Skip to main content

Konsep Literasi Media dan Perjuangan Melawan Mafia Media

Konsep literasi media mulai dikenal banyak kalangan setelah era digitalisasi saat ini berdampak besar pada meluasnya jangkauan media massa terutama online menjadi bisa dikatakan tak terbendung lagi, hampir menjangkau ke segala kalangan massa (terutama pengguna aktif internet dan sosial media). Literasi media sendiri adalah sebuah konsep pemikiran atau pengetahuan mengenai perilaku selektif dalam memilih media mana dan berita (informasi)  apa yang akan dikonsumsi seseorang. Karna setiap informasi yang diperoleh pasti berasal dari suatu media sebagai komunikatornya dan sebagai pembaca atau dalam hal ini adalah komunikan, harus cerdas memilih mana berita yang “baik” untuk dicerna dan masuk ketubuh dan pikirannya. Karna dari informasi itu akan sangat berpengaruh pada pembentukan ide dan persepsi dalam pemikiran seseorang dalam memandang suatu permasalahan dalam hidupnya dan perkembangan seperti apa yang sedang terjadi dinegaranya, untuk kemudian memberikan penilaian-penilaian yang notabene berasal dari pemikiran yang ia baca dan lihat.

Sebegitu besar dan krusialnya peran media massa dalam “mendoktrinasi” pikiran pemirsanya ternyata tak diikuti oleh kesadaran masyrakat akan kenyataan mengkhawatirkan tersebut. Mereka terus saja terlena dengan apa yang ditawarkan oleh media seperti iklan, berita tak berimbang, propaganda, kampanye pembodohan dan sebagainya.

Aksi untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya pengetahuan semacam ini sudah mulai dagalakkan beberapa orang, komunitas, LSM dll yang peduli akan gentingnya masalah ini, tetapi besarnya media dan mafia yang dilawan membuat pergerakan mereka seakan tak terlihat apalagi dirasakan. Tetapi bukan perjuangan namanya kalau hanya berhenti sebatas itu saja, orang-orang yang peduli pada nasib negeri ini dan memilih mengambil tindakan nyata untuk memperbaikinya, sudah sadar betul bahwa jalan perlawanan yang mereka ambil penuh kerikil tajam dan berliku, jadi sedikit luka dan rasa sakit hanyalah bagian dari perjuangan yang hasilnya nanti akan berdampak luas pada kehidupan anak cucu kita selanjutnya. Berjuanglah wahai aktivis pemuda dengan jalan perjuanganmu masing-masing!

Musuh kita saat ini adalah, orang-orang tua kolot yang terobsesi pada kekuasaan yang akhirnya menggunakan media massa sebagai kendaraan berpolitiknya, demi keuntungan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya, lalu mengorbankan hak dan kepentingan rakyat diatas itu semua. Penggunaan media massa untuk hal yang tak seharusnya jelas bertetangan dengan undang-undang yang berbunyi “tanah, air, dan udara digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bukan individu.

Yang kita bicarakan disini adalah tentang frekuensi publik. Setiap media seperti radio, televisi, sambungan telepon, penerbangan, militer, hingga satelit menggunakan frekuensi sebagai salah satu instrumen penting terselenggranya penyiaran sampai ketelinga pendengar. Berada di udara secara tak kasat mata, alokasi frekuensi diatur oleh sebuah lembaga di bawah PBB bernama International Telecommunication Union (ITU). Lembaga ini yang membagi-bagi jatah alokasi frekuensi bagi setiap negara, termasuk Indonesia.
 

Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (bukan kepentingan segelintir orang yang membangun kerajaan medianya sendiri untuk kepentingan politik dan kekuasaan).

Dari sini jelas apa yang terjadi di negeri Indonesia tercinta adalah sebuah pelanggaran berat dan merugikan seluruh rakyat Indonesia sebagai pemegang hak milik tak terbantahkan atas sumber daya alam terbatas negaranya. Cukup sudah kita menjadi kacung di negeri sendiri, menjadi negara jajahan selama bergenerasi, hanya karna tidak bisa menggunakan dengan baik kekayaan berlimpah yang kita miliki dibawah kaki dan diatas kepala setiap anak Indonesia. Tetapi ketika kesempatan itu datang, kemerdekaan telah kita raih, ketika harapan untuk bisa mengurus diri sendiri, bebas memberdayakan setiap jengkal tanah dan alam yang kita punyai sendiri telah terbuka lebar di depan mata, justru hak-hak itu kembali terjajah, lebih sakitnya lagi bukan mereka dari luar benua, luar negeri yang datang kembali menjajah, tapi bangsa sendiri! Yang menghisap habis kekayaan bangsanya, merendahkan manusia lainnya. Mereka-mereka ini adalah penerus jejak para penjajah dengan muka pribumi, kelakuan tak bermoral, hanya mementingkan dirinya sendiri.

Tak perlu orang menjadi jenius untuk menyadari kalau ada ketidakberesan dalam penyiaran di televisi, berita di koran dan media-media portal berita online dinegeri ini. Contoh nyata ada ketika pemilu tahun kemarin saja, betapa media sudah melupakan atau bahkan tidak menganggap lagi kaidah-kaidah jurnalistik yang benar, seperti berimbang yaitu:
1.      tampilkan fakta dari masalah pokok
2.      jangan memuat informasi yang tidak relevan
3.      jangan menyesatkan atau menipu khalayak
4.      jangan memasukkan emosi atau pendapat ke dalam berita tetapi ditulis seakan-akan sebagai fakta
5.      tampilkan semua sudut pandang yang relevan dari masalah yang diberitakan
6.      jangan gunakan pendapat editorial

kejujuran, kecermatan, kelengkapan dan kejelasan, dan keringkasan. Berita yang kita saksikan sekarang di media-media Indonesia adalah berita yang memihak, memihak yang punya media. Memutarbalikkan fakta, untuk membuat kesan salah dan jelek pada lawan politik nya sang pemilik media dan sebaliknya membuat seolah bos nya adalah orang paling benar sejagat. Dan seterusnya seterusnya…

saya yakin kita sadar, Cuma kita tak mau ambil pusing dengan dengan ketidakberesan ini dan memilih diam dan membiarkan.

“Ingatlah negara ini hancur bukan karna banyaknya orang jahat diluar sana yang berbuat kerusakan, tapi karna banyaknya orang baik yang hanya diam!”



Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

HIDUP DIATAS STIGMA (puisi essay)

Tak pantaskah aku hidup selayaknya mereka? Tak bisakah aku bermain selayaknya anak biasa? Tak ada lagikah bagiku kesempatan untuk menuliskan cita-cita tanpa embel-embel pembangkangan dibelakangnya? Tak adakah harapan bagiku menjalani sisa hidup tanpa stigma atas dosa masa lalu ayah ibuku yang tak sepenuhnya mereka kerjakan? Inikah garis hidup yang engkau gariskan Tuhan, pada seorang gadis kecil tak tahu apa-apa dan tak tau arah mengadu kemana? PROLOG Gadis kecil itu tak tahu apa-apa Ditinggal ayah dan bundanya entah kemana Orang bilang diasingkan atau dilenyapkan Sungguh dua kata asing baginya dan semakin membingungkan saja Berjalan sendiri mengarungi hidup Tanpa punya tempat mengadu dan menyandarkan bahu kecil dan tubuh kurusnya Si gadis kecil dengan mimpi besar Seolah berjalan sendiri tanpa harapan Diana namanya. Ya, hanya diana saja Tanpa embel-embel nama belakang Apalagi bin dan binti yang menandakan kalau dia punya orang tua Setiap k