Pemerintahan yang hampir menginjak ulang tahun pertamanya ini
ternyata dalam proses pengaplikasian program yang diniatkan untuk kepentingan
kelihatannya tak berjalan terlalu mulus, seperti yang diharapkan. Jalan panjang berkelok lagi berkerikil
dihadapi Jokowi dan simpatisannya. Setelah beberapa kebijakannya banyak
dikritik kali ini dia mendapat sorotan kembali setelah menaikkan harga BBM
untuk kedua kalinya selama masa jabatannya yang belum setahun berjalan. Aksi
menolak dan ingin menurunkannya pun merebak hampir diseluruh penjuru negeri,
tentu saja kebijakan yang semakin menyengsarakan rakyat akan berhadapan dengan
rakyat pula.
Dibalik semua alasan Jokowi menaikkan kembali harga BBM
ternyata berdampak luas terhadap “citra” nya sebagai presiden yang merepresentasikan
orang kecil. Jokowi dianggap tidak peka dengan kondisi sosial, psikis dan
psikologis rakyat Indonesia yang masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan.
Entah dengan alasan apa dan perhitungan bagaimana pemerintah menetapkan
kenaikan yang otomatis memicu kenaikan disegala sektor bahan pokok rumah
tangga, rakyat tetap lah rakyat yang ingin segala kebijakan yang diambil
pemerintah memihak mereka bukannya sebaliknya.
Kata-kata seperti inflasi, moneter, saham, investasi,
kebijakan luar negeri, pasar bebas adalah kata-kata yang jarang dimengerti oleh
sebagian besar rakyat yang berpendidikan rendah. Dimana mayoritas rakyat yang
kondisi ekonominya menengah kebawah itu atau masuk dalam golongan “orang kecil”
adalah pendukung Jokowi yang kelihatan “sama” seperti mereka. Mulai dari
perawakan, perilaku/gestur/cara bicara/cara berpakaian. Pokoknya sosok Jokowi
yag sering tampil di media dengan gaya blusukannya itu primadona sekali dimata
rakyat yang tak paham arti politik dan maknanya. Ketika seseorang sudah
mengidolakan seorang tokoh, maka secacat apapun tokoh itu nanti akan tampak
sempurna dihadapan para pendukungnya, dan Jokowi tau betul dia mendapat
keuntungan besar dari segala “citra” yang telah dibentuknya selama ini.
Intinya rakyat tidak tau, dan tak mau tahu tentang semua
kosakata ilmiah yang dilontarkan mereka para pemangku kepentingan di negeri
ini. Indeks-indeks, atau angka-angka yang menyebutkan ekonomi Indonesia
membaik, terbaik di Asia Tenggara, paling potensial dalam kurun waktu beberapa
tahun kedepan, Indonesia mampu bersaing di kancah global, dan lain-lainnya itu
sama sekali tak berdampak pada mereka rakyat kecil yang hanya mengais makan
dari sampah perkotaan dan pasar tempatnya menyambung hidup sehari-hari. Yang
ironisnya pasar tradisional kini semakin terpinggirkan dan terancam
ditinggalkan akibat menjamurnya supermarket, mall-mall dan tempat perbelanjaan
lain yang tentu saja lebih menarik dimata konsumen dan menjadi pesaing yang
sangat tak seimbang. Apalagi pemerintah sangat loyal dalam memberikan ijin pada
pengusaha supermarket yang pasti akibatnya akan mengancam mata pencaharian
masyarakat menengah yang hanya menggantungkan hidup hanya dari warung-warung
kecil dan UKM (Usaha Kecil Menengah).
Keberpihakan pemerintah pada rakyat bukan ditunjukkan oleh
angka-angka, statisktik, fluktuasi ekonomi dunia, menguat atau melemahnya
dollar. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana harga bahan pokok sehari-hari
seperti minyak, beras, cabai dan sebagainya tak selalu naik seiring kebijakan
pemerintah yang getol menaikkan harga, terutama BBM. Berdasar pada kebodohan
penulis yang memang jujur mengakui tak mengerti arti angka-angka yang
disebutkan tadi sejauh mana pengaruhnya pada rakyat jelata Indonesia secara
langsung, tapi alangkah baiknya kalau pemerintah membuat skala prioritas
sebelum menetapkan suatu program atau kebijakan yang mengatasnamakan rakyat,
benarkah rakyat dilibatkan? Akankah manfaatnya dirasakan langsung oleh rakyat?
Bukan segelintir orang. Apakah ini bukan sekedar ajang pembentukan citra dengan menggiring opini
rakyat pada statistik palsu mengenai perkembangan ekonomi Indonesia di mata
internasional?. Cukup sudah pembodohan ini saudaraku.
Sekali lagi, rakyat tak butuh itu semua. Yang rakyat tau
jaminan hidup, pendidikan anak-anaknya, kesehatan, masa pensiun,
keberlangsungan sosial yang sehat dapat terjalin dan diaplikasikan dengan baik
dan adil oleh setiap pemerintah setempat, dengan cara dan warna Indonesia bukan
mendikte dari bangsa luar. Statistik tak mebuktikan apapun dan tak berdampak sedikitpun
pada kesejahteraan rakyat, peraturan tegas dan memihak dari pemerintah daerah
sampai yang paling atas untuk kemudahan mencari rejeki dan keadilan menata
usaha malah akan lebih dirasakan langsung manfaatnya. Bukannya selalu mementingkan kepentingan
keluarga sendiri, teman sejawat, dan anggota partainya saja yang selalu
didahulukan. Sistem ekonomi kapitalis semakin menghantui Indonesia dengan
dibukanya pasar bebas, diprediksi hanya akan menguntungkan para pemain lama,
pengusaha besar, dan sekelompok pejabat korup yang selalu meminta jatah. Apa
untungnya untuk rakyat? Tidak ada.
*rakyat disini adalah mereka para petani, pedagang di
pasar-pasar tradisional, buruh, orang-orang pedalaman yang akses nya pada
informasi dan pembangunan yang jawasentris dan jakartasentris terbentang jarak
ribuan mil. Soekarna menamai mereka Marhaen, orang asli Indonesia. Indonesia
belum sepenuhnya merdeka kalau para petaninya masih sengsara.
Comments
Post a Comment