Skip to main content

Tanah Dewata di Ujung Prahara



Tanah Dewata di Ujung Prahara
Dalam benakku aku bertanya,

Apakah kami berbeda?

Aku tak melihat perbedaan sama sekali diantara kami,.

Dan aku masih tak tahu mengapa kalian para orang tua yang selalu pintar menasehati kami,
Mempermasalahkan itu,.

Sampai saat aku terbangun dengan keterkejutan,
Yang bahkan tak pernah kubayangkan akan terjadi,
Disini,

Di tanah kelahiranku sendiri...
Ketika kita semua saling mencoba menjatuhkan,
Berteriak, dan merasa paling benar.

PROLOG
Di Tanah Para Dewa..
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata Bali?, ya Pulau Dewata, tanah para Dewa-dewa menunjukkan keajaiban penciptaanNya, sebuah hamparan alam yang tak satu manusia pun mampu melukiskannya dengan kata-kata, karena akan ada lagi dan lagi tambahan makna keindahan yang disematkan padanya.

Dari tangan suci para Dewa lah berbagai keajaiban alam yang luar biasa ini lahir, seolah meyakinkan kita bahwa pada jaman dahulu kala para dewa-dewi benar-benar pernah singgah menjejakkan kakinya di pulau Bali.

Anda mau pergi berlibur ke Bali, jangan melulu mengunjungi pusat kota yang ramai, menyingkirlah sejenak dari pusat kota Denpasar atau spot lain yang ramai atau area yang dipadati oleh resort-resort yang biasa dikunjungi kebanyakan wisatawan, cobalah berpetualang ke pedalaman desa-desa, Anda akan takjub melihat betapa indahnya alam yang masih perawan ini, yang jauh dari sentuhan tangan-tangan jahil dan pembangunan membabi-buta para investor dadakan di Bali.

Beberapa diantara pesona alam ini bahkan nyaris jarang dikunjungi oleh wisatawan sama sekali. Nah, salah satunya adalah desa dimana aku lahir, ini adalah kisah tentang seorang anak Jawa di tengah gugusan pulau hasil pahatan Sang Dewa.

Aku Ahmad, umur 11 tahun, lahir dan besar disuatu daerah diantara gugusan pulau dan bentangan keindahan pantai dari negeri yang luas ini, tumbuh dan bermain dengan teman-teman di alam pedesaan, jauh dari hiruk pikuk kehidupan glamour kota, masa kecil kami tidak mengenal gedung pencakar langit, hanya awan-awan dan atap rumah ibadah yang menaungi masa kecil kami.

Walau terkenal dengan daerah yang ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara, tetap tidak merubah corak warna asli desa ini, adat budaya, keramahan, dan kearifan lokal masih kami pertahankan bersama.

Hidup di desa yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur, tapi dengan segala corak ke Indonesiaan, desa kami tumbuh dengan segala macam latar belakang penduduknya. Dari agama, ras, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya.

Kami hidup dalam harmoni, dan tak pernah terpikirkan kalau suatu waktu akan ada badai besar yang perlahan datang, badai yang menguji keteguhan iman kami sebagai hamba Tuhan, makhluk yang berpegang teguh pada iman.

Kami masih terlalu kecil waktu itu untuk memahami bahwa aku dan kawan-kawanku lahir membawa identitas dalam diri kami yang berbeda, ya, berbeda...

Sampai kami beranjak dewasa dan akhirnya menyadari arti perbedaan yang selama ini banyak dialamatkan orang-orang pada warga tempat kami tinggal. Kami  baru mengerti sekarang. Untung aku rajin membaca sampai bisa tahu informasi sepenting ini.

Terima kasih sekali untuk Pak Ahmad guru agamaku di sekolah yang memberikan wacana pengetahuan tentang perbedaan diantara kami. Aku dan kawan-kawan se-usiaku.

Aku terlahir dari keluarga muslim, keluargaku termasuk satu dari sekian banyak keluarga yang ikut dalam program transmigrasi pemerintah saat itu untuk mengurangi ketimpangan jumlah penduduk dan kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan di pulau Jawa.

Kakek buyutku dulu meninggalkan kampung halamannya untuk mencari peruntungan di belahan bumi pertiwi yang lain, sampai akhirnya nasib membawanya ke Bali (lewat program transmigrasi tentu saja) dan kini telah puluhan tahun dan generasi kami menetap disini.

 Bukan hanya keluargaku saja yang transmigran atau berasal dari luar daerah Bali tapi banyak juga yang lain, Sumatera, Madura, Sulawesi bahkan Papua, sebagian besar adalah para pencari kerja dan muslim.

Di tengah lingkungan yang mayoritas beragama Hindu di Bali. Daerah tempat kami tinggal dikenal sebagai salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi turis asing dari berbagai negara dan domestik. Walaupun begitu jangan disamakan dengan di Denpasar atau kota-kota lain yang telah penuh sesak dengan kafe-kafe dan dan resto mewah, walau ada turis asing tapi desa kami masih jauh dari kebisingan daerah sekitar yang perlahan berubah menjadi kota yang tak pernah tidur.

Bisa dibilag desa kebanggaan kami adalah destinasi ekslusif, hanya beberapa orang saja yang tahu spot-spot wisata disini, maka dari itu jangan bayangkan akan melihat banyak bule lalu-lalang disini, ada tapi hanya sedikit.

Kami pun dikenal karena toleransi yang sangat tinggi diantara kami sejak dulu kala, bahkan kalau hari raya Iduladha maka sebagian dari masyarakat di desa kami yang beragama Hindu akan berjaga-jaga disekitar area masjid, meraka biasa disebut Pecalang.

Juga sebaliknya apabila hari raya Nyepi maka orang-orang beragama Islam dan agama lainnya juga akan ikut serta menjadi satpam dadakan bagi daerah sekitar mereka demi menjaga agar mereka yang sedang beribadah tetap tenang dan nyaman, sungguh indahnya rasa toleransi yang terjalin diantara kami.

Di upacara-upacara adat, dan hari raya keagamaan pun sama, seperti Ngaben, Melasti, Nyepi, Natal, Lebaran, dan lainnya kami ikut menyemarakkan, menonton, mempelajari budaya masing-masing daerah adalah sebuah bentuk kebahagiaan dan rasa syukur kepada Tuhan, bahwa kita terlahir dengan perbedaan tapi dapat bersatu diatas perbedaan itu.

Aku yang berbeda keyakinan dari kebanyakan teman-temanku sangat mengenal adat kebiasaan maupun tradisi mereka, orang-orang Hindu Bali. Mau tidak mau karena hidup di lingkungan yang mengharuskan kami warga minoritas terlibat secara langsung terhadap setiap acara adat yang rutin dilaksanakan masyrakat di desa kami.

Masyarakat di Bali memang tidak pernah terlepas dari upacara-upacara keagamaan atau upacara adat yang dimulai dari lahir sampai meninggal. Upacara adat ini dilaksanakan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dengan Tuhan.

Sebut saja Melasti, Melasti merupakan rangkaian dari hari raya Nyepi, dimana upacara Melasti dilaksanakan rutin setiap setahun sekali yang dilaksanakan setiap tahun baru saka. Upacara Melasti adalah suatu proses pembersihan diri manusia, alam dan benda-benda yang dianggap sakral untuk dapat suci kembali.

Potong gigi, biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebut juga sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak usia dewasa, meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.

Namun ternyata pengetahuan dan toleransi saja tidak cukup, diantara sekian banyak manusia di daerah tempat kami tinggal dengan latar belakang ekonomi dan keyakinan, pengetahuan, simpati dan empati, akan selalu ada celah dimana satu perkara kecil ataupun sebaliknya dapat memantik sumbu konflik yang tidak diinginkan.


COBAAN KEIMANAN
Ujian Keimanan itu Datang..

Sampai akhirnya titik itu sampai pula, titik dimana Tuhan menguji ketangguhan iman umatnya, sudahkah mereka berpegang teguh pada aya-ayatnya, atau sebaliknya, mereka seudah jauh tersesat dan lalai..

Ketika suatu hari Bali bahkan Indonesia digemparkan dengan kejadian biadab nan mengenaskan di Ubud. Sebuah bom meledak dan menewaskan banyak orang....

Aku dan teman-temanku yang saat itu masih kecil tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, ada bom meledak! Kami tak mengerti, kepanikan dimana-mana, media ramai meliput, asap hitam, korban jiwa, ceceran darah, aku tak percaya apa yang kulihat di TV.. ini bukan Baliku, Bali kami semua.

Suasana tiba-tiba mencekam, aura permusuhan menggelayut di desa yang tadinya damai sentosa, dari rilis pemberitaan media massa yang baru kumengerti di kemudian hari ada serangkaian aksi bom teroris yang menyasar dua diskotik di wilayah yang padat dengan turis asing.

Ledakan pertama di Diskotek Paddy’s. Bom disimpan dalam tas punggung dan diledakkan dengan cara bunuh diri. Lima belas detik kemudian bom kedua seberat 1.000 kg yang berada dalam sebuah Mitsubshi Colt ikut diledakkan. Situasi benar-benar chaos! Tidak hanya di Ubud tapi menjalar dengan cepat ke seluruh Bali. Seketika mata dunia menyorot kesini.

Mobil diparkir di depan Sari Club dan diledakkan dari jarak jauh. Horor dan kepanikan yang terjadi sangat luar biasa. Rumah sakit lokal tidak mampu menangani korban yang jatuh serempak.

Beberapa korban dengan luka bakar parah diterbangkan ke rumah sakit di Darwin, Australia. Bekas ledakan di depan Sari Club berupa lubang sedalam 3 kaki. Untuk mengenang para korban, didirikan monumen di lokasi ledakan.

Tragedi ini merupakan aksi teroris terbesar di Indonesia dan menjadi sejarah paling hitam sepanjang 2002. Bom meledak di dua diskotek yang banyak dikunjungi turis asing di kawasan Kuta. Korban tewas sebanyak 202 orang dan 209 lainnya luka-luka yang kebanyakan berasal dari Australia.


Aku Tak Mau Kehilangan Teman
Sejak Saat Itu Semuanya Tak Lagi Sama....

Perjalanan pagiku menuju sekolah kini kujalani sendiri, dimana teman-temanku Nyoman, Ketut, dan Luhde?? Pagi itu yang kudapat hanya pandangan asing dari warga sekitar tempat tinggalku, yang selama aku tinggal di desa kami tak pernah kudapatkan. Setiap pandangan orang kepadaku hari itu sungguh berbeda, dan lagi-lagi aku tak tahu mengapa...

Akhirnya aku bertemu dengan sahabat-sahabat ku Nyoman, Ketut dan Luhde, tapi ada yang berbeda...

Kami berkumpul setelah sekian lama tidak bertemu, banyak yang kami ceritakan tentang kondisi keluarga kami masing-masing pasca peristiwa pemboman itu, banyak cerita pilu yang aku baru dengar, ternyata paman dan beberapa saudara Nyoman menjadi korban dari tragedi itu, aku sungguh sedih mendengarnya. Itu membuat keluarga Nyoman sangat marah sampai berniat untuk membalas kepada orang-orang islam di desa, untung saja itu tidak terjadi..

Intensitas pertemuan kami semakin jarang, aku tak tahu, apakah mereka sengaja menjauh dariku dan keluargaku, atau orang tua mereka melarang mereka bergaul dengan keluarga kami lagi, atau ini pertanda akan ada perpecahan yang lebih parah lagi selanjutnya nanti, ah, aku tak mampu membayangkannya.

Yang pasti, aku kehilangan mereka..

Sepulang sekolah rumahku tidak biasanya sedikit ramai, diruang tamu kulihat ayah, ibu dan beberapa orang lain sedang membahas sesuatu dengan serius, diantaranya aku kenal yaitu pak Dahlan imam masjid tempat aku dan keluargaku biasa sholat dan sudah seperti saudara kami sendiri dan ada pak Ahmad guru agama disekolahku. Aku ingin menyapa mereka, tapi ah, aku tak ingin mengganggu..

Tiba-tiba rumahku jadi forum berkumpul dadakan, dari yang kulihat, mayoritas yang hadir adalah saudara sesama pendatang, jamaah masjid di lingkungan sekitar. Ada apa ini sebenarnya? Pikiran kecilku waktu itu masih tak mengerti arti dari semua kekacauan ini.

Ternyata, kamu umat Islam mulai diawasi, membuat suasana semakin tidak kondusif dan menegangkan..

Pelaku pemboman adalah anggota salah satu kelompok teroris yang mengatasnamakan agama Islam, tentu saja kami yang tidak tahu apa-apa menolak pengklaiman semacam itu, Islam yang kami anut dan yakini adalah Islam yang rahmatan lil’alamin, Islam penyebar kasih sayang bagi seluruh alam, bukan hanya umat Islam saja, tapi seluruh jagat raya.

Setiap gerak-gerik umat muslim dicurigai, tetangga kanan kiri melirik dengan sinis, perkumpulan kami dari golongan Islam tak lain adalah membahas bagaimana cara paling baik menghadapi kesalahpahaman ini semua, kami tidak ingin harmoni yang telah bertahun-tahun dibangun, hancur seketika akibat perbuatan orang tidak bertanggung jawab.

Hasil dari pertemuan-pertemuan itu menelurkan beberapa poin kesimpulan.

1.      Mengundang saudara-saudara kami umat Hindu dan agama lain yang mau tak mau ikut terdampak tragedi bom itu untuk berkumpul bersama, kami akan mencoba untuk meluruskan miss understanding tentang apa yang sebenarnya terjadi.

2.      Merangkul jemaat gereja, biara, dan umat lain untuk mengadakan doa bersama untuk arwah para korban yang meninggal dalam kejadian tragis di Kuta, Badung itu.

Alhamdulillah, inisiatif kami mendapat respon positif dari warga sekitar, akal sehat kami masih menang diatas semua emosi dan ketidakjelasan informasi yang beredar ditengah masyarakat. Syukur, tak butuh lama dan tanpa insiden yang berarti, desa kami kembali kondusif walau sempat tegang, meski tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

Tapi, ada yang belum selesai, iya, teman-temanku, apa kabar mereka, tak nampak lagi batang hidungnya.  

Sejak saat itu tak kutemui lagi sahabat-sahabatku, Nyoman, Ketut dan Luhde. Sedang apa mereka? Apa yang mereka pikirkan mengenai kejadian ini?, apakah mereka akan membenciku disebabkan hal yang tak kumengerti sama sekali? Istilah yang bahkan asing ditelinga kami anak-anak desa?. Teroris, itulah kata yang paling banyak aku dengar belakangan ini.

Kami  masih terlalu kecil untuk terlibat, tapi tidak untuk menyadari kalau kami berada diambang perpecahan..

Sungguh tak dapat aku membayangkannya...

Sampai akhirnya kebenaran akan selalu menang,....

Diantara teman-temanku tinggal Nyoman saja yang masih belum bisa melupakan tragedi memilukan yang hampir saja merusak pertemanan kami. Sekuat tenaga aku mencoba menyadarkannya dari rasa benci dan keinginan balas dendam, dan alhamdulillah akhirnya Allah membuka hatinya untuk mau menerima kenyataan, dan kembali bermain bersama kami sahabat-sahabatnya yang ada aku disitu, seorang muslim, dan seorang teman yang tidak akan pernah memandang status apapun kepada diri temannya juga paling penting yang tidak akan membeda-bedakan teman hanya karna sebuah keyakinan.

Suatu petang di lapangan sepakbola, aku berinisiatif  mengumpulkan teman-teman akrabku, Luhde, Nyoman dan Ketut, tapi Nyoman tidak datang. “Tut, mana Nyoman?” tanyaku pada Ketut.

“Tak tau Mad, tadi aku langsung kesini,” jawab Ketut.

“Apa dia masih marah soal kejadian bom itu?,” tanyaku menerka pada mereka berdua.

Hening, mereka tak bisa, atau tak mau menjawab, kami tak ada yang berpandangan mata sama sekali, suasana sangat canggung, tapi hasratku untuk meluruskan masalah soal bom  hari ini juga harus terlaksana. Aku tak ingin sahabatku menjadi salah paham soal agamaku, keluargaku, dan seluruh umat Islam di Indonesia, dan yang terpenting aku tak ingin kehilangan mereka.

“Baiklah, aku akan menyusul ke rumahnya,” aku berkata pada mereka berdua.

“Jangan nekat Mad, bisa ditonjoknya kau.” Ujar Ketut menahan langkahku.

“Waduh iya juga ya, pikirku dalam hati, Nyoman adalah salah satu teman terkuat yang pernah aku kenal, baik di sekolah juga di desa,” Tak mau dibilang cemen alis penakut, aku tetap melangkah walau sedikit takut Nyoman masih menyimpan dendam, mengingat ada salah satu keluarga jauhnya yang menjadi korban bom biadab itu.

Tapi yang paling penting, aku tak mau wibawaku jatuh di hadapan Luhde, satu-satunya wanita dalam genk kami.

Hampir saja langkah meninggalkan tanah lapangan yang sepi, ada suara memanggil.

“Mad, tunggu!” dalam hati aku menjerit, bibirku tanpa bisa ku kontrol menyunggingkan senyum menjijikkan sampai aku tertawa geli sendiri, untung saja posisiku membelakangi mereka berdua, jadi mereka tidak melihat ekspresi wajahku ketika mendengar suara panggilan nan lembut yang berasal dari mulut Luhde itu.

“Aku ikut,” kata Luhde sembagi mengejar ke tempat dimana aku berdiri terpaku, masih dengan kesenangan yang setengah mati kutahan.

“Ehh, walahh malah aku ditinggal sendiri disini, mau kencan ya kalian, ha?” protes Ketut ikut menyusul kami berdua.

Akhirnya bertiga kami mendatangi rumah Nyoman, setelah agak lama kami panggil, Nyoman akhirnya bersedia menemui kami.

Dengna wajah yang sangat terlihat tak bersahabat, kuberanikan diri menegur duluan. “Man, kenapa gak pernah nongol lagi di lapangan, gak gabung lagi sama kita?” tanyaku menyelidik pura-pura tidak paham apa yang terjadi dengannya.

“Jangan belagak bego kamu Mad!” jawan Nyoman sengit.

Aku kaget dengan jawaban Nyoman yang begitu ketus, tapi aku mencoba mengontrol emosi dan menguasai diri agar tidak ikutan emosi juga. “Oke, aku ngerti kamu masih marah soal insiden bom itu, tapi kami orang-orang muslim disini sama sekali gak ada hubungannya dengan peristiwa itu Man, beneran!” aku terus mencoba meyakinkan Nyoman.

Tiba-tiba ada suara dari dalam rumah Nyoman. “Eh.. ada kamu Mad, Luhde, Tut.. ayo masuk sini ngapain sih pada diluar aja..” Ibu Nyoman Ni Made Kartikasari dengan lembut mengahmpiri kami dan mengajak kami semua masuk ke rumah.

“Kamu ini gak sopan tau gak teman sendiri kok dibiarin diluar kayak begitu!” Buk Nyoman menasehati anaknya, Nyoman hanya bisa tertunduk malu dimarahi ibunya di depan kami para sahabatnya.

Setelah didalam rumah dan mengobrol kesana kemari bersama ibu Nyoman yang tumben sekali ingin nimbrung bersama kami, akhirnya beliau mengetahui permasalahan sebenarnya yang sedang kami hadapi.

“Kalo soal bom itu, si Nyoman ini sudah ibu nasehati Mad, dan keluarga besar kami pun sama sekali tak ada masalah dengan kalian para muslim, toh kita kan sudah bertetangga di desa ini lama sekali ya kan??” ibu Nyoman coba menerangkan situasi yang sebenarnya, Nyoman hanya diam mendengarkan penjelasan dari ibunya itu.

“Tapi, karena salah satu kerabat kami ada yang menjadi korban dari tragedi bom itu, yaitu pamannya Nyoman ini, ya itu jadinya, si Nyoman terlalu terpukul atas kejadian itu, dia sulit sekali menerima kalau pamannya ikut menjadi korban dari aksi biadab para teroris itu.” Ibu Nyoman menjelaskan sekali lagi mengapa Nyoman bersikap dingin terhadap diriku, akhinya aku mengerti dan bersimpati terhadap musibah yang menimpa keluarga mereka.

Tanpa aba-aba aku langsung berdiri dan memeluk Nyoman, aku bilang padanya. “Man, gak ada satupun manusia di bumi yang tega nyakitin manusia lain, apalagi membunuh dengan sengaja kayak yg di bom itu, kalaupun ada itu bukan manusia Man, monser itu.” Kataku kepada Nyoman sembari terus memeluk dirinya.

“Kami orang islam gak ada hubungannya sama sekali dengan itu semua Man, percaya deh, kita kan temenan udah lama, bahkan sekali-kali kamu pernah ikut aku ngaji di musholla ya kan? Apa pernah Pak Ustadz Ahmad nyuruh aku ngebom kayak gitu? Gak pernah kan?” terangku pada Nyoman.

“Iya Mad, aku paham sekarang, maafin aku ya karena keegoisanku jadi mengancam persahabatan kita semua, aku gak benci kok sama kamu Mad, tapi aku marah banget sama teroris-teroris itu.” Nyoman sudah mulai mau membuka dirinya.

Setelah kulepaskan pelukanku, aku melihat Ibu Nyoman tersenyum melihat anaknya telah kembali seperti dulu lagi, Luhde dan Ketut pun ikut-ikutan menghampiri kami dan kami berempat akhirnya pelukan bersama sambil tertawa cekikikan.

Ahhh.. hatiku sangat lega sekali, aku mendapatkan kembali sahabat-sahabatku. Salah satu harta berharga yang aku miliki di dunia ini.

Untung saja, Nyoman akhirnya mengerti dan mau kembali bermain bersamaku dan anak-anak muslim lain di desa. Kenyataan ini kudapati di umur ku yang belum lagi menginjak dewasa, keberagaman ini membuat ku semakin sadar, betapa kekayaan kami yang sebenarnya adalah persaudaraan ini, kebersamaan ini, rasa cinta kasih ini, inilah Indonesi yang sebenarnya



The Truth Reveals

Beberapa waktu kemudian melalui televisi dan surat kabar merilis tersangka pemboman sebagai teroris dan antek-anteknya..

Walau mereka para teroris “seakan” merepresentasikan agama tertentu, tapi kami bukanlah orang bodoh yang bisa diadu domba begitu saja, sejak terungkap nya pelaku pemboman, ketegangan di desa sedikit mereda walau masih ada sedikit pergerakan yang harus selalu membuat kami warga minoritas waspada.

Aku sudah bisa ke sekolah lagi, walau dengan tatapan berat ibu ku,. Beliau masih sangat khawatir, takut terjadi apa-apa denganku di jalan, apalagi kondisi masih belum terlalu aman. Polisi masih sering patroli, dan penjaga keamanan di desa ditambah personilnya.

Itulah sedikit cerita masa kecilku,. Dari lubuh hati terdalam aku mulai dari sendiri mengajak semua saudaraku di bumi pertiwi tercinta ini, mari kita hapus dan buang jauh-jauh diskriminasi apapun bentuknya dari bumi pertiwi ini. Karna tak dipungkiri lagi, kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, besar karna perbedaannya, corak warnanya, ribuan pulaunya, dan kekayaan alam yang tak terhitung jumlahnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menunjukkan bahwasannya perbedaan bukanlah menjadi penghalang untuk membentuk sebuah kesatuan, sebaliknya dapat menjadi alat yang dapat mengubah sejarah negeri ini menjadi lebih baik dengan kebhinekaannya.

Jangan sampai ada anak-anak kecil lain yang mengalami kejadian pilu seperti ceritaku ini. Jangan sampai masa kecil mereka hilang percuma hanya karna arogansi sekelompok orang yang merasa paling benar. Lindungi masa depan anak kita dan bangsa ini dengan mulai menghormati setiap pilihan hidup orang lain, karna perbedaan adalah rahmat dan bukannya alasan untuk memulai kiamat.
Itulah sepenggal cerita yang ingin kubagi dengan teman-teman semua. Hal yang harus menjadi perhatian serius para calon pemimpin negeri ini kedepan ditengah suasana yang kian memanas menjelang tahun politik nanti.

Saya ingatkan kepada pemimpin negeri siapapun nanti yang terpilih, bukan hanya melulu ekonomi, pendidikan, dan pembangunan yang harus diperhatikan, melainkan memperhatikan juga aspek-aspek penting mengenai diskriminasi yang sangat rentan sekali menimbulkan perpecahan dan dimanfaatkan sekelompok orang untuk memecah-belah kita Indonesia.

Mari kita berangkulan tangan, sama-sama membangun Indonesia. “Cinta Tanah Air”











Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y