Mendapati
berita dari salah satu portal berita online yang menginformasikan bahwasannya
ada seorang pengusaha Indonesia yang bekerjasama dengan investor asal Taiwan,
Hongkong dan Singapura mengatakan kalau disalah satu ujung pulau Halmahera
Maluku utara yang terkenal dengan keindahan pantai dan pasir putihnya itu akan
dibangun resort dan hotel-hotel seperti yang ada di Singapura dan hongkong
katanya.
Dia
mengatakan kalau potensi pariwisata di Indonesia tak diragukan lagi
mendatangkan pemasukan yang sangat besar bagi Negara dan sudah sepatutnya kita
sebagai Negara yang ingin berkembang membuka pintu selebar-lebarnya bagi
investor yang ingin berinvestasi pada sector pariwisata di negeri ini.
Ia berujar
bahwa rakyat Halmahera akan mendapatkan banyak keuntungan apabila Negara
memberikan ijin pembangunan hotel dan resort-resort itu karna sector pariwisata
di daerah itu akan semakin ramai dan rakyat ikut menanggung untungnya.
Begini,
ketika kita mendengar singapura, hongkong dan cina, apa yang terlintas di benak
kita?. Hampir seluruh kejadian yang aneh-aneh sekarang terjadi di cina, itu
karna lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, cina memasuki era
keemasan ekonomi negaranya tanpa dibarengi dengan kesiapan rakyat nya. Maka
yang tampak adalah bangunan megah dimana-mana tetapi rakyat yang juga
tertatih-tatih mengejar dibelakang segala kemajuan pembangunan itu.
Singapura
atau Temasek. Negara persemakmuran inggris raya ini seakan tak mempunyai
identitas, pernah menjadi bagian dari Malaysia (melayu), tetapi di keluarkan
dari Malaysia dan menjadi sebuah Republik pada 9 agustus 1965. Masyarakat
asli singapura adalah orang-orang melayu
dan kini dikuasai hampir sebagian besar oleh China.
Kenapa menjadikan
sebuah Negara yang bahkan tidak mempunyai identitas sebagai bahan rujukan
pembangunan. Ingat kita tidak ingin kalau pembangunan itu hanya soal melulu
bangunan fisik nya saja, sampai kita melupakan factor manusia nya pula. Dan yang
lebih penting lagi pihak mana yang paling diuntungkan dari kontrak ini? Orang Halmahera?
Bukan. Tentu saja para investor, pengusaha, orang-orang Cina tak lain tak
bukan, mereka lagi-mereka lagi.
Mereka sudah
kehabisan lahan yang akan dirusak dinegaranya sendiri, maka dari itu mereka
ekspansi kenegara lain yang masih memiliki lahan luas dan terpenting berpotensi
menghasilkan untung melimpah ke para taipan negeri tirai bamboo tersebut.
Ini bukan
tulisan rasis. Bukan ras cina yang dipermasalahkan, tapi mental para manusia
nya yang menjadi pokok tujuan dari tulisan ini. Manusia dimana-mana sama saja,
rakus kalau sudah bicara soal harta, uang, jabatan. Jadi jangan heran kalau
mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau,
mereka tidak peduli sedikitpun pada akibat dari perbuatan mereka itu, apakah
itu menyengsarakan orang lain, merebut lahan orang lain atau bahkan mengancam
kehidupan suatu masyrakat local yang sudah berates-ratus tahun tinggal dikawan
yang nantinya akan terdampak dari rencana proyek yang akan mereka garap. Mereka
sama sekali tidak peduli!.
Memang tak
diragukan lagi sector pariwisata seolah menjadi sector primadona dalam beberapa
tahun kebelakang, potensi alam yang luar biasa di Indonesia ternyata menjadi
daya tarik yang besar bagi banyak wisatawan domestic maupun mancanegara, tak
ayal Indonesia termasuk menjadi salah satu Negara di asia tenggara sebagai
tujuan favorit para wisatawan local maupan mencanegara. Potensi yang
menggiurkan seperti ini tentu saja mengundang banyak pihak dari kalangan
pengusaha untuk menanam modalnya di sector ini, maka berbagai cara dilakukan
agar niatnya itu terlaksana dengan mengenyampingkan segala hal yang mungkin terjadi
dikemudian hari.
Kita semua
tahu kalau dampak dari pembangunan resort dan hotel-hotel yang melambangkan
kemodernan masa kini itu akan berdampak sangat luas terhadap masyrakat yang
telah tinggal disitu sejak dahulu kala sekali, kita bukan hanya bicara tentang
kerusakan alam, tapi juga secara cultural dan social. Pantai-pantai yang masih
alami akan berbeda kecantikannya apabila sudah disandingkan dengan beton-beton
dan ribuan manusia yang memadatinya, kearifan masyrakat local dengan segala macam tradisi budaya yang
melambangkan identitas mereka sebagai “tuan tanah” disitu akan ternoda, atau
bahasa sopan dan ilmiahnya terjadi asimiliasi, akulturasi dari masyarakat
pendatang nantinya. Yang lagi-lagi pasti menimbulkan masalah baru yang harus
menjadi bahan pertimbangan pemerintah sebelum berkeinginan memberikan ijin
pembangunan.
Jangan atas
dasar kemajuan investasi pariwisata kepentingan rakyat local dikesampingkan dan
malah nantinya dilupakan seperti yang sudah-sudah. Sifat dan perilaku para
pengusaha dimana-mana sama saja, mereka melihat sesuatu hanya sebatas untung
rugi saja, mereka tidak peduli dengan kerusakan alam, masyarakat yang
tertindas, nelayan terpinggirkan dan lain-lain.
Lalu siapa
pihak yang harusnya memikirkan kepentingan masyarakat keleas menengah kebawah
yang selalu menjadi korban? Kita. Kita yang aware dengan adanya permasalah ini
dan menyadari kalau potensi kerusakan alam dan tatanan social kedepan
seandainya pembangunan itu benar-benar terlaksana akan sangat besar dan
beragam.
Berita kerusakan
alam seperti laut yang tercemar limbah, hutan terbakar, banjir bandang, dan
masih banyak lagi bencana alam sebagian besar adalah ulah manusia. Kita tak
bisa mengenyampingkan fakta kalau hutan kita yang sangat luas sudah hampir
sebagian besar ditebang pohon-pohonnya, dibakar, dengan alasan pembukaan lahan
yang ujung-ujung nya adalah untuk ditanami lagi dengan kelapa sawit,
bangunan-bangunan perusahaan dan sebagainya.
Kita sebagai
rakyat harus belajar dari pengalaman. Jangan mau terjatuh di lubang yang sama
untuk yang kedua kalinya, sudah sangat banyak contohnya di hampir seluruh
daerah di bumi Indonesia ini bagaimana rakyat sengsara dan para penguasa dan
pengusaha menari-nari diatas penderitaan mereka, mereka sang pemilik sejati
tanah ini.
Kekayaan alam
dan tradisi suatu bangsa haruslah menjadi warisan terbaik bagi anak cucu kita
kelak, jangan malah kita sebagai generasi yang hidup dimasa sekarang mewariskan
kepada mereka kerusakan dan hilangnya identitas, jati diri mereka sebagai orang
Halmahera, Maluku, Sulawesi dan Indonesia. Kekayaan alam ini dan keberagaman
kultur budaya nya adalah sesuatu yang tak lahir dua kali kalau bukan kita yang
menjaga siapa lagi.
Comments
Post a Comment