Skip to main content

Negeri Para Preman (Part 1)


Sebenarnya di jaman apa kita hidup sekarang, apakah masih di jaman batu seperti dulu kala sekali ketika orang-orang pra renaissance dan modernism belum tersentuh peradaban kemudian saling berkelahi pakai kapak dari batu yang diruncingkan sampai mati hanya demi sebuah makanan dan wanita,? atau jaman dinosaurus,? dimana yang kuat memakan yang lemah, seperti hukum rantai makanan yang kita kenal dari bangku sekolahan dan kini diaplikasikan bagi mereka yang berpikir seperti hewan. Inikah Negara yang katanya sedang menaiki tangga kemajuannya itu, Negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan, bukankah di sila kedua pancasila kita ada kata “kemanusiaan yang adil dan beradab”,?  

Kasus kematian seorang aktivis tambang di Lumajang seakan kembali menghentak penduduk republik ini dari tidur panjang yang belum lagi pulas, kasus pelanggaran HAM yang menjadi PR pemerintah bertambah satu lagi yang harus segera diusut sampai keakar-akarnya. Kebanyakan dari mereka adalah aktivis lingkungan yang menentang adanya agenda pengrusakan lingkungan dengan kedok usaha pasir tambang. Inilah sifat nyata dari hadirnya sifat kolonialisme dalam situasi pertumbuhan ekonomi kita, monopoli menjadi wajah nyata dari pergeseran nilai-nilai luhur yang menjadi warisan budi dan daya dari leluhur yang tak ternilai harganya. Indonesia kini adalah kondisi dimana pengusaha menghalalkan segala cara demi sebuah keuntungan financial tanpa mempertimbangkan dampak kedepan yang akan terjadi pada alam yang menjadi objek garapan perusahaan mereka (dalam kasus ini adalah pertambangan). Pengerukan alam yang berlebihan hanya akan menghadirkan kiamat bagi bumi yang sudah renta ini lebih awal.

Walau akhirnya aksi heroic itu harus berakhir tragis. Yaitu mati dengan sangat menyakitkan bahkan dijadikan tontonan oleh warga dan kejamnya lagi oleh anak-anak ditangan para pesuruh penguasa yang mempunyai kedudukan, yang merasa posisinya terancam dan usahanya mendekati kebangkrutan. Maka diambillah jalan pintas, membungkam mulut sang pengacau, mengiriminya paket  wisata tanpa tiket untuk pulang. Tapi setidaknya mereka telah berjuang, mereka mati dalam keadaan melawan dan tidak diam.

Apa yang terjadi pada mereka para pejuang yang menolak tambang di belahan bumi Indonesia sana, adalah contoh nyata  saudara-saudara kita yang memperjuangkan hak nya atas tanah nenek moyang mereka sendiri, agar tidak dirusak, dikoyak keindahannya, dikuras habis isi perut buminya, lalu pada akhirnya hanya akan ditinggalkan begitu saja menyisakan lubang-lubang menganga, lubang yang mengandung racun, lubang sebagai monument peringatan akan keserakahan seorang manusia. salah satu factor penting kemajuan suatu bangsa adalah ketika orang-orangnya sudah tidak lagi menggunakan kekerasan sebagai jalan pemecahan suatu masalah apalagi sampai menghilangkan nyawa. Sebaliknya apabila fenomena maen bunuh dan tidak menghargai hak hidup orang itu masih tumbuh subur berarti negara itu sakit dan telah rusak dari dalam.

Kejadian memilu dan memalukan yang menimpa pada saudara pejuang kita yang wafat di tangan mafia tambang dan antek-anteknya adalah bukti sahih tak terbantahkan kalau ada mafia di beberapa sector kepengurusan sumber daya alam terbatas  negeri ini (hutan, laut, tanah, dsb), dalam kasus ini pun hanya salah satunya saja karna masih banyak lagi di sector sumber daya alam lain juga disinyalir melibatkan banyak pihak terutama pejabat pemangku kepentingan yang bermain mata (lihat masalah kebakaran hutan sekarang yang menimbulkan dampak kabut asap tak berkesudahan). Masalah proyek, lelang tender masih menjadi sumber penyakit yang gelap tak terjamah para pemain kelas kakap, yang kita rasakan akhirnya hanya akibatnya yaitu kerusakan di bumi Indonesia kita tercinta ini, tidak hanya alam yang menjadi objek pengeksplotasian secara membabi-buta, juga kerusakan para pelaku nya, kerusakan hati nurani yang telah ditutupi oleh nafsu kekuasaan dan harta. Sampai tega membunuh saudaranya sendiri hanya agar proyek berjalan tanpa hambatan.

Mengapa penulis sebut mafia, bukan penjahat atau kriminil biasa. Tidak, mereka tidak bisa disamakan dengan para penjahat kelas teri biasa, karna cara main sudah beda. Cara main mereka jelas menunjukkan kalau yang dipakai adalah rules of the game para mafia, siapa tidak sepakat disikat. Lebih parahnya lagi mereka mainnya terang-terangan, tanpa rasa malu atau takut ketahuan. Mereka kirim orang kerumah, siksa, bunuh, selesai. Disiang bolong, didepan banyak orang sebagai saksi mata. Ini bisa merupakan tanda dari dua hal, pertama mereka bodoh (karna bertindak secara terang-terangan) atau memang sengaja terang-terangan ingin menunjukkan diri kalau mereka jagoan.

Ini bukan kali pertama, kasus semacam ini banyak dan sayangnya kebanyakapan pula tak pernah tuntas untuk dibawa kemeja hijau para dalang utamanya. Relevan kah tragedy kemanusiaan semacam ini terjadi di jaman dimana hak untuk hidup, untuk berbicara dan berpendapat, hak merdeka diri seseorang diagung-agungkan dan dilindungi undang-undang? Dinegara yang menjunjung tinggi kemerdekaan individu untuk menyuarakan pendapat?

Negara dengan sejarah tragedy kemanusiaan sekelam Indonesia ternyata tidak belajar, malah semakin berlarut-larut saja karna efek didiamkan tadi. Belum tuntas kasus HAM yang satu dan umur kasus nya pun sudah puluhan tahun lalu, sudah ada lagi kasus serupa hanya menambah panjang PR pemerintah yang sayang nya tidak pernah diselesaikan, juga menambah panjang kekecewaan rakyat pada penegak hukum yang seakan kehilangan nyali kalau sudah berhadapan dengan orang “besar” di belakang proyek yang “besar” pula.

Apa yang salah dengan mereka, para pembunuh itu, orang-orang dibelakang mereka para pelaku intelektual yang memberikan mandat dan license untuk mengambil jatah hidup seseorang, yang korbannya bisa jadi adalah seorang ayah dari seorang putra atau putri, seorang suami dari keluarga kecil sederhana, seorang anak yang dibesarkan dengan kasih sayang berlimpah dari orang tuanya. Bukankah para pembunuh itu juga seorang ayah, suami, sekaligus anak dari orang tuanya yang membesarkannya dari lahir diatas payah dan kepayahan?

Apa yang salah dengan orang-orang itu? Apakah kekuasaan, uang, dan harga diri menjadi alasannya. Mereka tak mau usaha tambang nya dihentikan, tak mau kalau proyeknya gagal, tak mau kalau modal tak kembali pulang. Apa hanya sekedar itu harga hidup seorang anak manusia sekarang? Apakah dengan cara itu mereka menghidupi anak-anaknya dirumah?. Kalau memang begitu kejadiannya, maka mereka dapat  diibaratkan “mereka yang memakan daging sesama saudaranya sendiri”.  


"OUR HUMANITY WAS FAILED, WHEN WE TEACH AOUR CHILDREN TO SOLVE A PROBLEM WITH A WEAPON"

Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y