Bagi Anda yang tak asing dengan budaya Amerika Serikat, atau
familiar dengan kondisi negara ini, entah itu melalui musiknya, filmnya, segala
yang Anda saksikan di televisi, juga aksi militernya yang banyak mencampuri
urusan negara lain, seharusnya Anda tak asing dengan istilah satu ini “white privilege/supremacy”. Istilah ini
merujuk pada kondisi di negara Paman Sam yang lebih tepatnya penulis sebut
sebagai penyakit. Penyakit yang tak kunjung sembuh hingga saat ini.
White privilege
adalah kondisi dimana masyrakat kulit putih di negara US mendapatkan perlakuan
istimewa dibandingkan dengan masyarakat kulit berwarna lainnya. Negara yang katanya
sangat menghargai kebebasan ini nyatanya sampai saat ini masih berkutat dengan
masalah yang itu-itu saja, yaitu rasisme.
Bentuk rasisme sangat beragam, dan biasanya faktor yang
menjadi pemicu timbulnya aksi rasisme ini adalah adanya perasaan “lebih baik”
pada diri seseorang dibandingkan dengan orang lainnya. Hal yang paling sering
dijadikan faktor pemicu adalah warna kulit, suku, agama, dan strata sosial.
White privilege tidak
hanya menjadi persoalan di negara yang mana istilah ini menjadi sangat terkenal
yaitu US saja, mengingat sejarah panjang bangsa ini memerangi rasisme, tapi
kondisi serupa hampir ditemukan di seluruh negara di dunia dimana masyarakatnya
terdiri dari berbagai macam latar belakang, seperti suku, warna kulit, agama
dan sebagainya.
White Privilege di Belahan Dunia Lain
Pernahkan anda melihat sekelompok orang meminta berfoto
bersama seorang turis luar negeri atau bule?. Pemandangan seperti ini jamak
kita jumpai di tempat-tempat yang biasanya menjadi destinasi wisata yang ramai
didatangi wisatawan mancanegara, Bali misalnya. Pertanyaannya, mengapa
orang-orang kita sebagai pribumi sangat ingin berfoto dengan orang bule?.
Padahal mereka bukan selebritis, atlet atau tokoh terkenal lainnya, mereka sama
seperti kita, rakyat biasa juga.
Kalau ditelusuri secara aspek psikologis dan sosial maka
akan banyak faktor penyebab yang akan kita temui. Secara psikologis kita
sebagai warga dari sebuah negara korban jajahan negara barat akan terus
menyangka kalau kita bangsa kelas dua, orang barat itu unggul segalanya,
buktinya saja mereka bisa menjajah sebuah negara dalam waktu yang sangat lama.
Penulis kira pikiran seperti ini ada dalam kepala hampir semua orang yang
negaranya pernah dijajah oleh negara dari Eropa atau Amerika. Asia misalnya.
Secara sosial, tidak dipungkiri ilmu pengetahuan modern
sangat berkembang hebat melalui tangan dingin ilmuwan-ilmuwan dari barat. Tapi
sekali lagi, apakah benar kenyataannya seperti itu?. Hampir setiap sejarah yang
kita baca saat ini menunjukkan keunggulan bangsa-bangsa kulit putih dari
belahan dunia barat hampir dalam segala aspek. Apakah kita mau begitu saja
menerima mentah-mentah fakta itu begitu saja? Bukankah sejarah bisa diubah,
ditulis ulang, tergantung siapa yang memegang pena?.
Ditengah arus kepentingan dan pertukaran informasi yang
sangat mudah dan cepat, kita harus kritis terhadap segala informasi yang kita
dapat, utama sekali yang disiarkan melalui media televisi dan media-media lain
dari dunia barat khususnya. Percayalah, tidak ada hal yang lebih berbahaya dari
masyarakat dunia yang telah dicuci otaknya oleh media, dan mereka menjadi
bungkam dan percaya setiap apa yang di katakan pemerintahnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Secara utuh pernyataan “white
privilege” tidak berhubungan langsung dengan keadaan di Indonesia, tapi
secara nilai universal tanpa kita sadari, hampir seluruh penduduk dunia bahkan
penulis yakin persentase nya mendekati seratus
persen, kita (penduduk Indonesia) menjadi bagian dari populasi dunia yang
mengamini istilah ini.
Asal Mula Munculnya Istilah White
Privilege
Apa sih sebenarnya arti white
privilege itu?. Secara sederhana istilah ini mengacu pada pengkhususan
(perlakuan khusus) pada suatu kelompok, ras/etnis masyarakat tertentu. Maksudnya pengkhususan disini ialah
mereka “orang kulit putih” a.k.a orang-orang barat (Eropa-Amerika), seakan
dimata orang lain diluar kelompok mereka, adalah orang-orang yang “terbaik,
tertinggi, terpintar, dan banyak ter lainnya.
Mari bicara sejarah. Faktanya sebagian besar negara penjajah
adalah negara dengan mayoritas kulit putih, atau bahkan semuanya. Pernah
mendengar bangsa kulit hitam, coklat, atau kuning menjajah? Superioritas
masyarakat kulit putih sudah sejak lama sengaja ditonjolkan dalam buku-buku
sejarah hampir di semua negara, terutama negara tempat jajahannya sendiri. Kita
Indonesia apalagi.
Kita selalu dijejali dengan keyakinan bahwa kita dijajah
selama hampir 3.5 abad lamanya, apakah benar kenyataannya seperti itu? Tidak
ada satu orang pun yang bisa memastikan. Kembali ke istilah white privelege, istilah ini sendiri
sangat dikenal di Amerika Serikat karena berhubungan erat dengan masalah
rasialis yang seakan tak pernah lepas dari sejarah perjalanan bangsa paman sam
tersebut.
White privilege
pertama didengungkan oleh orang kulit hitam yang merasakan sejak jaman
perbudakan nenek moyang mereka sampai sekarang, orang-orang kulit putih atau “warga
asli Amerika” selalu mendapatkan perlakuan khusus daripada mereka warga kulit
hitam.
Selain menilik pada fakta sejarah bahwasannya mereka orang
kulit hitam banyak diperbudak ketika itu oleh majikannya yang notabene adalah
kulit putih, sampai sekarang pun masih banyak perlakuan diskriminatif yang
diterima warga minoritas di negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi itu
terhadap warga pendatang atau imigran.
Amerika dikenal sebagai negara yang menawarkan kehidupan
yang lebih baik, lebih dikenal dengan sebutan “American dreams”. Banyak orang dari belahan dunia lain datang ke Amerika
mengadu nasib mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari tempat
dimana mereka berasal. Ada yang berhasil dan tak sedikit juga yang berakhir
menyedihkan.
Kesempatan untuk memperbaiki hidup di Amerika memang
tergolong besar, karena negara ini dikenal dengan konsep kebebasan yang
dimiliki setiap warga negaranya, artinya setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperjuangkan mimpi-mimpi mereka mendapatkan masa
depan yang dicita-citakan.
Tapi dibalik setiap bayangan indah kehidupan glamour ala Amerika
ada permasalah besar nan rumit yang terus mengahantui negara adidaya ini. Ialah
rasialisme/rasisme.
Sejak jaman civil war,
Abraham Lincoln, Malcolm X sampai Martin Luther King jr hingga sekarang. Masalah
rasialisme masih menjadi PR yang tak pernah selesai dikerjakan pemerintah dan
rakyat Amerika. Mereka yang katanya negara paling demokratis di dunia justru
mempunyai penyakit akut tentang kebebasan, eksistensi seorang manusia yang tak
bisa dipandang hanya dari warna kulit, agama, etnis/suku dan beragam perbedaan
latar belakang lainnya.
Penerimaan keberagaman sebagai jati diri umat manusia belum
dapat diterima sebagai sebuah hukum alam, mereka masih saja berdebat tentang
suku, agama, warna kulit mana yang paling hebat, paling tampan, paling cantik,
dan justifikasi ala orang yang merasa paling benar dan hebat.
Ke-arogan-an orang kulit putih semakin menjadi mana kala
banyak pula orang selain mereka yang merasa rendah diri. Untuk kelompok yang
satu ini penulis sebut sebagai korban sejarah, korban televisi dan media, dan
korban dari kebodohan nya sendiri.
Orang dalam kelompok ini menelan mentah-mentah setiap
informasi yang ia terima dari TV, tanpa re-check
terlebih dahulu apalagi melakukan penelitian mereka selalu mengamini kalau kita
inferior dan mereka superior.
Corporate Media
sebagai corong informasi paling efektif dalam mempengaruhi opini publik, dalam
kasus ini berperan sangat penting dan juga sebagai pihak paling bertanggung
jawab dalam penyebaran isu atau berita yang cenderung menyesatkan dan
berorientasi pada aksi brainwashing
(cuci otak), ketimbang memenuhi dahaga informasi yang berimbang sesuai fakta
sebagaimana yang diamanahkan dalam etika jurnalistik.
Media massa televisi khususnya, dewasa ini tak bisa dijadikan
sebagai satu-satunya sumber informasi. Masyarakat harus mafhum kalau dunia saat
ini dikuasai oleh mereka para pemiliki modal, kita lebih mengenal kondisi ini
sebagai kapitalisme. Tahukah Anda kalau orang terkaya di dunia saat ini hanya
beberapa gelintir orang saja, dibandingkan dengan milyaran masyarakat dunia
lainnya.
Mereka (orang-orang yang tak akan pernah terjamah ini),
adalah otak dari suatu sistem pemerintahan dunia yang tanpa kita sadari menjadi dalang dari semua
kerusakan di muka bumi ini. Sebut saja peperangan, kemiskinan dan kelaparan di
Afrika, yang notabene adalah benua yang kaya raya (Papua kalau di Indonesia),
krisis di Timur Tengah, aksi Terorisme, semuanya ini tak mungkin terjadi tanpa
ada yang merencanakan, orang-orang yang menanggung untung diatas kesengsaraan
orang lain.
Media Sebagai Industri
Mengapa penulis bilang Corporate
Media? Karena media kini sudah berubah menjadi industri, mereka tak ubahnya
perusahaan yang mencari untung dan tak ingin rugi. Lebih parahnya adalah media
kini dikuasai orang-orang yang memiliki kepentingan politik nya sendiri,
jadilah media dijadikan sebagai alat propaganda, kampanye terselubung, dan
penyebar kebencian sesuai pesanan sang empunya media.
Dijaman serba digital seperti sekarang, dimana informasi dan
komunikasi sangat mudah sekali kita dapatkan, kehati-hatian dalam menyerap
informasi, menyaring mana yang baik dan tidak, mana yang benar dan yang hoax
menjadi sebuah kewajiban.
Perbanyak membaca, kurangi waktu menonton televisi, lebih
selektif mencari sumber informasi terutama dari inernet , dan lakukanlah research
walau hanya kecil-kecilan adalah beberapa cara untuk menghindari diri Anda
menjadi korban dari informasi hoax yang menyesatkan.
Konklusi
Banggalah menjadi orang Indonesia karena kita bisa rukun
dengan segala perbedaan diantara kita, suku, budaya, bahasa, agama, warna kulit
tak membuat kita menjadi terpecah belah. Namun tetap berhati-hatilah karena isu
perbedaan ini adalah barang yang paling laris dijual oleh orang-orang yang tak
mau melihat kita Indonesia damai dan rukun sejahtera.
Isu perpecahan menjadi isu yang paling sensitif di negara
ini, maka dari itu jangan sampai Anda adalah orang yang mudah terpancing
emosinya akibat dari isu-isu SARA yang tak jelas sumbernya. Ingat kesatuan
negara kita diatas segalanya, bangsa ini dibangun dari keringat dan darah semua
anak bangsa tak memandang siapa mereka dan dari suku mana ia berasal.
Comments
Post a Comment