Beberapa
waktu yang lalu kita dihebohkan dengan pembakaran massa kepada seorang pelaku
begal yang tertangkap basah sedang mencoba merampas motor seorang pengguna jalan, aksi sang begal tidak berjalan
mulus karna ternyata sang target sasaran atau calon korban melakukan perlawanan
hingga terjadilah aksi pengeroyokan massa tersebut. Apes nya setelah ditangkap
dan dihajar habis-habisan pelaku begal itu tidak lantas diberi ampun dan
diserahkan kepada pihak yang berwajib, ternyata keapesannya tidak selesai
sampai disitu, amukan massa malahan semakin menjadi-jadi sampai tega
membakarnya.
Kesadisan
massa dalam kasus ini haruslah disadari sebagai sebuah bentuk klimaks
kekecewaan masyarakat yang gerah dengan ketidakamanan yang ada di tempat
tinggal mereka. Apalagi dalam kasus begal ini, seolah menjadi alasan yang cukup
bagi mereka (dan masyarakat dimanapun) untuk melakukan aksi main hakim sendiri
tersebut, tanpa bermaksud mengamini
perlakuan semacam itu, karna warga atau massa sudah terlanjur marah dengan para
pelaku begal ini yang semakin merajalela dan juga tak mengenal ampun dalam
melakukan aksinya. Ditambah lagi aparat seakan tak ada gunanya, selalu tak ada
ditempat apabila diperlukan, seperti polisi India saja yang selalu datang
terlambat ketika penjahatnya sudah terkapar tak berdaya.
Sebenarnya
perlakuan sadis semacam ini (begal kepada korbannya dan calon korban atau
masyarakat kepada begal yang tertangkap) bukanlah yang pertama tapi sudah
kesekian kalinya. Aksi main hakim sendiri sampai menghilangkan nyawa sudah
jamak kita lihat dan dengar, bahkan mungkin kita sendiri pernah melakukan aksi
keji seperti itu. Tapi begitulah kenyataannya, kejahatan pembegalan terus saja
berulang, dan hukum jalanan pun tak akan pernah berakhir selama aksi kejahatan
ini masih subur di jalanan dan aparat selalu terlambat seperti biasanya dan tak
tanggap dengan kondisi di suatu daerah yang dinilai rawan danmenjadi tanggung
jawabnya.
Uniknya
dari kasus ini setelah kejadian yang menjadi sorotan di dalam negeri itu oleh
berbagai media massa, pihak kepolisian rutin dan serentak di seluruh wilayah
Indonesia melakukan razia di jalanan, sebagai upaya pencegahan terjadinya aksi
begal, dan mempersempit ruang gerak para pelaku begal. Begitulah kiranya tujuan
diadakannya razia itu, yang terkesan menunggu bola bukan menjemput bola, juga
dadakan dan sepertinya sudah terlambat.
Yang
jadi permsalahan disini adalah. Apakah harus menunggu ada yang mati dulu, ada
pengguna jalan yang terluka dulu bahkan kehilangan nyawanya dulu baru diadakan
razia besar-besaran. Apakah polisi tidak mempunyai jadwal patroli malam,
terutama dijalanan sepi dan sekiranya rawan terjadi tindakan kriminal. Polisi
dalam kasus ini terkesan selalu menunggu momen, tidak ada inisiatif untuk
memulai sebuah tindakan pencegahan sebelum adanya jatuh korban. Baik dari
pengguna jalan ataupun pelaku kejahatan begal itu sendiri.
Cerita
tragis semacam ini sesungguhnya tidak terjadi hanya dalam kasus pembegalan saja.
Dalam kasus-kasus yang lain seperti bencana misalnya, setelah bencana terjadi
dan banyak jatuh korban. Barulah kita saling tunjuk pihak mana yang paling
disalahkan dari bencana itu, harusnya seperti ini harusnya seperti itu. Kita
seperti tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu, selalu menunggu bencana
baru kita beramai-ramai menggalang kekuatan, bantuan dan sebagainya.
Tidak
adakah program-program dari pemerintah dan seluruh lapisan dibawahnya, yang
mempunyai divisi khusus pencegahan terjadinya suatu bencana misalnya. Jangan
sampai suatu bencana yang pernah dan sering terjadi kembali terulang kembali
setiap tahunnya dan kembali memakan korban tanpa adanya usaha untuk melakukan
perbaikan dan rencana konkret untuk meminimalkan sebisa mungkin bencana itu
terjadi lagi.
Contoh
yang paling nyata adalah mudik. Mudik di Indonesia sudah bagaikan acara wajib
tahunan seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, menjelang lebaran idul fitri
ribuan bahkan jutaan orang di seluruh daerah berbondong-bondong pulang ke
kampung halamannya. Tapi apa persiapan yang dilakukan untuk mengantisipasi
itu?, perbaikan jalan yang selalu saja tidak selesai, kecelakaan lalu-lintas
yang semakin bertambah dan memakan korban, begitu terus terjadi setiap
tahunnya. Seolah-olah jalan-jalan itu tidak pernah usai untuk diperbaiki,
bahkan terkesan hanya menunggu momen mudik saja baru akan diperbaiki tentu saja
waktunya tak cukup, akhirnya rakyat lah yang menjadi korban, korban dari uang
pajak yang mereka bayarkan sendiri.
Kondisi
seperti ini diibaratkan seperti jatuh dilubang yang sama berulang-ulang kali.
Sayangnya pihak yang harusnya tanggap terhadap permasalahan urgent semacam ini
seakan tak ada nyali dan terkesan kehabisan akal dalam menanggulanginya. Sampai
akhirnya ketika warga masyarakat turun tangan sendiri dalam mencari keadilan
diantara mereka, dijalanan mereka, mereka seolah disalahkan. Harusnya yang
menjadi pertanyaan, dimana aparat ketika itu?
Apakah
harus menunggu bencana, barulah kita bisa bersatu??
Comments
Post a Comment