Skip to main content

Jogja calon kota metropolitan


Beberapa saat yang lalu penulis menemukan sebuah artikel dengan judul yang langsung membuat miris. “ jogjakarta semakin men-jakarta”. Paham kan maksudnya?
Ya kita semua sebagai orang indonesia mengenal Jogja (ditulis Jogja saja tidak Yogyakarta agar lebih singkat) sebagai kota yang beridentitas budaya atau mempunyai ciri khasnya sendiri, dikenal sebagai kota pendidikan, kebudayaan , wisata, dan sejarah.  Maka tak pelak Jogja menjadi satu dari sedikit kota di Indonesia seperti juga Bali, Lombok dll yang menjadi tujuan wisata utama kebanyakan wisatawan domestik dan mancanegara, ini membuat Jogja menjadi kota yang sibuk dan mau tak mau selalu berbenah atau merubah dirinya demi “memuaskan” para tamu-tamunya yang setia datang ke kota nan bersahaja itu, siang dan malam.

Tapi sayangnya perubahan yang dilakukan terkesan sporadis dan tak mengenal aturan, berdirinya hotel dan penginapan, mall-mall dan supermarket besar mendominasi sebagai bangunan yang paling banyak didirikan dan mengambil lahan yang tidak sedikit di Jogja yang malang. Bahkan yang terbaru di Jogja akan segera diresmikan supermarket terbesar se Jawa Tengah. Waww apakah kita harus bangga dan senang?? atau miris dan gigit jari??

Setiap perubahan yang terjadi di tengah masyrakat tentu saja menimbulkan dampak positif dan negatif, namun untuk kasus di Jogja saat ini penulis rasa sudah masuk kedalam tahap yang gawat plus mengkhawatirkan, karna penulis merasakan sendiri walau bukan orang Jogja (tapi orang Indonesia dan mencintai setiap inci dari tanah ini) dan sudah beberapa kali ke Jogja selalu yang dirasakan pertama adalah Jogja perlahan berubah nuansanya sebagai Daerah yang harusnya ter ”istimewa” karna kultur dan segala tentang ketradisionalannya menjadi Jogja yang berubah kearah lebih modern dan berwajah urban, bukan lagi tradisional dan Jawa banget sebagai identitas aslinya yang luhur dan selalu dibanggakan.

1.   1.    Pertama adalah dampak positif dari maraknya pendirian super mall, hotel dan bangunan megah lainnya. Yang paling dirasakan yaitu banyak menyerap tenaga kerja (membuka lapangan kerja), entah bagi orang Jogja itu sendiri atau bagi pendatang. Memudahkan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari karna semakin menjamurnya supermarket dan mini market di lingkungan tempat tinggal mereka. Perputaran ekonomi yang semakin meningkat tentu saja akan menaikkan pendapatan pemerintah daerah dari sektor pajak dan perijinan lainnya, kalau yang ini tergantung pemerintah daerah setempat yang bertanggung jawab mengelola uang itu untuk kepentingan rakyat, kalau uang pajak itu nantinya digunakan untuk semata-mata kebutuhan dan kemakmuran masyarakat Jogja maka jadi positif kan, tapi wallahu a’lam. Terakhir  membuat kota Jogja semakin ramai dan semarak (tidak terlalu yakin ini positif atau tidak sebenarnya), yang tentu saja nantinya akan lebih banyak menarik wisatawan dan orang Jogja sendiri untuk datang dan berbelanja.

2.   2.    Dampak negatif. Semakin terpinggirkannya para pelaku usaha kecil dan menengah dalam hal ini adalah pedagang kecil yang sudah berpuluh-puluh tahun berjualan di pasar atau daerah tempat supermarket itu dibangun, karna kehadiran supermall ini. Terpinggirkan dalam arti yang sebenarnya yaitu dinomor duakan sebagai tempat masyarakaat membeli kebutuhan sehari-harinya juga pendapatan mereka yang tentu saja akan berkurang drastis dari yang biasanya mereka dapatkan. Terancamnya Jogja yang terkenal eksotik karna nuansa budaya dan sejarahnya dan digantikan dengan wajah urban yang mencerminkan hidup ala perkotaan, kapitalis nan hedonis. Pergeseran nilai sosial dan kearifan masyarakat setempat terutama generasi mudanya yang dikhawatirkan terjadi, karna gempuran arus modernisasi ala barat yang dibawa kaum kapitalis berkedok investasi dan selalu berlindung atas nama progress atau kemajuan jaman.  

Namun penulis rasa dampak positif yang kebanyakan berbasis ekonomi tak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari maraknya pembangunan gedung-gedung seperti hotel dan pusat perbelanjaan lainnya di kota Jogja. Memudarnya nilai-nilai kebudayaan dan sejarah dan berpotensi besar akan hilang sama sekali, merupakan mimpi buruk bagi masyarakat Jogja khususnya dan Jawa pada umumnya. Uang bisa dicari, tapi identitas, warisan sejarah nenek moyang, dan kebanggaan pada nilai-nilai budi pekerti lah yang tak akan pernah tergantikan oleh apapun. Ketika berbicara tentang Jogja kita berbicara mengenai suku Jawa yang merupakan salah satu suku terbesar di negeri ini dan bahkan Indonesia selalu diidentikkan dengan Jawa.

Pemerintah daerah dalam hal ini sebagai pihak yang paling bertanggung jawan harusnya aware dari awal, ketika investor masuk ke suatu daerah tak lain tujuan mereka adalah materi semata, walau setiap perusahaan diwajibkan melaksanakan program CSR (Company Social Responsibility) nya, kita harus jujur itu tak pernah banyak dirasakan manfaatnya, entah karna kurang maksimal atau setengah hati malaksanakannya. Kita harus belajar dari banyak daerah yang sudah dikuasai ‘pasar” sepenuhnya, Jakarta contoh paling nyata, penduduk aslinya orang betawi sudah terpinggirkan jauh dari tempat mereka yang seharusnya.

Kesan pertama yang didapat orang yang datang ke Jogja saat ini adalah, di Jogja kita susah sekali parkir karna penuhnya jalan-jalan dengan mobil-mobil dan kendaraan lain (saking ramenya), kemudian ada aneka toko yang berjualan berbagai macam barang disisi jalan, mulai dari makanan, aksesoris, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Kemudian Jogja sudah terasa sangat padat, dengan banyaknya pendatang yang mengadu nasib di kota gudeg itu dan bangunan baru tentu saja ini ikut andil merubah wajah jogja yang semakin semrawut dan hilang kesan ketradisionalannya dan berubah menjadi ke-kota-kota-an dan bergaya modern. Jogja seakan tidak lagi menampakkan wajah aslinya, Jogja yang dulu dikenal seakan tenggelam semakin kedalam dan terpinggirkan oleh bangunan-bangunan besar dan megah khas metropolitan, kita kalau mau melihat wajah asli Jogja, keluhuran tradisi dan segala tentang masyrakatnya haruslah kepinggiran, ke tempat-tempat yang masih perawan tapi semakin terancam akan terbuang.  Kalau Jogja selalu dirombak sedemikian rupa demi kepentingan bisnis yang hanya menguntungkan sekelompok orang semata, lalu apa bedanya Jogja dengan kota-kota lainnya??

Tak dipungkiri fenomena ini terjadi karna kesempatan emas ini terlalu menggiurkan untuk dilewatkan begitu saja, yang dimaksud dengan kesempatan emas adalah Jogja menjadi lahan basah bagi para investor untuk menanamkan modalnya dikarnakan mempunyai iklim yang menjanjikan akan mendatangkan keuntungan secara finansial dan menjadi aset jangka panjang (dalam hal ini adalah properti seperti bangunan dll), dengan predikat sebagai kota yang ramai, ramah penduduknya, tujuan wisata pula menjadi daya tarik yang tak bisa ditolak oleh para pelaku usaha untuk mendirikan usaha mereka dan mulai mencengkram Jogja kearah modernisasi yang mengenyampingkan segala hal yang berbau tradisional dan tak mendatangkan keuntungan.
Kisah sedih Jogja yang berubah kearah kemuraman masa-masanya memang memprihatinkan, banyak orang yang menyayangkan mudah nya para investor mendapat ijin untuk mendirikan bangunan-bangunan terutama supermarket besar yang jelas-jelas mengancam mata pencaharian para pedagang kecil dan menengah yang notabene adalah orang asli Jogja dan sudah berjualan sekian lama. Perubahan memang diperlukan tapi alangkah baiknya kalau perubahan itu dapat seirang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut didaerah yang menjadi tempat berlangsungnya perubahan itu, baik itu nilai moral masyarakatnya, kebudayaannya, dan nilai sejarah yang tak ternilai harganya.
Memang kalau sudah menyangkut uang dan kekuasaan segalanya akan dianggap sah-sah saja, apa sih dinegeri ini yang tak bisa dibeli dengan uang?. Miris memang tapi begitulah kenyataannya, kita patut  prihatin dengan kondisi Jogja saat ini dan tak dapat dipungkiri Bali dan banyak kota-kota lain juga mengalami hal yang kurang-lebih sama, hilang identitas aslinya karna serbuan dunia luar yang mengancam kelangsungan nilai budaya setempat sebagai identitas asli di daerah tersebut.

Pertanyaannya sekarang, sampai kapan kota-kota itu mampu bertahan? Jawabannya, tak akan lama.

Ketika masyrakat sudah memilih diam  tanpa melakukan apa-apa,
Maka jangan heran,
ketika kita sadar bahwa identitas dalam diri kita terancam,
 rasa memiliki terhadap tempat tinggal, tempat dimana kita lahir dan tumbuh besar, tempat kita bermain merajut mimpi bersama teman,
 akan berubah menjadi beton nan bertingkat-tingkat,
dan sadar kalau nilai kearifan lokal yang kita punya itu tak ternilai harganya
juga merupakan warisan terbaik bagi anak cucu kita di masa depan,
 mulai sedikit demi sedikit hilang,
hanya penyesalan yang datang,
maka
 bangunlah untuk bergerak sekarang, menentang dan berjuang!!
#SAVEJOGJA

NB: Article bersangkutan http://www.kaskus.co.id/post/54cdd3ba0e8b46d576000005#post54cdd3ba0e8b46d576000005

Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y