Sebuah ulasan atas Film Di Balik Frekuensi karya Ucu
Agustin.
oleh: ADRIAN JONATHAN PASARIBU
Sutradara: Ucu Agustin
Produser: Ucu Agustin, Ursula Tumiwa
Editor: Darwin Nugraha
Sinematografer: Darwin Nugraha, Affan Diaz
“Whoever controls the
media, controls the mind!”
-Jim Morrison-
Di Balik Frekuensi diputar perdana pada 24 Januari 2013.
Setelah seminggu tertunda karena banjir ibukota, film dokumenter hasil kerja
keras sutradara Ucu Agustin dan kawan-kawan ini disaksikan lebih dari dua ratus
pasang mata di salah satu studio bioskop Blitz, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Setelah pemutaran, maju ke depan salah dua narasumber penting film ini:
Luviana, jurnalis yang dicabut kontraknya oleh Metro TV karena berinisiatif membentuk
serikat pekerja dan mengkritisi ruang redaksi, dan Harto Wiyono, yang bersama
Hari Suwandi berjalan dari Porong sampai Jakarta sebagai bentuk protes atas
penanganan buruk kasus lumpur Lapindo. Melalui kasus mereka, Di Balik Frekuensi
menyusuri seluk beluk konglomerasi media, corak industri media di Indonesia
saat ini, selama 144 menit.
Argumen yang dikemukakan pada pertengahan film adalah,
betapa terpusatnya industri media di Indonesia saat ini. Melalui serangkaian
animasi warna-warni, pembuat film memetakan, bahwa ribuan media yang diakses
masyarakat sehari-hari, mulai dari cetak, elektronik, hingga online, ternyata
hanya dimiliki dua belas grup media. Industri televisi nasional, khususnya,
dimiliki oleh lima orang saja, dan kebanyakan dari mereka punya ikatan kuat
dengan partai politik: Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golkar),pemilik TV
One dan ANTV; Surya Paloh (Ketua Umum Partai NasDem), pemilik Metro TV; Harry
Tanoesoedibjo (mantan Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem yang sekarang menjadi
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Hanura), pemilik RCTI, Global TV, dan MNC TV;
Chairul Tanjung, pemilik Trans TV dan Trans 7; serta Eddy Kurnadi Sariaatmadja,
pemilik SCTV dan Indosiar.
Hari-hari penuh jargon pun terjadi. Terkait dengan para
narasumbernya, Di Balik Frekuensi secara spesifik mengambil contoh dari Metro
TV dan TV One. Keduanya beberapa kali mengkhususkan jam siarnya untuk
menyuarakan aspirasi politik sang pemilik. Bayangkan infotainment versi
politikus. Redaksi Metro TV dengan rajin meliput kiprah politik Surya Paloh.
Mulai dari berita kunjungan-kunjungannya
ke lokasi bencana, hingga blocking time kampanye pencalonan diri sebagai
presiden. TV One sama saja. Bersama ANTV, stasiun televisi yang dulunya dikenal
sebagai Lativi itu menyiarkan langsung ajang pemilihan ketua umum Partai
Golkar, di mana Aburizal Bakrie turut berkecimpung di dalamnya.
Advokasi
Sangat kentara kalau Di Balik Frekuensi didesain sebagai
advokasi yang mendesak. Aktualitas menjadi kata kunci di sini, mengingat
dokumenter ini bergantung pada kasus-kasus yang masih segar dalam ingatan
publik. Aktualitas ini yang menjadi titik masuk penonton ke pendirian pembuat
film: suara untuk mereka yang dibungkam suaranya.
Advokasi Di Balik Frekuensi terjadi dalam dialektika yang
terbilang hitam-putih. Kamera berpihak pada para narasumber, yakni
korban-korban yang dirugikan oleh konglomerasi media. Kosagambar film diisi
oleh rekaman-rekaman usaha mereka yang memprotes para pemilik media. Di ujung
spektrum lainnya, pembuat film menghadirkan gambaran akan pemilik media yang
egois. Penyuntingan gambar Darwin Nugraha patut mendapat pujian di sini. Dengan
rancak ia padukan footage berbagai siaran berita, sehingga terjelaskan
bagaimana pertelevisian kita sekarang berubah fungsi dari sarana informasi, menjadi
medan perang ideologi. Sesungguhnya, di balik frekuensi-frekuensi yang konon
milik publik, terjadi pertarungan kepentingan milik segelintir elit. Ketika
kasus lumpur Lapindo ramai diberitakan, hanya TV One yang membahasakan
peristiwa tersebut sebagai “lumpur Sidoarjo”, sementara stasiun televisi lain,
termasuk Metro TV, memakai istilah “lumpur Lapindo”. Sebaliknya, ketika aksi
protes Luviana menarik perhatian nasional, TV One secara terang-terangan
menyatakan dukungannya pada jurnalis Metro TV tersebut dalam acara beritanya.
Melibatkan penonton dalam film ini menjadi penting,
mengingat pembuat film menyuarakan perhatian dan dukungan sebesar-besarnya pada
para narasumbernya. Perhatian dan dukungan serupa diharapkan tumbuh di benak
para penonton. Bagusnya, sikap pembuat film ini didukung oleh bukti-bukti
audiovisual yang kuat dan konkret. Latar belakang Ucu sebagai seorang jurnalis
menjadi poin plus di sini. Militansinya dalam mengejar momen, yang didukung
dengan kerja tim yang solid, sukses mengumpulkan 344 footage dari 15 Desember
2011 hingga 25 November 2012. Jumlah yang cukup besar untuk sebuah film
dokumenter.
Satu momen berkesan dalam Di Balik Frekuensi adalah saat Ucu
mengejar Aburizal Bakrie dalam sebuah acara besar. Ia menembus pengawalan para
ajudan untuk bertanya pada Ketua Umum Partai Golkar tersebut tentang aksi
protes Hari Suwandi soal lumpur Lapindo. Pihak yang bersangkutan tak ambil
pusing. Beliau menganggap Hari bukanlah warga yang terkena lumpur, karena dia berasal dari desa lain, sehingga protesnya
tidaklah valid. Adegan ini nantinya memperoleh tautan yang emosional di
penghujung film, ketika Harto Wiyono menyaksikan siaran TV One, di mana Hari
menarik protesnya selama ini dan meminta maaf secara publik terhadap keluarga
Bakrie. Tidak diketahui kenapa Hari berperilaku demikian. Teks di akhir film
memberitahukan, bahwa setelah permohonan maaf publik tersebut Hari hilang dan
tidak diketahui keberadaannya.
Momen berkesan lainnya, dan secara taktis ditempatkan
sebagai klimaks film, adalah ketika Luviana berhadapan langsung dengan Surya
Paloh, seusai demonstrasi di depan sekretariat NasDem. Pengurus partai
mengijinkan mereka masuk, tapi hanya boleh beberapa orang saja. Ucu menyerahkan
kameranya pada salah satu rekan Luviana yang diizinkan masuk. Yang tampil
kemudian adalah momen yang sungguh menguras emosi: rekaman tanpa putus
pengaduan Luviana atas ketidakadilan yang ia alami, yang berpuncak pada janji
Surya Paloh untuk bertemu sekali lagi untuk menyelesaikan semuanya. Janji,
sayangnya hanya tinggal janji.
Batasan
Pendekatan Di Balik Frekuensi ini bukannya tidak punya
batasan. Bagaimanapun juga, setiap cerita penting bukan saja karena apa yang
diceritakan, tapi juga karena apa yang tidak diceritakan. Apa yang diceritakan
Di Balik Frekuensi adalah bagaimana Luviana, Hari Suwandi, dan Harto Wiyono
jatuh-bangun memperjuangkan haknya. Penekanannya pada aspek korban. Dalam
beberapa bagian, film ini malah sampai mengglorifikasi korban. Setelah adegan
krusial pertemuan Luviana dengan Surya Paloh, film menyorot bagaimana mantan
jurnalis Metro TV itu kesulitan menghidupi rumah tangga, karena uang dan
waktunya habis untuk aksi dan demonstrasi.
Kesulitan rumah tangga Luviana ini bukannya tak layak
diceritakan. Bagaimanapun juga potongan cerita tersebut masih sejalan dengan
niatan pembuat film untuk menggalang dukungan. Masalahnya, karena penekanannya
pada korban, Di Balik Frekuensi berpotensi menjadi film yang berumur pendek.
Satu sampai dua tahun ke depan, muatan film ini mungkin akan masih punya
urgensi dan relevansi tersendiri karena aktualitasnya. Nyatanya, kasus Luviana
belum menemui kejelasan sampai film ini selesai. Lebih dari jangka waktu itu,
diragukan. Film ini terlalu mengglorifikasi korban, kurang berjarak dalam
melihat perkara, untuk menjadi sebuah peringatan di masa depan.
Kendala dari penuturan yang mengglorifikasi korban adalah
penyempitan sudut pandang. Diskursus berputar di situ-situ saja, seringkali
pada simpati untuk korban, dan malah mengabaikan gambaran-gambaran besar yang
sejatinya bisa lebih mencerahkan publik lagi. Di Balik Frekuensi tak luput dari
masalah ini. Masalahnya, konglomerasi media penting untuk dibahas bukan hanya
karena ada korban-korban yang berjatuhan, tapi juga pertanyaan seputar hal-hal
yang memungkinkan konglomerasi itu terjadi. Karena begitu sempitnya sudut
pandang yang diusung Di Balik Frekuensi, film ini bisa-bisa disalahartikan
sebagai kritikan pedas terhadap Metro TV dan TV One belaka.
Agenda yang perlu ditekankan bukan saja bagaimana cara
mencari jalan keluar bagi Luviana dan korban lumpur Lapindo, tapi juga
bagaimana agar ke depannya, siklus korban ini tidak terulang lagi. Di sini,
kerangka historis menjadi penting. Advokasi Di Balik Frekuensi akan jauh lebih
kuat–dan lebih lekang waktu–apabila pembuat film mampu menempatkan kasus-kasus
narasumbernya dalam gejolak industri media yang sudah-sudah. Pembuat film
bukannya tak punya “modal”. Faktanya, banyak catatan sejarah yang menunjukkan
kalau media di Indonesia tidak pernah benar-benar bebas. Apabila media pasca
Reformasi sarat akan kuasa pemilik modal, media waktu Orde Baru identik dengan
tangan besi rezim. Siklus korban ini sudah berlangsung lama, dan tidak ada
jaminan kalau ke depannya tidak akan muncul lagi Luviana-Luviana lain.
ADRIAN JONATHAN PASARIBU
Adrian adalah seorang jurnalis filmindonesia.or.id, dan
pengurus harian Cinema Poetica. Pria yang pernah menjadi programmer Kinoki dari
tahun 2007 sampai 2010 adalah penonton film dari kecil sampai sekarang.
Comments
Post a Comment