Ni begitu biasa ia dipanggil,
panggilan dimasa kecilnya, ditengah keluarganya ayah-ibunya, kakak dan
adik-adik nya. Ni tumbuh dan besar bersama saudara-saudarinya terutama yang
perempuan dalam benteng kokoh bernama adat
yang(feodal, hirarkis, pathriarkis). Waktu dimana seorang perempuan tidak
mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, waktu dimana pendidikan
bukanlah sebuah kebutuhan, waktu dimana setelah dirasa cukup dewasa mereka akan
dinikahkan, mau ataupun tidak. Ke-feodalan Jawa dimasa itu hanya berlaku
dikalangan pembesar pribumi atau raja-raja kecil saja. Mengapa tidak karna
itulah identitas yang membedakan mereka dengan rakyat jelata, mereka para raja
ketika itu mendapat keistimewaan atau privilege
tertentu sebagai kaki tangan pemerintah colonial.
Anak-anaknya dapat bersekolah walaupun kondisi sekolahnya juga jauh kualitasnya
dengan yang diperuntukkan bagi anak-anak orang Belanda sendiri, tapi bagi anak
perempuan mereka harus siap kapan saja bila ada lelaki dari kalangan seperti
mereka juga yang meminta mereka untuk menjadi istrinya yang kesekian.
Ini seperti politk balas budi dari
Belanda kepada pribumi yang sudah mereka sengsarakan, juga agar lebih
memudahkan pengawasan atau control kepada masyarakat yang masih memendam
keinginan untuk memberontak, maka diberikanlah para keturunan raja tadi
kedudukan di sector-sektor yang strategis yang memudahkan pihak Belanda
meakukan fungsi pengawasan, digunakanlah raja-raja tadii sebagai perpanjangan
tangan Gubermen Hindia (padahal sebenarnya boneka) dari kerajaan Belanda, agar
lebih memudahkan mereka mendeteksi dan memadamkan sekecil mungkin kemungkinan
adanya usaha pembangkangan oleh rakyat. Rakyat yang kelaparan itu diberikan
secuil roti maka akhirnya diam.
Tidak ada perlawanan, gerakan massa
menuntut kesetaraan atau gerakan feminis lainnya. Ya Indonesia di kala itu atau
masih bernama Hindia Belanda berlaku hukum (khususnya di kalangan pembesar
pribumi/raja dan kelaurganya) yang menganut system feodal kuno sebagai manifestasi dari berlakunya adat dan
tata cara monarki ala raja-raja Jawa sebagai nenek moyang mereka. Belanda yang
menguasai hampir seluruh nusantara dan terutama adalah kerajaan-kerajaan yang tersebar
hampir diseluruh pulau, awalnya mendapat kesulitan untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan ini, sebut saja Perang Puputan di Bali, Perang Diponegoro, Perang
Padri, Perang Aceh dll yang tidak hanya mengorbankan banyak nyawa tentara
Belanda tetapi juga menguras cost
dari bendahara kerajaan yang tidak sedikit jumlahnya, dikarnakan perlawanan
yang tidak kenal kata menyerah itu berkobar seakan tidak ada habisnya, Belanda
hampir frustasi maka mereka menghalalkan segala cara agar pemberontakan serupa
tidak terulang dikemudian hari. ketika kerajaan-kerajaan yang ada di daerah
konflik tadi telah kalah dan tunduk, pemerintah Belanda dengan cerdik merangkul
mereka kembali, dijadikan sebagai aliansi Belanda dalam meneruskan
kepemerintahan langsung kepada rakyatnya. Dengan imbalan harta dan jabatan
tentu saja, dan perlakuan-perlakuan khsusus bagi raja dan keluarganya. Situasi
ini terus berlangsung guna menekan keinginan pemberontakan yang selalu ada
dalam diri rakyat, dan rakyat para petani terus saja kesusahan dan menjadi
korban. Karna hanya raja dan keluarganya yang mendapat perlakuan istimewa itu,
rakyat yang tidak tahu apa-apa toh tetap juga sengsara dan semakian sengsara
setiap harinya.
Mereka (Belanda) menggunakan status
kebangsawanan raja-raja di Jawa yang sudah ditundukkan itu dengan menunjuk
mereka sebagai kepala-kepala daerah (Bupati, asisten residen, kepala dan mandor
pabrik, juru ketik dll) sebagai alat control dan secara langsung menjadikan
pribumi yang dianggap berpengaruh sebagai kaki tangan yang penting bagi Belanda
untuk terus memperluas pengaruhnya di bumi Hindia Belanda dan melanggengkan kekuasaan
mereka terhadap negeri jajahan yang terus memberikan keuntungan besar bagi
kerajaan Belanda di Eropa sana.
Kartini yang hidup di masa seperti
itu karna ayahnya merupakan keturunan Raja maka otomatis ia mendapat perlakuan
seorang putrid raja. Ayah Kartini adalah Bupati Jepara yang mempunyai banyak
istri, ibu Kartini tak tau istri yang keberapa. Tapi yang pasti Kartini besar
bersama adik-adiknya yang juga menunggu waktu penjemputan mereka oleh calon
suami mereka nanti. Pada akhirnya Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang
waktu itu.
Kalau kita mau mencermati sedikit
saja, Kartini lebih dari sekedar memakai kebaya. Memperingati hari kartini
harusnya juga adalah menyadari betul cita-citanya lewat pemikirannya yang
disampaikan melalui surat-surat kepada teman-temannya di Belanda dan telah
dicetak menjadi sebuah buku yang terkenal di dunia sampai sekarang. Kartini
menginginkan perempuan Indonesia yang mandiri juga berbuat kepada rakyatnya,
kita memang sudah merdeka tapi masih banyak rakyat kita yang mendapat perlakuan
tidak adil dari pemimpin-pemimpinnya. Disinilah harusnya hadir kartini-kartini
baru tidak harus perempuan yang maju paling depan membela hak-hak kaum
tertindas atas kepentingan segelintir pejabat berpengaruh yang konkalikong
dengan pengusaha.
Perebutan tanah, pengrusakan alam
oleh tambang, buruh yang dibayar rendah, adalah kasus-kasus yang masih banyak
kita jumpai sampai sekarang. Ini adalah metode penjajahan wajah baru,
penjajahan ala modern yang penuh intrik politik dan kepalsuan. Lagi-lagi rakyat
yang dikorbankan dan menjadi budak kepentingan. Negara kita menganut system
demokrasi memang, setiap orang berhak memiliki usaha masing-masing untuk
memperkaya dirinya sendiri, tapi nilai-nilai demokrasi yang luhur itu telah
ternoda dengan hadirnya kapitalis yang membawa industry modern sebagai alternative percepatan pembangunan daerah
di Indonesia. Akibatnya apa, kerusakan alam, konflik masyarakat dengan pemilik
modal, korupsi proyek dimana-mana, buruh pabrik dikuras habis tenaganya dengan
jam kerja yang tak manusiawi, gaji yang dibayar rendah, para pekerja kelas
menengah kebawah adalah potret
perbudakan modern penuh tipu daya.
Ini semua ilusi. Tidak banyak yang
meyadarinya hanya segelintir orang saja yang mampu melihat ini sebagai penyakit
yang diam-diam menular keseluruh penjuru tubuh. Kebanyakan dari mereka terbuai
oleh mimpi-mimpi tentang perkembangan modernisasi ala barat yang dipuja-puja,
sampai mata hati mereka tertutupi dari kenyataan kalau banyak saudara
setanah-airnya masih terjajah hidup dan hartanya atas nama kemajuan itu tadi.
Tanpa dirasa kita telah berlaku zholim pula pada saudara sebangsa kita tadi,
tanpa kita sadari kita menjadi bagian dari system yang mengkorup habis rasa
kemanusiaan bangsa ini, kita hanyalah pion catur kecil dari keseluruhan bidak
catur yang dimainkan para penguasa, kita telah membiarkan saudara kita
kelaparan dan mati di depan mata kita. Demi apa kalau bukan mimpi untuk hidup
mewah dan berfoya-foya.
Inilah wajah Indonesia modern yang
dibangga-banggakan, penuh kemajuan juga luka yang tak ketahuan. Bangun! Bangun!
Saudaraku dari mimpi panjang mu akan hidup ala American dream nan jauh disana, media sangat berperan penting dalam
mensosialisasikan ide dan pandangan yang membentuk masayarakat menjadi mereka
yang sekarang. Tapi lewat media juga menjadi salah satu harapan kalau kesadaran
itu akan tumbuh kembali, kesadaran untuk menjadi lebih “manusiawi ala
Indonesia” atau kalau kata Bung Karno “Marhaenisme”. Dari rakyat oleh rakyat
untuk rakyat yang sebenarnya bukan lagi sekedar slogan belaka.
Comments
Post a Comment