“Tanah Dewata di Ujung Prahara”
Dalam benakku aku bertanya,
Apakah kami berbeda?
Aku tak melihat
perbedaan sama sekali diantara kami,.
Dan aku masih tak tahu mengapa kalian para orang tua
yang selalu pintar menasehati kami,
Mempermasalahkan itu,.
Sampai saat aku terbangun dengan keterkejutan,
Yang bahkan tak pernah kubayangkan akan terjadi,
Disini,
Di tanah kelahiranku sendiri...
Ketika kita semua saling mencoba menjatuhkan,
Berteriak, dan merasa paling benar.
PROLOG
Di Tanah Para Dewa..
Apa yang terlintas di
benak Anda ketika mendengar kata Bali?, ya Pulau Dewata, tanah para Dewa-dewa
menunjukkan keajaiban penciptaanNya, sebuah hamparan alam yang tak satu manusia
pun mampu melukiskannya dengan kata-kata, karena akan ada lagi dan lagi
tambahan makna keindahan yang disematkan padanya.
Dari tangan suci para Dewa lah berbagai keajaiban alam yang luar biasa ini lahir, seolah meyakinkan kita bahwa pada jaman dahulu kala para dewa-dewi benar-benar pernah singgah menjejakkan kakinya di pulau Bali.
Anda mau pergi berlibur ke Bali, jangan melulu mengunjungi pusat kota yang ramai, menyingkirlah sejenak dari pusat kota Denpasar atau spot lain yang ramai atau area yang dipadati oleh resort-resort yang biasa dikunjungi kebanyakan wisatawan, cobalah berpetualang ke pedalaman desa-desa, Anda akan takjub melihat betapa indahnya alam yang masih perawan ini, yang jauh dari sentuhan tangan-tangan jahil dan pembangunan membabi-buta para investor dadakan di Bali.
Dari tangan suci para Dewa lah berbagai keajaiban alam yang luar biasa ini lahir, seolah meyakinkan kita bahwa pada jaman dahulu kala para dewa-dewi benar-benar pernah singgah menjejakkan kakinya di pulau Bali.
Anda mau pergi berlibur ke Bali, jangan melulu mengunjungi pusat kota yang ramai, menyingkirlah sejenak dari pusat kota Denpasar atau spot lain yang ramai atau area yang dipadati oleh resort-resort yang biasa dikunjungi kebanyakan wisatawan, cobalah berpetualang ke pedalaman desa-desa, Anda akan takjub melihat betapa indahnya alam yang masih perawan ini, yang jauh dari sentuhan tangan-tangan jahil dan pembangunan membabi-buta para investor dadakan di Bali.
Beberapa diantara
pesona alam ini bahkan nyaris jarang dikunjungi oleh wisatawan sama sekali.
Nah, salah satunya adalah desa dimana aku lahir, ini adalah kisah tentang
seorang anak Jawa di tengah gugusan pulau hasil pahatan Sang Dewa.
Aku Ahmad, umur 11
tahun, lahir dan besar disuatu daerah diantara gugusan pulau dan bentangan
keindahan pantai dari negeri yang luas ini, tumbuh dan bermain dengan
teman-teman di alam pedesaan, jauh dari hiruk pikuk kehidupan glamour kota, masa
kecil kami tidak mengenal gedung pencakar langit, hanya awan-awan dan atap
rumah ibadah yang menaungi masa kecil kami.
Walau terkenal dengan
daerah yang ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara, tetap tidak
merubah corak warna asli desa ini, adat budaya, keramahan, dan kearifan lokal
masih kami pertahankan bersama.
Hidup di desa yang
masih memegang teguh adat istiadat leluhur, tapi dengan segala corak ke
Indonesiaan, desa kami tumbuh dengan segala macam latar belakang penduduknya.
Dari agama, ras, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya.
Kami hidup dalam
harmoni, dan tak pernah terpikirkan kalau suatu waktu akan ada badai besar yang
perlahan datang, badai yang menguji keteguhan iman kami sebagai hamba Tuhan,
makhluk yang berpegang teguh pada iman.
Kami masih terlalu
kecil waktu itu untuk memahami bahwa aku dan kawan-kawanku lahir membawa
identitas dalam diri kami yang berbeda, ya, berbeda...
Sampai kami beranjak
dewasa dan akhirnya menyadari arti perbedaan yang selama ini banyak dialamatkan
orang-orang pada warga tempat kami tinggal. Kami baru mengerti sekarang. Untung aku rajin membaca
sampai bisa tahu informasi sepenting ini.
Terima kasih sekali
untuk Pak Ahmad guru agamaku di sekolah yang memberikan wacana pengetahuan
tentang perbedaan diantara kami. Aku dan kawan-kawan se-usiaku.
Aku terlahir dari
keluarga muslim, keluargaku termasuk satu dari sekian banyak keluarga yang ikut
dalam program transmigrasi pemerintah saat itu untuk mengurangi ketimpangan
jumlah penduduk dan kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan di pulau Jawa.
Kakek buyutku dulu
meninggalkan kampung halamannya untuk mencari peruntungan di belahan bumi
pertiwi yang lain, sampai akhirnya nasib membawanya ke Bali (lewat program
transmigrasi tentu saja) dan kini telah puluhan tahun dan generasi kami menetap
disini.
Bukan hanya keluargaku saja yang transmigran
atau berasal dari luar daerah Bali tapi banyak juga yang lain, Sumatera,
Madura, Sulawesi bahkan Papua, sebagian besar adalah para pencari kerja dan
muslim.
Di tengah lingkungan
yang mayoritas beragama Hindu di Bali. Daerah tempat kami tinggal dikenal sebagai
salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi turis asing dari berbagai negara
dan domestik. Walaupun begitu jangan disamakan dengan di Denpasar atau
kota-kota lain yang telah penuh sesak dengan kafe-kafe dan dan resto mewah,
walau ada turis asing tapi desa kami masih jauh dari kebisingan daerah sekitar
yang perlahan berubah menjadi kota yang tak pernah tidur.
Bisa dibilag desa
kebanggaan kami adalah destinasi ekslusif, hanya beberapa orang saja yang tahu
spot-spot wisata disini, maka dari itu jangan bayangkan akan melihat banyak
bule lalu-lalang disini, ada tapi hanya sedikit.
Kami pun dikenal karena
toleransi yang sangat tinggi diantara kami sejak dulu kala, bahkan kalau hari
raya Iduladha maka sebagian dari masyarakat di desa kami yang beragama Hindu
akan berjaga-jaga disekitar area masjid, meraka biasa disebut Pecalang.
Juga sebaliknya apabila
hari raya Nyepi maka orang-orang beragama Islam dan agama lainnya juga akan
ikut serta menjadi satpam dadakan bagi daerah sekitar mereka demi menjaga agar
mereka yang sedang beribadah tetap tenang dan nyaman, sungguh indahnya rasa
toleransi yang terjalin diantara kami.
Di upacara-upacara adat,
dan hari raya keagamaan pun sama, seperti Ngaben, Melasti, Nyepi, Natal,
Lebaran, dan lainnya kami ikut menyemarakkan, menonton, mempelajari budaya
masing-masing daerah adalah sebuah bentuk kebahagiaan dan rasa syukur kepada
Tuhan, bahwa kita terlahir dengan perbedaan tapi dapat bersatu diatas perbedaan
itu.
Aku yang berbeda
keyakinan dari kebanyakan teman-temanku sangat mengenal adat kebiasaan maupun
tradisi mereka, orang-orang Hindu Bali. Mau tidak mau karena hidup di
lingkungan yang mengharuskan kami warga minoritas terlibat secara langsung
terhadap setiap acara adat yang rutin dilaksanakan masyrakat di desa kami.
Masyarakat di Bali
memang tidak pernah terlepas dari upacara-upacara keagamaan atau upacara adat
yang dimulai dari lahir sampai meninggal. Upacara adat ini dilaksanakan untuk
menyeimbangkan kehidupan manusia dengan Tuhan.
Sebut saja Melasti,
Melasti merupakan rangkaian dari hari raya Nyepi, dimana upacara Melasti
dilaksanakan rutin setiap setahun sekali yang dilaksanakan setiap tahun baru
saka. Upacara Melasti adalah suatu proses pembersihan diri manusia, alam dan
benda-benda yang dianggap sakral untuk dapat suci kembali.
Potong gigi, biasanya
disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebut juga sebagai upacara
“menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak usia
dewasa, meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
Namun ternyata
pengetahuan dan toleransi saja tidak cukup, diantara sekian banyak manusia di
daerah tempat kami tinggal dengan latar belakang ekonomi dan keyakinan,
pengetahuan, simpati dan empati, akan selalu ada celah dimana satu perkara
kecil ataupun sebaliknya dapat memantik sumbu konflik yang tidak diinginkan.
COBAAN KEIMANAN
Ujian Keimanan itu
Datang..
Sampai akhirnya titik
itu sampai pula, titik dimana Tuhan menguji ketangguhan iman umatnya, sudahkah
mereka berpegang teguh pada aya-ayatnya, atau sebaliknya, mereka seudah jauh
tersesat dan lalai..
Ketika suatu hari Bali
bahkan Indonesia digemparkan dengan kejadian biadab nan mengenaskan di Ubud.
Sebuah bom meledak dan menewaskan banyak orang....
Aku dan teman-temanku
yang saat itu masih kecil tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, ada bom
meledak! Kami tak mengerti, kepanikan dimana-mana, media ramai meliput, asap
hitam, korban jiwa, ceceran darah, aku tak percaya apa yang kulihat di TV.. ini
bukan Baliku, Bali kami semua.
Suasana tiba-tiba mencekam,
aura permusuhan menggelayut di desa yang tadinya damai sentosa, dari rilis
pemberitaan media massa yang baru kumengerti di kemudian hari ada serangkaian
aksi bom teroris yang menyasar dua diskotik di wilayah yang padat dengan turis
asing.
Ledakan pertama di
Diskotek Paddy’s. Bom disimpan dalam tas punggung dan diledakkan dengan cara
bunuh diri. Lima belas detik kemudian bom kedua seberat 1.000 kg yang berada
dalam sebuah Mitsubshi Colt ikut diledakkan. Situasi benar-benar chaos! Tidak
hanya di Ubud tapi menjalar dengan cepat ke seluruh Bali. Seketika mata dunia
menyorot kesini.
Mobil diparkir di depan
Sari Club dan diledakkan dari jarak jauh. Horor dan kepanikan yang terjadi
sangat luar biasa. Rumah sakit lokal tidak mampu menangani korban yang jatuh
serempak.
Beberapa korban dengan
luka bakar parah diterbangkan ke rumah sakit di Darwin, Australia. Bekas
ledakan di depan Sari Club berupa lubang sedalam 3 kaki. Untuk mengenang para
korban, didirikan monumen di lokasi ledakan.
Tragedi ini merupakan aksi
teroris terbesar di Indonesia dan menjadi sejarah paling hitam sepanjang 2002.
Bom meledak di dua diskotek yang banyak dikunjungi turis asing di kawasan Kuta.
Korban tewas sebanyak 202 orang dan 209 lainnya luka-luka yang kebanyakan
berasal dari Australia.
Aku Tak Mau Kehilangan Teman
Sejak Saat Itu Semuanya
Tak Lagi Sama....
Perjalanan pagiku
menuju sekolah kini kujalani sendiri, dimana teman-temanku Nyoman, Ketut, dan
Luhde?? Pagi itu yang kudapat hanya pandangan asing dari warga sekitar tempat
tinggalku, yang selama aku tinggal di desa kami tak pernah kudapatkan. Setiap
pandangan orang kepadaku hari itu sungguh berbeda, dan lagi-lagi aku tak tahu
mengapa...
Akhirnya aku bertemu
dengan sahabat-sahabat ku Nyoman, Ketut dan Luhde, tapi ada yang berbeda...
Kami berkumpul setelah
sekian lama tidak bertemu, banyak yang kami ceritakan tentang kondisi keluarga
kami masing-masing pasca peristiwa pemboman itu, banyak cerita pilu yang aku
baru dengar, ternyata paman dan beberapa saudara Nyoman menjadi korban dari
tragedi itu, aku sungguh sedih mendengarnya. Itu membuat keluarga Nyoman sangat
marah sampai berniat untuk membalas kepada orang-orang islam di desa, untung
saja itu tidak terjadi..
Intensitas pertemuan
kami semakin jarang, aku tak tahu, apakah mereka sengaja menjauh dariku dan
keluargaku, atau orang tua mereka melarang mereka bergaul dengan keluarga kami
lagi, atau ini pertanda akan ada perpecahan yang lebih parah lagi selanjutnya
nanti, ah, aku tak mampu membayangkannya.
Yang pasti, aku
kehilangan mereka..
Sepulang sekolah rumahku
tidak biasanya sedikit ramai, diruang tamu kulihat ayah, ibu dan beberapa orang
lain sedang membahas sesuatu dengan serius, diantaranya aku kenal yaitu pak
Dahlan imam masjid tempat aku dan keluargaku biasa sholat dan sudah seperti
saudara kami sendiri dan ada pak Ahmad guru agama disekolahku. Aku ingin
menyapa mereka, tapi ah, aku tak ingin mengganggu..
Tiba-tiba rumahku jadi
forum berkumpul dadakan, dari yang kulihat, mayoritas yang hadir adalah saudara
sesama pendatang, jamaah masjid di lingkungan sekitar. Ada apa ini sebenarnya?
Pikiran kecilku waktu itu masih tak mengerti arti dari semua kekacauan ini.
Ternyata, kamu umat
Islam mulai diawasi, membuat suasana semakin tidak kondusif dan menegangkan..
Pelaku pemboman adalah
anggota salah satu kelompok teroris yang mengatasnamakan agama Islam, tentu
saja kami yang tidak tahu apa-apa menolak pengklaiman semacam itu, Islam yang
kami anut dan yakini adalah Islam yang rahmatan lil’alamin, Islam penyebar
kasih sayang bagi seluruh alam, bukan hanya umat Islam saja, tapi seluruh jagat
raya.
Setiap gerak-gerik umat
muslim dicurigai, tetangga kanan kiri melirik dengan sinis, perkumpulan kami
dari golongan Islam tak lain adalah membahas bagaimana cara paling baik
menghadapi kesalahpahaman ini semua, kami tidak ingin harmoni yang telah
bertahun-tahun dibangun, hancur seketika akibat perbuatan orang tidak
bertanggung jawab.
Hasil dari
pertemuan-pertemuan itu menelurkan beberapa poin kesimpulan.
1.
Mengundang saudara-saudara kami umat Hindu
dan agama lain yang mau tak mau ikut terdampak tragedi bom itu untuk berkumpul
bersama, kami akan mencoba untuk meluruskan miss understanding tentang apa yang
sebenarnya terjadi.
2.
Merangkul jemaat gereja, biara, dan umat
lain untuk mengadakan doa bersama untuk arwah para korban yang meninggal dalam
kejadian tragis di Kuta, Badung itu.
Alhamdulillah,
inisiatif kami mendapat respon positif dari warga sekitar, akal sehat kami
masih menang diatas semua emosi dan ketidakjelasan informasi yang beredar
ditengah masyarakat. Syukur, tak butuh lama dan tanpa insiden yang berarti,
desa kami kembali kondusif walau sempat tegang, meski tidak sampai menimbulkan
korban jiwa.
Tapi, ada yang belum
selesai, iya, teman-temanku, apa kabar mereka, tak nampak lagi batang hidungnya.
Sejak saat itu tak
kutemui lagi sahabat-sahabatku, Nyoman, Ketut dan Luhde. Sedang apa mereka? Apa
yang mereka pikirkan mengenai kejadian ini?, apakah mereka akan membenciku
disebabkan hal yang tak kumengerti sama sekali? Istilah yang bahkan asing
ditelinga kami anak-anak desa?. Teroris, itulah kata yang paling banyak aku
dengar belakangan ini.
Kami masih terlalu kecil untuk terlibat, tapi
tidak untuk menyadari kalau kami berada diambang perpecahan..
Sungguh tak dapat aku
membayangkannya...
Sampai akhirnya
kebenaran akan selalu menang,....
Diantara teman-temanku
tinggal Nyoman saja yang masih belum bisa melupakan tragedi memilukan yang
hampir saja merusak pertemanan kami. Sekuat tenaga aku mencoba menyadarkannya
dari rasa benci dan keinginan balas dendam, dan alhamdulillah akhirnya Allah
membuka hatinya untuk mau menerima kenyataan, dan kembali bermain bersama kami
sahabat-sahabatnya yang ada aku disitu, seorang muslim, dan seorang teman yang
tidak akan pernah memandang status apapun kepada diri temannya juga paling
penting yang tidak akan membeda-bedakan teman hanya karna sebuah keyakinan.
Suatu petang di
lapangan sepakbola, aku berinisiatif
mengumpulkan teman-teman akrabku, Luhde, Nyoman dan Ketut, tapi Nyoman
tidak datang. “Tut, mana Nyoman?” tanyaku pada Ketut.
“Tak tau Mad, tadi aku
langsung kesini,” jawab Ketut.
“Apa dia masih marah
soal kejadian bom itu?,” tanyaku menerka pada mereka berdua.
Hening, mereka tak
bisa, atau tak mau menjawab, kami tak ada yang berpandangan mata sama sekali,
suasana sangat canggung, tapi hasratku untuk meluruskan masalah soal bom hari ini juga harus terlaksana. Aku tak ingin
sahabatku menjadi salah paham soal agamaku, keluargaku, dan seluruh umat Islam
di Indonesia, dan yang terpenting aku tak ingin kehilangan mereka.
“Baiklah, aku akan
menyusul ke rumahnya,” aku berkata pada mereka berdua.
“Jangan nekat Mad, bisa
ditonjoknya kau.” Ujar Ketut menahan langkahku.
“Waduh iya juga ya,
pikirku dalam hati, Nyoman adalah salah satu teman terkuat yang pernah aku
kenal, baik di sekolah juga di desa,” Tak mau dibilang cemen alis penakut, aku
tetap melangkah walau sedikit takut Nyoman masih menyimpan dendam, mengingat
ada salah satu keluarga jauhnya yang menjadi korban bom biadab itu.
Tapi yang paling
penting, aku tak mau wibawaku jatuh di hadapan Luhde, satu-satunya wanita dalam
genk kami.
Hampir saja langkah
meninggalkan tanah lapangan yang sepi, ada suara memanggil.
“Mad, tunggu!” dalam
hati aku menjerit, bibirku tanpa bisa ku kontrol menyunggingkan senyum
menjijikkan sampai aku tertawa geli sendiri, untung saja posisiku membelakangi
mereka berdua, jadi mereka tidak melihat ekspresi wajahku ketika mendengar
suara panggilan nan lembut yang berasal dari mulut Luhde itu.
“Aku ikut,” kata Luhde
sembagi mengejar ke tempat dimana aku berdiri terpaku, masih dengan kesenangan
yang setengah mati kutahan.
“Ehh, walahh malah aku
ditinggal sendiri disini, mau kencan ya kalian, ha?” protes Ketut ikut menyusul
kami berdua.
Akhirnya bertiga kami
mendatangi rumah Nyoman, setelah agak lama kami panggil, Nyoman akhirnya
bersedia menemui kami.
Dengna wajah yang
sangat terlihat tak bersahabat, kuberanikan diri menegur duluan. “Man, kenapa
gak pernah nongol lagi di lapangan, gak gabung lagi sama kita?” tanyaku
menyelidik pura-pura tidak paham apa yang terjadi dengannya.
“Jangan belagak bego
kamu Mad!” jawan Nyoman sengit.
Aku kaget dengan
jawaban Nyoman yang begitu ketus, tapi aku mencoba mengontrol emosi dan
menguasai diri agar tidak ikutan emosi juga. “Oke, aku ngerti kamu masih marah
soal insiden bom itu, tapi kami orang-orang muslim disini sama sekali gak ada
hubungannya dengan peristiwa itu Man, beneran!” aku terus mencoba meyakinkan
Nyoman.
Tiba-tiba ada suara
dari dalam rumah Nyoman. “Eh.. ada kamu Mad, Luhde, Tut.. ayo masuk sini
ngapain sih pada diluar aja..” Ibu Nyoman Ni Made Kartikasari dengan lembut
mengahmpiri kami dan mengajak kami semua masuk ke rumah.
“Kamu ini gak sopan tau
gak teman sendiri kok dibiarin diluar kayak begitu!” Buk Nyoman menasehati
anaknya, Nyoman hanya bisa tertunduk malu dimarahi ibunya di depan kami para
sahabatnya.
Setelah didalam rumah
dan mengobrol kesana kemari bersama ibu Nyoman yang tumben sekali ingin
nimbrung bersama kami, akhirnya beliau mengetahui permasalahan sebenarnya yang
sedang kami hadapi.
“Kalo soal bom itu, si
Nyoman ini sudah ibu nasehati Mad, dan keluarga besar kami pun sama sekali tak
ada masalah dengan kalian para muslim, toh kita kan sudah bertetangga di desa
ini lama sekali ya kan??” ibu Nyoman coba menerangkan situasi yang sebenarnya,
Nyoman hanya diam mendengarkan penjelasan dari ibunya itu.
“Tapi, karena salah
satu kerabat kami ada yang menjadi korban dari tragedi bom itu, yaitu pamannya
Nyoman ini, ya itu jadinya, si Nyoman terlalu terpukul atas kejadian itu, dia
sulit sekali menerima kalau pamannya ikut menjadi korban dari aksi biadab para
teroris itu.” Ibu Nyoman menjelaskan sekali lagi mengapa Nyoman bersikap dingin
terhadap diriku, akhinya aku mengerti dan bersimpati terhadap musibah yang
menimpa keluarga mereka.
Tanpa aba-aba aku
langsung berdiri dan memeluk Nyoman, aku bilang padanya. “Man, gak ada satupun
manusia di bumi yang tega nyakitin manusia lain, apalagi membunuh dengan
sengaja kayak yg di bom itu, kalaupun ada itu bukan manusia Man, monser itu.”
Kataku kepada Nyoman sembari terus memeluk dirinya.
“Kami orang islam gak
ada hubungannya sama sekali dengan itu semua Man, percaya deh, kita kan temenan
udah lama, bahkan sekali-kali kamu pernah ikut aku ngaji di musholla ya kan?
Apa pernah Pak Ustadz Ahmad nyuruh aku ngebom kayak gitu? Gak pernah kan?”
terangku pada Nyoman.
“Iya Mad, aku paham
sekarang, maafin aku ya karena keegoisanku jadi mengancam persahabatan kita
semua, aku gak benci kok sama kamu Mad, tapi aku marah banget sama
teroris-teroris itu.” Nyoman sudah mulai mau membuka dirinya.
Setelah kulepaskan
pelukanku, aku melihat Ibu Nyoman tersenyum melihat anaknya telah kembali
seperti dulu lagi, Luhde dan Ketut pun ikut-ikutan menghampiri kami dan kami
berempat akhirnya pelukan bersama sambil tertawa cekikikan.
Ahhh.. hatiku sangat
lega sekali, aku mendapatkan kembali sahabat-sahabatku. Salah satu harta
berharga yang aku miliki di dunia ini.
Untung saja, Nyoman
akhirnya mengerti dan mau kembali bermain bersamaku dan anak-anak muslim lain
di desa. Kenyataan ini kudapati di umur ku yang belum lagi menginjak dewasa,
keberagaman ini membuat ku semakin sadar, betapa kekayaan kami yang sebenarnya
adalah persaudaraan ini, kebersamaan ini, rasa cinta kasih ini, inilah Indonesi
yang sebenarnya
The Truth Reveals
Beberapa waktu kemudian
melalui televisi dan surat kabar merilis tersangka pemboman sebagai teroris dan
antek-anteknya..
Walau mereka para
teroris “seakan” merepresentasikan agama tertentu, tapi kami bukanlah orang
bodoh yang bisa diadu domba begitu saja, sejak terungkap nya pelaku pemboman,
ketegangan di desa sedikit mereda walau masih ada sedikit pergerakan yang harus
selalu membuat kami warga minoritas waspada.
Aku sudah bisa ke
sekolah lagi, walau dengan tatapan berat ibu ku,. Beliau masih sangat khawatir,
takut terjadi apa-apa denganku di jalan, apalagi kondisi masih belum terlalu
aman. Polisi masih sering patroli, dan penjaga keamanan di desa ditambah
personilnya.
Itulah sedikit cerita
masa kecilku,. Dari lubuh hati terdalam aku mulai dari sendiri mengajak semua
saudaraku di bumi pertiwi tercinta ini, mari kita hapus dan buang jauh-jauh
diskriminasi apapun bentuknya dari bumi pertiwi ini. Karna tak dipungkiri lagi,
kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, besar karna perbedaannya, corak
warnanya, ribuan pulaunya, dan kekayaan alam yang tak terhitung jumlahnya.
Pemimpin yang baik
adalah pemimpin yang mampu menunjukkan bahwasannya perbedaan bukanlah menjadi
penghalang untuk membentuk sebuah kesatuan, sebaliknya dapat menjadi alat yang
dapat mengubah sejarah negeri ini menjadi lebih baik dengan kebhinekaannya.
Jangan sampai ada
anak-anak kecil lain yang mengalami kejadian pilu seperti ceritaku ini. Jangan
sampai masa kecil mereka hilang percuma hanya karna arogansi sekelompok orang
yang merasa paling benar. Lindungi masa depan anak kita dan bangsa ini dengan
mulai menghormati setiap pilihan hidup orang lain, karna perbedaan adalah
rahmat dan bukannya alasan untuk memulai kiamat.
Itulah sepenggal cerita
yang ingin kubagi dengan teman-teman semua. Hal yang harus menjadi perhatian
serius para calon pemimpin negeri ini kedepan ditengah suasana yang kian
memanas menjelang tahun politik nanti.
Saya ingatkan kepada
pemimpin negeri siapapun nanti yang terpilih, bukan hanya melulu ekonomi,
pendidikan, dan pembangunan yang harus diperhatikan, melainkan memperhatikan juga
aspek-aspek penting mengenai diskriminasi yang sangat rentan sekali menimbulkan
perpecahan dan dimanfaatkan sekelompok orang untuk memecah-belah kita
Indonesia.
Mari kita berangkulan
tangan, sama-sama membangun Indonesia. “Cinta Tanah Air”
Comments
Post a Comment