dan kebenaran, sejatinya John Locke juga melihat bahwa panca indra memiliki kelemahan dikarenakan sifatnya yang mudah berubah. Dari sinilah kemudia ia merumuskan konsep primary qualitiesi dan secondary qualities :
15. Ideas of primary qualities are resemblances; of secondary, not. From whence I think it easy to draw this observation,—that the ideas of primary qualities of bodies are resemblances of them, and their patterns do really exist in the bodies themselves, but the ideas produced in us by these secondary qualities have no resemblance of them at all. There is nothing like our ideas, existing in the bodies themselves. They are, in the bodies we denominate from them, only a power to produce those sensations in us: and what is sweet, blue, or warm in idea, is but the certain bulk, figure, and motion of the insensible parts, in the bodies themselves, which we call so.
16. Examples. Flame is denominated hot and light; snow, white and cold; and manna, white and sweet, from the ideas they produce in us. Which qualities are commonly thought to be the same in those bodies that those ideas are in us, the one the perfect resemblance of the other, as they are in a mirror, and it would by most men be judged very extravagant if one should say otherwise. And yet he that will consider that the same fire that, at one distance produces in us the sensation of warmth, does, at a nearer approach, produce in us the far different sensation of pain, ought to bethink himself what reason he has to say—that this idea of warmth, which was produced in him by the fire, is actually in the fire; and his idea of pain, which the same fire produced in him the same way, is not in the fire. Why are whiteness and coldness in snow, and pain not, when it produces the one and the other idea in us; and can do neither, but by the bulk, figure, number, and motion of its solid parts?
Namun demikian, konsep primary qualities dan secondary qualities ini mendapat kritik dari George Berkeley (1685-1753) yang menganggap bahwa sifat mudah berubah pada secondary qualities sebenarnya juga terdapat pada primary qualities[12], kritik ini pulalah yang kemudian juga berperan membangun teori sceptisisme David Hume (1711-1776) yang juga nanti kemudian menuai kritik dari Immanuel Kant (1724-1804) lewat rasionalisme kritisnya yang melahirkan synthetic a priori.
Pembahasan mengenai bagaimana posisi persepsi dalam masa postmodernism tidak dibahas dalam tulisan ini dengan argument bahwa ketika Derrida dengan dekonstuksinya menafikan ilmu sebagai sesuatu yang benar dan dapat diraih, maka peran persepsi dalam epistemology dalam era postmodernisme tidaklah mungkin untuk dijelaskan.
Persepsi Menurut Al Attas
Syed Muhammad Naquib Al Attas ketika hendak menjabarkan konspe persepsinya terlebih dahulu menyatakan bahwa Islam berbeda dengan para pemikir barat dalam melihat konsep ilmu. Tidak seperti para pemikir barat yang menjadikan dunia sebagai sumber ilmu[13], Al Attas mengemukakan bahwa ilmu adalah bersumber dari Allah[14]. Hal ini tentunya berimplikasi pada konsep persepsi dalam pemikiran beliau.
Dikarenakan ilmu bersumber dari Allah, Al Attas berpendapat bahwa persepsi indrawi merupakan salah satu channel yang menyalurkan ilmu tersebut dariNya, lebih jauh beliau membagi panca indra menjadi dua, yaitu panca indra eksternal dan panca indra internal.
Panca indra eksternal adalah panca indra yang langsung menerima rangsangan dari luar tubuh meliputi pendengaran, penglihatan, pembau, perasa dan peraba. Sedangkan panca indra internal yang bertugas mempersepsi bagian dalam dari bentuk dan makna yang diberikan panca indra eksternal, memisahkan atau menyatukannya, mengamati gagasan yang terkandung didalamnya, menjaga konspenya, dan membawanya kepada proses yang lebih lanjut (intellection).
Masih menurut beliau, bahwa panca indra internal diklasifikasikan menjadi tiga sifat:
The perceptive powers of the internal senses may be classified into three kinds: some perceive but do not retain their objects; some retain objects but do not act upon them; some perceive their objects and act upon them.
Panca indra internal ini terdiri dari indra yang disepakati bersama (common sense = al hissal al musytarak), representasi (representation = al khayaliyyah), estimasi (estimation = al wahmiyyah), daya ingat/rekoleksi (retention/recollection = al hafidzah/al dhakirah), dan imaginasi (imagination = al khayal/al mutakhalliyah) kesemuanya berdiri atau dibangun diatas way of intuition (al wijdan)[17] yang berkaitan erat dengan konsep metafisis yang tidak dimiliki (diabaikan) oleh para pemikir barat.
Penutup
Kesimpulan
Setelah mempertimbangkan secara seksama dapat kita simpulkan bahwa selama ini peradaban barat meletakkan persepsi dalam sudut pandang mereka yang spekulatif, sehingga berakibat pada simpang siurnya posisi persepsi, baik itu diragukan lewat rasionalisme, diadopsi setengah hati oleh empirisme, atau bahkan dicampakkan dan ditolak oleh sceptisisme. Akarnya adalah pada anggapan bahwa persepsi hanya sekedar alat yang tidak memiliki tujuan eksistensi.
Sedangkan para pemikir muslim, dalam hal ini diwakilkan oleh Al Attas, melihat bahwa persepsi selain memiliki potensi juga memiliki tujuan yang jelas sebagaimana firman Allah:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
-An Nahl ayat ke 78
Persepsi bagi seorang muslim bukanlah hanya sekedar proses atau konsep dimana panca indra hanya sekedar mencerna fenomena dunia yang fana, tapi justru untuk menyingkap hakikat didalam setiap peristiwa, persepsi bagi seorang muslim bukan hanya sekedar tentang ketajaman indra yang bersifat fisikal yang rentan terhadap gangguan ilusi, tapi ketajaman indra yang dituntun oleh kepekaan jiwa yang rindu akan Rabbnya.
Wallahu a'lamu bisshowwabfeel free to remove tag
[1] Oxford Latin Dictionary (Oxford: Oxford University Press 1968) hal. 1330
[2] http://www.thefreedictionary.com/perceive
[3] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Umum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hal 880-881
[4] Kenneth K. Sereno & Edward M. Bodaken. Trans –Per UnderstandingHuman Communication.(Boston: Houghton-Mifflin, 1975), hal 21
[5] Agrita Widiasari, “Tubuh dan Persepsi Sebagai Sarana Epistemologis: Diskursus Tubuh Difabel Dalam Kerangka Pikir Merleau-Ponty”, (skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 2012) hal 18
[6] Aristoteles, De Anima,terj. D.W.Hamlyn (Oxford: Clarendon Press,1993)III.2 426a 15-25
[7] Simo Knuuttila & Pekka Kärkkäinen (ed), Theories of Perception in Medieval and Early Modern Philosophy (vol 6; New York: Springer, 2006) hal 117
[8] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal 732 & 792
[9] Ibid hal 739
[10] Rene Descartes, Meditation on First Philosophy with Selection from the Objection and Replies, terj. Michael Moriarty (New York: Oxford University Press, 2007) hal 25-26
[11] John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (Pennsylvania: Pennsylvania State University, 1999) portable document hal 119-120
[12] Bertrand Russell, Op.Cit., hal 794
[13] Syed Muhammad Naquib Al-Attas Islam and the Philosophy of Science (Kuala lumpur: ISTAC, 1989) hal 5
[14] Ibid., hal 7
[15] Syed Muhammad Naquib Al-Attas Prolegomena to the Metaphysisc of Islam (Kuala lumpur: ISTAC, 1995) hal 149-150
[16] Ibid., hal 150
[17] Ibid., hal 150-154
Comments
Post a Comment