Sebenarnya di jaman apa
kita hidup sekarang, apakah masih di jaman batu seperti dulu kala sekali ketika
orang-orang pra renaissance dan modernism belum tersentuh peradaban kemudian
saling berkelahi pakai kapak dari batu yang diruncingkan sampai mati hanya demi
sebuah makanan dan wanita,? atau jaman dinosaurus,? dimana yang kuat memakan
yang lemah, seperti hukum rantai makanan yang kita kenal dari bangku sekolahan
dan kini diaplikasikan bagi mereka yang berpikir seperti hewan. Inikah Negara
yang katanya sedang menaiki tangga kemajuannya itu, Negara yang menjunjung
tinggi kemanusiaan, bukankah di sila kedua pancasila kita ada kata “kemanusiaan
yang adil dan beradab”,?
Kasus kematian seorang aktivis
tambang di Lumajang seakan kembali menghentak penduduk republik ini dari tidur
panjang yang belum lagi pulas, kasus pelanggaran HAM yang menjadi PR pemerintah
bertambah satu lagi yang harus segera diusut sampai keakar-akarnya. Kebanyakan
dari mereka adalah aktivis lingkungan yang menentang adanya agenda pengrusakan
lingkungan dengan kedok usaha pasir tambang. Inilah sifat nyata dari hadirnya
sifat kolonialisme dalam situasi pertumbuhan ekonomi kita, monopoli menjadi
wajah nyata dari pergeseran nilai-nilai luhur yang menjadi warisan budi dan
daya dari leluhur yang tak ternilai harganya. Indonesia kini adalah kondisi
dimana pengusaha menghalalkan segala cara demi sebuah keuntungan financial
tanpa mempertimbangkan dampak kedepan yang akan terjadi pada alam yang menjadi
objek garapan perusahaan mereka (dalam kasus ini adalah pertambangan).
Pengerukan alam yang berlebihan hanya akan menghadirkan kiamat bagi bumi yang
sudah renta ini lebih awal.
Walau akhirnya aksi
heroic itu harus berakhir tragis. Yaitu mati dengan sangat menyakitkan bahkan
dijadikan tontonan oleh warga dan kejamnya lagi oleh anak-anak ditangan para
pesuruh penguasa yang mempunyai kedudukan, yang merasa posisinya terancam dan
usahanya mendekati kebangkrutan. Maka diambillah jalan pintas, membungkam mulut
sang pengacau, mengiriminya paket wisata
tanpa tiket untuk pulang. Tapi setidaknya mereka telah berjuang, mereka mati
dalam keadaan melawan dan tidak diam.
Apa yang terjadi pada
mereka para pejuang yang menolak tambang di belahan bumi Indonesia sana, adalah
contoh nyata saudara-saudara kita yang
memperjuangkan hak nya atas tanah nenek moyang mereka sendiri, agar tidak
dirusak, dikoyak keindahannya, dikuras habis isi perut buminya, lalu pada
akhirnya hanya akan ditinggalkan begitu saja menyisakan lubang-lubang menganga,
lubang yang mengandung racun, lubang sebagai monument peringatan akan
keserakahan seorang manusia. salah satu factor penting kemajuan suatu bangsa
adalah ketika orang-orangnya sudah tidak lagi menggunakan kekerasan sebagai
jalan pemecahan suatu masalah apalagi sampai menghilangkan nyawa. Sebaliknya apabila
fenomena maen bunuh dan tidak menghargai hak hidup orang itu masih tumbuh subur
berarti negara itu sakit dan telah rusak dari dalam.
Kejadian memilu dan
memalukan yang menimpa pada saudara pejuang kita yang wafat di tangan mafia
tambang dan antek-anteknya adalah bukti sahih tak terbantahkan kalau ada mafia
di beberapa sector kepengurusan sumber daya alam terbatas negeri ini (hutan, laut, tanah, dsb), dalam
kasus ini pun hanya salah satunya saja karna masih banyak lagi di sector sumber
daya alam lain juga disinyalir melibatkan banyak pihak terutama pejabat
pemangku kepentingan yang bermain mata (lihat masalah kebakaran hutan sekarang
yang menimbulkan dampak kabut asap tak berkesudahan). Masalah proyek, lelang
tender masih menjadi sumber penyakit yang gelap tak terjamah para pemain kelas
kakap, yang kita rasakan akhirnya hanya akibatnya yaitu kerusakan di bumi
Indonesia kita tercinta ini, tidak hanya alam yang menjadi objek
pengeksplotasian secara membabi-buta, juga kerusakan para pelaku nya, kerusakan
hati nurani yang telah ditutupi oleh nafsu kekuasaan dan harta. Sampai tega
membunuh saudaranya sendiri hanya agar proyek berjalan tanpa hambatan.
Mengapa penulis sebut mafia,
bukan penjahat atau kriminil biasa. Tidak, mereka tidak bisa disamakan dengan
para penjahat kelas teri biasa, karna cara main sudah beda. Cara main mereka
jelas menunjukkan kalau yang dipakai adalah rules
of the game para mafia, siapa tidak sepakat disikat. Lebih parahnya lagi
mereka mainnya terang-terangan, tanpa rasa malu atau takut ketahuan. Mereka
kirim orang kerumah, siksa, bunuh, selesai. Disiang bolong, didepan banyak
orang sebagai saksi mata. Ini bisa merupakan tanda dari dua hal, pertama mereka
bodoh (karna bertindak secara terang-terangan) atau memang sengaja
terang-terangan ingin menunjukkan diri kalau mereka jagoan.
Ini bukan kali pertama,
kasus semacam ini banyak dan sayangnya kebanyakapan pula tak pernah tuntas
untuk dibawa kemeja hijau para dalang utamanya. Relevan kah tragedy kemanusiaan
semacam ini terjadi di jaman dimana hak untuk hidup, untuk berbicara dan
berpendapat, hak merdeka diri seseorang diagung-agungkan dan dilindungi
undang-undang? Dinegara yang menjunjung tinggi kemerdekaan individu untuk
menyuarakan pendapat?
Negara dengan sejarah
tragedy kemanusiaan sekelam Indonesia ternyata tidak belajar, malah semakin
berlarut-larut saja karna efek didiamkan tadi. Belum tuntas kasus HAM yang satu
dan umur kasus nya pun sudah puluhan tahun lalu, sudah ada lagi kasus serupa
hanya menambah panjang PR pemerintah yang sayang nya tidak pernah diselesaikan,
juga menambah panjang kekecewaan rakyat pada penegak hukum yang seakan
kehilangan nyali kalau sudah berhadapan dengan orang “besar” di belakang proyek
yang “besar” pula.
Apa yang salah dengan
mereka, para pembunuh itu, orang-orang dibelakang mereka para pelaku intelektual
yang memberikan mandat dan license untuk mengambil jatah hidup seseorang, yang
korbannya bisa jadi adalah seorang ayah dari seorang putra atau putri, seorang
suami dari keluarga kecil sederhana, seorang anak yang dibesarkan dengan kasih
sayang berlimpah dari orang tuanya. Bukankah para pembunuh itu juga seorang
ayah, suami, sekaligus anak dari orang tuanya yang membesarkannya dari lahir
diatas payah dan kepayahan?
Apa yang salah dengan
orang-orang itu? Apakah kekuasaan, uang, dan harga diri menjadi alasannya.
Mereka tak mau usaha tambang nya dihentikan, tak mau kalau proyeknya gagal, tak
mau kalau modal tak kembali pulang. Apa hanya sekedar itu harga hidup seorang
anak manusia sekarang? Apakah dengan cara itu mereka menghidupi anak-anaknya
dirumah?. Kalau memang begitu kejadiannya, maka mereka dapat diibaratkan “mereka yang memakan daging sesama
saudaranya sendiri”.
"OUR HUMANITY WAS FAILED, WHEN WE TEACH AOUR CHILDREN TO SOLVE A PROBLEM WITH A WEAPON"
Comments
Post a Comment