Skip to main content

monopoli era baru


konglomerasi media, monopoli era baru???
Kalau berbicara mengenai media massa dewasa ini, tak lepas dari monopoli sejumlah pihak pada berbagai media yang potensial membawa pesan-pesan tertentu yang telah dikonstruksi sedemikian rupa. Memang tak bisa kita pungkiri, kesadaran akan keadaan media yang seperti itu belum dimiliki sepenuhnya oleh mayoritas masyarakat kita, yang konsumsi medianya masih sangat tinggi hingga sekarang. Makanya dibutuhkan proses literasi media yang harus gencar dilakukan demi menyadarkan khalayak akan pentingnya proses selektif dalam mengkonsumsi media yang pantas dan tidak pantas.
Telah menjadi rahasia umum beberapa media bertaraf nasional dimiliki oleh segelintir orang saja. Bahkan ada yang perusahaan medianya terbesar se-asia tenggara. Ini tak bisa kita lihat sebagai sesuatu yang normal-normal saja ataupun lumrah, sesungguhnya ini merupakan suatu proses pembentukan citra beberapa gelintir orang dengan memanfaatkan frekuensi publik sebagai alatnya. Membuat berita dan program acara melalui visualisasi diri ataupun kelompok sedemikian rupa merupakan cara cerdas dan berdampak jangka panjang.
Ini dilakukan dengan berbagai macam motif dan faktor. Dan yang paling kentara adalah motif politik dan ekonomi. Sudah kita ketahui bersama media massa merupakan sebuah alat yang sangat potensial dalam menyalurkan pesan kepada khalayak, yang tak lain adalah para voters (pemilih) pemegang hak suara penentu lancarnya suatu jabatan didapat. Dan media juga sebagai media penyedia forum publik untuk mengenal lebih dekat calon-calon wakil rakyatnya. Bisa dibayangkan bagaimana para pemilik media ini menggunakan media miliknya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, tanpa memperdulikan lagi nilai-nilai dan kode etik pers seperti jujur, adil, dan netral.
Fenomena semacam ini sudah nyata terjadi di negeri kita, dan terang-terangan dipraktekkan di depan hidung kita sendiri. Frekuensi merupakan kepunyaan rakyat indonesia secara keseluruhan, yang artinya milik publik dan sepatutnyalah digunakan untuk sebenar-benarnya kepentingan publik. sudah saatnya kita sebagai akademisi atau siapapun yang sadar akan masalah ini mulai bergerak membangunkan orang-orang yang masih terlelap dan terbuai oleh tayangan dan berita-berita dari televisi ataupun koran yang sesungguhnya memihak pada kepentingan segelintir orang. Cerdas bermedia bisa dilakukan dengan berbagai cara mulai dari selektif memilih tayangan di tv, memilih media yang tidak menayangkan bentuk kekerasan, dan perbanyak membuka wawasan bisa dengan membaca buku dan informasi lainnya di internet.
Konglomerasi Media Di Indonesia
Dengan kata lain ketika berbicara tentang media massa dalam hal ini media penyiaran Televisi maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung, Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, Lativi yang kini berubah menjadi TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir MetroTV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. Surya Paloh.

Singkat kata nama nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antaranya ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan Tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republik Ini (baca Golkar). Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media. Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini terlihat bagaiman televisi ramai-ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar padahal di sisi lain masih banyak agenda-agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur lapindo yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres”. Padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Informasi (1) atau keanekaragaman informasi.
Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa ini mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habermas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah Public Sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan (2). Dalam artian media selayaknya menjadi The Market Places Of Ideas tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.

Salah satu bentuk konglomerasi media adalah terpusatnya kepemilikan media massa oleh para penguasa modal. Fenomena itu dinilai berimplikasi terhadap obyektivitas media dalam menyampaikan muatan-muatannya. Konglomerasi media menjadikan orientasi media cenderung ke arah industri, bukan fungsi jurnalismenya. Akibatnya, media lebih mengutamakan tayangan informasi-informasi yang menarik saja ketimbang yang penting.
Toriq memaparkan para pihak yang mempunyai kuasa untuk menghegemoni media, yaitu negara, pengusaha, media sendiri, serta civil society. Menurutnya kemenangan kapitalisme menjadi konsekuensi logis ter-hegemoninya media oleh modal. Hegemoni modal seakan bertumpang tindih dengan kepentingan politik. Ini karena para pemilik media besar di Indonesia, selain mempunyai kekuatan modal, sekaligus menempati posisi strategis politik Nasional.
Di satu sisi, Djadjat berpendapat, hegemoni adalah godaan yang harus dihindari, namun tidak perlu ditakuti. Ia optimis, media yang tidak dapat memenuhi nilai informatif akan ditinggalkan oleh publik. Hal ini sepertinya agak sulit terjadi dengan kondisi budaya massa yang sudah terbentuk atau dibentuk oleh media itu sendiri, dimana pada akhirnya informasi yang menjadi ikon dari Budaya Massa yang terbentuk adalah isi berita yang sangat jauh dari kesan informatif.
Media massa dan Hegemoni
Dalam pandangan mazhab kritis, terutama dalam studi-studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary Cultural studies, Birmingham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull” dan ada ideologi dominan di dalamnya (3). Hal ini yang disebut oleh para penggiat Cultural studies sebagai hegemoni media. Teori hegemoni ini dicetuskan oleh Gramsci yang merujuk pada kekuasaan dan praktis. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideologi yang kohesif (ideologi yang meresap), satu perangkat nilai-nilai common-sense dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi struktur sosial tertentu yang mana kelas–kelas sub-ordinasi berpartisipasi di dalam dominasi mereka itu. Bahkan lebih lanjut, Gitlin mendefenisikan hegemoni sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok yang berkuasa.
Stuart Hall berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideologi dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melaui Hegemoni. Melalui media massa juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Sedangkan menurut Mc. Luhan seorang pengkritik media ia mengatakan Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai-nilai budaya dan membuat stereotype mengenai gender, ras dan etnik, memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.
Maka dari itu selama media masih dikuasai oleh ideologi dominan, maka mereka akan menggambarkan kelompok oposisi sebagai kaum marginal. bagi Hall dan koleganya, interpretasi teks media selalu muncul di dalam suatu pertarungan dari kontrol ideologis. Ronald Lembo dan Kenneth Tucker menggambarkan proses tersebut sebagai “arena kompetisi di mana individu atau kelompok mengekspresikan kepentingan yang berlawanan.
Apalagi jika hal tersebut sudah menyangkut bisnis, bahwa saat ini urgensi penciptaan standar kode etik bisnis media semakin besar ketika kecenderungan konglomerasi media di tanah air semakin besar pula. Media Nusantara Citra (MNC) kini sudah memiliki RCTI, Global TV dan Televisi Pendidikan Indonesia. Grup Indosiar, kini mendirikan teve lokal baru, ElShinta TV. Republika sudah dicaplok grup Mahaka Media dan kini berkolaborasi dengan JakTV. Kompas Gramedia dan Jawa Pos Grup, selain berkuasa atas jaringan Persda dan Jawa Pos News Network di seantero nusantara juga sudah memiliki masing-masing TV7 dan JTV. Dan jangan lupa ada Media Grup dengan Media Indonesia dan MetroTV-nya. Jika tak hati-hati, raja-raja media ini bisa dengan mudah memanfaatkan jaringan medianya untuk kepentingan komersial dan pribadi mereka. Apalagi dengan keberadaan pemilik-pemilik media tersebut yang memang sangat dalam pada kehidupan, sistem dan struktur Politik di Indonesia.

 Independensi Media Dalam Pemberitaan.
Disadari atau tidak, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih menjadikan media sebagai salah satu jembatan informasi tentang berbagai hal yang terjadi dalam masyarakat, baik yang sedang menjadi perhatian maupun yang luput dari perhatian mereka. Kenyataan menunjukkan, keterlibatan media dalam membentuk suatu opini publik adalah sebuah kekuatan tersendiri yang dimilikinya dan itu sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan di masyarakat. Namun, seiring dengan kebebasan pers yang didengungkan dalam reformasi 1998 silam membuat sebagian media kebablasan menyikapi euforia kebebasan tersebut. Independensi dan kode etik kadang telah tertutupi oleh orientasi bisnis dan keuntungan, sehingga saat ini ¨dapur¨ media telah dimasuki pengaruh kekuasaan, finansial dan kepentingan politik.
Media sangat memberi andil dan peran penting dalam memberikan informasi terhadap masyarakat, kecenderungan ini kadang membuat media dalam menyajikan informasinya bisa saja membuka peluang dramatisasi, manipulasi, spekulasi ataupun juga menyingkap kebenaran sesuai fakta sesungguhnya. Olehnya, segelintir masyarakat berusaha memanfaatkan media untuk suatu tujuan sesuai kepentingannya, hingga kemudian media menjadi sangat sulit memisahkan antara independensi dan keuntungan bisnis, dan terkadang dua kepentingan tersebut membuat media terperosok ke dalam penyajian informasi yang tidak berimbang dan cenderung berpihak pada golongan tertentu.
Dalam pengertiannya, independensi diartikan sebagai kemandirian, dalam artian melepaskan diri dari berbagai kepentingan, mengungkapkan fakta dengan sesungguhnya dan tidak ada bentuk intervensi dari pihak tertentu dalam penyajian informasi. Sehingga dalam membangun suatu independensi, media harus menyadari bahwa loyalitas utama adalah kepada masyarakat, dan intisari jurnalisme adalah verifikasi data yang akurat, menghindari terjadi benturan kepentingan yang berpotensi kepada pembohongan publik. Oleh karenanya, sangat diharapkan agar seorang wartawan dalam menjalankan profesinya haruslah dibarengi sikap kejujuran dalam komitmen, informasi haruslah tersaji dalam konteks kebenaran, mengetahui urutan sumber berita, transparansi dalam informasi, dan verifikasi berita secara aktual sebelum menyajikannya ke masyarakat. Bila hal tersebut dapat diwujudkan maka media telah melakukan independensi dalam penyampaian informasi.



Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y