Dewa hujan (part II)
Hujan merupakan satu
dari sekian banyak tanda-tanda alam, yang diciptakan semata-mata untuk
pelajaran, pelajaran bagi seluruh makhluk hidup, walau yang hanya bisa
memikirkan dan memaknai nya tentu saja manusia, dengan akalnya. Hewan pun
sesungguhnya bisa, namun dengan cara yang hanya mereka dan tuha saja yang tahu.
Tanda akan datangnya bala tentara hujan (saya lebih senang menyebutnya begitu,
karna ketika kau berdiri ditengah-tengah hujan lebat, dan menengadahkan kepala,
maka kau akan lihat serbuan rintik jutaan air bagai anak panah dari pasukan
ketika berperang).
Biasanya dengan
dibuka dengan sebuah intro, nada gemuruh seperti genderang perang yang ditabuh
sebagai tanda dimulainya suatu perang besar, diikuti dengan munculnya awan
mendung beriring, bergerak perlahan namun siapa sangka benda besar yang hanya
berisikan angin itu menyimpan senjata rahasia. Listrik dengan jutaan volt yang
akan menghanguskan apa saja yang disentuhnya!
Pelajaran pertama:
alam selalu menyimpan rahasia. Rahasia yang indah sekaligus mengerikan.
Genderang perang
terus ditabuh oleh dewa hujan, petir menyambar-nyambar diangkasa, seakan
membentuk peta dengan ekornya, memberi petunjuk jalan diatas langit mana arah
surga dan neraka. Terkadang ekor petir itu dengan anggun menyentuh kulit bumi,
cetarrrr menghasilkan kembang api raksasa menghasilakan sensasi luar biasa,
seakan dia berkata “ayo kemari, kita bertarung” sombong sekali dia.
Beberapa anak manusia
dan tumbuh-tumbuhan kadang menjadi korban dari keganasan sang anak petir, karna
dengan tidak sopan dan tidak menghiraukan larangan orang tuanya bermain
ditengah tentara hujan yang sedang berperang, mereka terpanggang seperti roti
bakar untuk sarapan pagi, hitam legam, dengan luka bakar sana sini menyebabkan
kulit terkelupas, hanya saja yang satu ini tanpa selai kacang atau mentega.
Pohon-pohon akan terbakar, terbelah dua, tumbang, patah dahannya dengan
mengenaskan jatuh terkulai ke tanah, “kau tahu mengapa?” karna sang pohon
terlalu tinggi “kepalanya” jadi seakan-akan dia menantang sang dewa hujan
dengan ketinggiannya yang hampir mencapai langit itu, langit tempat dewa hujan dan anak-anaknya tinggal. Maka dia
memerintahkan anak nya petir, yang paling kecil, untuk memberi teguran pada
pohon itu agar menjadi pelajaran, janganlah menjadi pohon yang terlalu “tinggi”
kepala. Tuhan tidak suka. Alibi sang dewa hujan.
Setelah puas memberi
tanda maka tentara mulai datang, pertama mengetuk pintu daun dari pohon
tertinggi di atas gunung tertinggi.
Kemudian tanah dari gunung itu, atap-atap rumah penduduk, alat penangkal
petir gedung-gedung pencakar langit, dan seng-seng berkarat dan bocor sana-sini
orang-orang pinggiran, yang pada akhirnya mendapat desert, becekan di depan
tempat tinggalnya, owh baik sekali si dewa hujan.
Setelah puas menyerbu
bumi, pasukan yang jumlahnya tak terhingga ini, akan meninggalkan jejak di
jalan-jalan berlubang, tanah becek, banjir karna drainase jelek, sampai air
mata...
Pelajaran kedua :
alam selalu memberi tanda tapi juga kenangan.
Sigit pamungkas
15/04/13
Comments
Post a Comment