Hedonisme, Komplikasi Buruk Idaman Generasi
Muda
oleh Eza Ahim Iki pada 23 Juli 2012 pukul
14:35 ·
Berasal dari kata Yunani hēdonismos yang akarnya adalah hẽdonẽ
(nikmat/enak), hedonisme berkembang menjadi sebuah paham yang beranggapan bahwa
kebenaran yang sesungguhnya dituju dan seharusnya diraih tiada lain dan tiada
bukan adalah kenikmatan dan kesenangan semata. Dalam kacamata hedonism, manusia
betul – betul menjadi manusia ketika ia berhasil melampaui rasa sakit, kecewa
sedih dan rasa – rasa negative lainnya dengan pencapaian kenikmatan dan
kesenangan setinggi – tingginya, sehingga perasaan – perasaan buruk yang
dirasakan menjadi hilang karena kesenangan dan kenikmatan yang didapatkan jauh
lebih besar dan kuat dibandingkan dengan apa yang telah diderita.
Menarik untuk dicermati, bahwa hedonisme ini pada dasarnya tidak
memiliki asas konsep yang kuat jika kita
hanya melihat pada argument dasar pain versus pleasure. Karena hedonisme
sebagai sebuah konsepsi dan perilaku sejatinya adalah sebuah simpul dari
rangkaian berkesinambungan akibat efek konsepsi – konsepsi lainnya yang lebih mendasar.
Seseorang tidak akan menjadi penganut hedonisme (hedonist) secara mendadak,
karena hampir mustahil seseorang bisa langsung menerima begitu saja bahwa
pleasure adalah jalan menuju keselamatan (salvation). Setidaknya ada tiga
konsep pokok yang menjadi penunjang penting bagi konstruksi hedonisme:
1. Sekularisme
Pengertian umum yang paling sering kita dapati tentang makna sekularisme
adalah bahwa ada keharusan pemisahan antara institusi kenegaraan dari campur
tangan unsur atau element keagamaan. Pengertian umum yang demikian kemudian
tidak memberikan pengertian yang mendalam kepada kita tentang makna mendasar
dari sekularisme itu sendiri, karena jika sekularisme hanya dijelaskan
sebagaimana diatas, maka orang kebanyakan hanya akan memaknai sekularisme
dengan “pemisah”, atau sekedar paham anti agama, tanpa mengetahui mengapa term
secular itu bisa bermakna sebagai “pemisah” (antara agama dan Negara), mengapa
term secular tiba – tiba berlawanan dengan konsep keagamaan atau apa
hubungannya kemudian dengan hedonism.
Secara terminology dapat kita lacak bahwa term secular yang menjadi
dasar sekularisme berasal dari bahasa Latin saeculum yang memiliki makna sebuah
satuan waktu yang berlaku di tempat tersebut . Kemudian karena waktu yang terikat
dengan tempat menjadi kehilangan makna past dan future nya, maka kata
saeculum dapat diartikan menjadi ”di
tempat ini dan saat ini” (kedisinikinian), present and here. Maka konsekuensi
yang harus ditanggung “ide” seaculum ini adalah bahwa ia mengemban nilai
temporal dan nisbi yang kemudian berhadap - hadapan dengan nilai – niali agama
yang kekal dan abadi. Maka ketika zaman Renaissance berlangsung, saat dimana
Agama Kristen “terkalahkan” oleh Sains, disitulah proses “sekularisasi” (dari
abadi (agama) menjadi nisbi (sains duniawi)) besar – besaran terjadi di dunia
barat yang kemudian berkembang menjadi pemahaman umum bahwa sekularisme adalah
proses pemisahan antara kerja Negara (nisbi/duniawi) dengan Agama (kekal,
abadi).
Ada yang pernah dengar YOLO?. Akronim dari “You Ony Live Once” yang
popular lewat lagu rap berjudul “The Motto” ini adalah contoh kasus yang paling
mendekati gambaran tentang bagaimana konsep kedisinikinian menjadi sebuah pilar
utama yang mendukung pola dan konstruk dari hedonism itu sendiri. YOLO, dalam
kasus umum biasanya dipakai untuk mengekspresikan sikap apologetic seseorang
saat yang bersangkutan melakukan hal – hal yang tidak lumrah atau cenderung
menyimpang. Entah itu ketika mencoba merokok, mencoba narkoba atau saat
mengaplikasikan hedonism dalam kehidupannya, jadi ketika ada yang mengkritisi
atau menasehati biasanya akan dijawab dengan “hidup cuma sekali, nikmati aja
kali”. Maka sunggunglah musykil jika ada seorang penganut hedonisme yang punya
perencanaan panjang, karena bagi mereka penundaan terhadap pemenuhan kenikmatan
adalah “dosa” yang sedemikian rupa harus dihindarkan tanpa melihat implkasi
kedepan akan seperti apa.
2. Materialisme
Sebuah paham yang beranggapan bahwa kebenaran dan rujukan dari segala
tujuan adalah materi, dengan menafikan segala macam bentuk, wujud ataupun
substansi yang tidak terdiri dari materi. Entah itu kebenaran, realita,
kebudayaan, bahkan kemanusiaan tiada lain dianggap sebagai sebuah dinamika
materi. Ekstrim nya “tiada tuhan kecuali materi”.
Materi dalam worldview seorang materialist adalah wujud nyata tanpa
penghabisan yang sifatnya kekal dan
abadi serta tidak mungkin untuk “dihancurkan” karena sifatnya yang hakiki. Maka
tidak heran jika kaum materialist tidak pernah melihat norma “budi pekerti”
sebagai sebuah skala ukur kepribadian manusia karena nihilnya materi dalam
konsep “budi pekerti”, jadi sebagai gantinya muncullah norma “kebendaan” yang menjadi tolak ukur pribadi seseorang.
Dogma “tiada tuhan kecuali materi” yang kemudian dipadankan norma “kebendaan”
telah memacu manusia dalam sebuah lingkaran setan yang sangat sulit untuk
diputus simpulnya. Ini terjadi karena kesalah krusial memandang hal yang fana
dan nisbi sebagai kekal abadi.
Hedonisme dalam kaitannya dengan materialisme dapat digambarkan sebagai
simpul tali mati. Ini dikarenakan kenikmatan yang dicari dan dituju oleh kaum
hedon adalah kenikmatan material, itulah mengapa ketika seseorang yang mampu
menikmati kekhusyu’an ubudiyah tidak dikategorikan sebagai penganut atau pelaku
paham hedonisme.
Setara dengan apa yang disebutkan diatas, kita tentunya sudah jamak
mengetahui, entah itu lewat sejarah ataupun kejadian aktual terkini bahwa
pelaku dan penganut hedonisme ini tidak jauh berada dari lingkar “kelebihan
materi”. Mulai dari raja dan birokrat Romawi kuno hingga kalangan
eksekutif, legislative sampai yudikatif
di Indonesia. Katakanlah sebagai alasan sirri untuk korupsi.
Walau kelihatannya “kelebihan materi” menjadi sarat dasar untuk menjadi
seorang hedonis, kenyataannya tidaklah demikian. Ini dikarenakan materialism
adalah bentuk paham yang tidak terikat pada kuantitas jumlah materi yang dapat
anda kumpulkan semata, tapi bagaimana agar “materi” tersebut bagaimanapun terbatasnya
(dalam kaitannya dengan hedonism) mampu menjadi jembatan untuk memuaskan nafsu
sesaat. Maka tidaklah mengherankan jika melihat ke daerah – daerah yang taraf
pendapatan materinya rendah sekalipun, masih ada pesta miras, pergaulan bebas,
perjudian dan macam – macam lagi wujud bentuk hedonitas.
3. Liberalisme
Jean-Paul Sarte, seorang eksistensialis, mengatakan bahwa manusia
dikutuk untuk bebas. Jika kemudian ada pertanyaan yang muncul untuk statement
tersebut seperti “bebas macam apa?”, “bagaimana bisa bebas?”, “apakah bebas itu
kutukan?” dan sejuta pertanyaan lainnya, maka indikasinya jelas, Manusia, tidak
pernah bebas. Tapi jika kita hapus semua pertanyaan itu dan menerima mentah –
mentah perkataan Sarte, maka sekarang kemanusiaan anda yang dipertanyakan
karena malas untuk berpikir kritis.
Liberalisme, entah itu ditilik dari sisi politis yang berpusat pada
kebebasan hak individu dalam berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan
agama dan ideologi ataupun dari sisi sosial yang membela kebebasan dan
persamaan secara umum sejatinya bermula dari dari ranah pemikiran intelektual.
Yang paling sering dirujuk adalah Revolusi Perancis tahun 1789, dengan jargon
liberty, egality, dan fraternity, bukan hanya kuasa kaum borjuis yang dibuat
rontok, tapi juga kuasa Tuhan mau coba mereka gugat lewat akal – akalan bernama
kebebasan berfikir.
Diawali dengan rasionalisme Rene Descartes pada abad ke 17 yang percaya
pada kekuatan dan keutamaan nalar individu dan imanensi Tuhan, lalu berlanjut
pada abad ke 18 dengan doktrin Romantisisme yang berpusat pada individualisme,
Tuhan hanya ditempatkan pada kesadaran diri seseorang tidak lebih tidak kurang.
Dan yang teraktual, akhirnya Tuhan “dibunuh” lewat relativisme (segala sesuatu
dianggap benar) dan nihilisme (tiada yang absolute) yang menjadi ciri utama
zaman kita, era postmodern katanya.
Tuhan sudah tidak ada, lantas manusia merdeka?. Nyatanya kemerdekaan
yang “lahir” dari membunuh Tuhan justru berakibat bencana. “Suka – suka gue
dong, mau ngerokok kek, ngedrugs kek, dugemampe pagi kek, foya – foya kek, free
sex kek, mabuk mabukan kek, ini urusan gue bukan urusan loe. Jangan sok suci
nasehatin orang, kayak loe orang bener aja”. Dari statement barusan terangkum
jelas konsep Liberalisme yang telah berlangsung selama berabad – abad. Dari
individualisme sampai relativisme dan nihilism.
Seorang hedonis selalu bernaung dibalik dalil kebebasan dalam setiap
cara yang ia lakukan dalam memburu kesenangan dan kenikmatan, tanpa pernah
peduli jika kenikmatan yang ia tuju memiliki dampak yang destruktif bagi diri
pribadinya.
Remaja kita, bagaimana kabarnya?
Di era 90’ yang popular adalah istilah “anak nongkrong”, ini besutannya
MTV waktu itu. Sekarang tahun 2012 entah apa namanya, Onliners (rajin online)?,
Clubbers (rajin clubbing)?, atau masih nongrong juga?. Dari beberapa dekade
terakhir, makin kemari remajanya makin kehilangan jati diri, kehilangan
identitas, bingung akhirnya galau.
Memang betul bahwa secara umum, remaja kisaran umur 15 sampai 25 tahun
sudah masuk mukallaf dalam hukum fiqh. Artinya ia sebagai pribadi sudah harus
mengemban tanggung jawab ‘ubudiyyah baik secara personal maupun sosial, ia juga
sudah dihukumi baaligh dalam masalah nalar intelektual, sudah mampu membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Tahqiiqul Haq wa Ibthoolul Bathil. Tapi
kenyataannya, kita berhadapan dengan generasi muda yang mayoritas tidak siap
bertanggung jawab dan nalar intelektualnya rancu yang berakibat pada buramnya
jati diri mereka, seperti orang bingung dalam gelap siapapun yang menarik
tangannya dia akan ikut.
Sebenarnya kita tidak perlu heran jika melihat lemahnya generasi muda
saat ini. Karena apa yang dihadapi mereka sekarang sebenarnya adalah efek
berantai dari generasi sebelumnya yaitu orang tua mereka sendiri. Sangat jarang
kita temui orang tua yang memiliki visi tentang tantangan masa depan yang akan
dihadapi anaknya kelak dan bagaimana mempersiapkan mereka agar sanggup
menghadapi tantangan yang ada.
Strike dari “kedisinikinian” dan materialisme, ketika anaknya rewel,
kesal, atau sedang bermasalah, para orang tua lebih memilih mengeluarkan uang
demi menenangkan anaknya, walaupun sifatnya sangat sementara dan tidak
mendidik. Ketika muncul kebutuhan pendidikan dan intelektual maka jawabannya
tidak pernah komperhensif, tapi sedemikian rupa disederhanakan dengan
memasukkan sang anak ke sekolah dengan embel – embel RSBI (Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional). Seringkali bingung masalah uang buku dan tetek bengek
lainya, tapi tidak pernah mau pusing dan bertanya dari hati ke hati mengapa
anaknya enggan untuk sholat berjama’ah, tidak penting mengerti dan memahami
rukun iman dan islam yang penting nilai raport isinya sembilan. Dan masih ada
seribu satu masalah yang dianggap sepele namun menjadi sikap yang sangat
menentukan bagi sosok orang tua.
Kembali pada hedonisme, bagaimanapun bukanlah sekedar gerak laku pemuja
kenikmatan belaka, tapi ada dasar ideology yang mengakar di dalamnya. Akankah
kita kelak menjadi oran tua yang membiarkan anak kita terperosok dalam konsepsi
destruktif macam ini? Atau tidak cukup membiarkan, justru kita yang menyeret
anak – anak kita sendiri nantinya karena ketidak pahaman pribadi?
Allah SWT telah memberikan peringatan yang
jelas:
“ Bermegah-megahan telah melalaikanmu.
Sampai kamu masuk ke liang kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui
(akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan
mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya
kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Kemudian kamu benar-benar akan
melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kemudian kamu benar-benar akan ditanya
pada hari itu tentang kenikmatan itu”
(Surat At Takatsur, ayat 1 s/d 8)
Wallahu ‘alam
Semoga dapat melahirkan kritik dan saran.
Comments
Post a Comment