Tak pantaskah aku hidup
selayaknya mereka?
Tak bisakah aku bermain
selayaknya anak biasa?
Tak ada lagikah bagiku
kesempatan untuk menuliskan cita-cita tanpa embel-embel pembangkangan
dibelakangnya?
Tak adakah harapan
bagiku menjalani sisa hidup tanpa stigma atas dosa masa lalu ayah ibuku yang
tak sepenuhnya mereka kerjakan?
Inikah garis hidup yang
engkau gariskan Tuhan, pada seorang gadis kecil tak tahu apa-apa dan tak tau
arah mengadu kemana?
PROLOG
Gadis kecil
itu tak tahu apa-apa
Ditinggal
ayah dan bundanya entah kemana
Orang bilang
diasingkan atau dilenyapkan
Sungguh dua
kata asing baginya dan semakin membingungkan saja
Berjalan
sendiri mengarungi hidup
Tanpa punya
tempat mengadu dan menyandarkan bahu kecil dan tubuh kurusnya
Si gadis
kecil dengan mimpi besar
Seolah
berjalan sendiri tanpa harapan
Diana
namanya.
Ya, hanya
diana saja
Tanpa
embel-embel nama belakang
Apalagi bin dan
binti yang menandakan kalau dia punya orang tua
Setiap kali
Diana kecil bertanya perihal kedua orang tuanya
Jawaban
sunyi yang dia terima
Entah orang
benar tak tahu, atau menutupi sesuatu
Masa lalu
kelam, menyakitkan, atau memalukan, Diana rasa
Diana
beranjak dewasa di panti asuhan
Dengan
sejuta tanda tanya di kepala nya
Apalagi
kalau bukan tentang asal-usulnya
Tak mungkin
dia muncul begitu saja,
seperti Son
Go Kong yang menjadi tontonan favorit Diana dan teman-temann seusianya, begitu
saja keluar dari batu.
Diana tumbuh
menjadi gadis yang pintar
Memiliki
pandangan berbeda dari kebanyakan anak perempuan seumurannya
Banyak membaca
buku dan merenungi alam,
kondisi
sosial, bahkan dirinya yang paling dalam, biasa ia lakukan, sendiri..
merenung...
Sampai
akhirnya dia menemukan,
Puzzle-puzzle
yang membentuk jawaban yang dicarinya selama ini
Jawaban yang
tak diharapkan nya memang.
Pahit namun
harus diterima
Orang tuanya
dikatakan terlibat dalam sebuah gerakan “makar”
Kalau
istilah pemerintah saat itu benar atau hanya dikarang
PENCARIAN
G 30 S PKI (Gerakan
30 September Partai Komunis Indonesia) katanya,
telibat
makar melawan negara.
Hanya
kengerian yang Diana tahu tentang peristiwa itu,
siapa yang
tidak menjadi korban propaganda penguasa soal tragedi ini?
Setiap
tahunnya di tanggal 30 September Pemerintah selalu memutar Film Penghianatan G
30 S PKI di sekolah-sekolah.
Sebagai
bentuk peringatan, seremoni diatas jutaan kematian
Juga dari
buku-buku sejarah penguasa terdahulu,
dari film
yang wajib menjadi tontonan, dan desas-desus tanpa nama.
Di masa Orde
Baru (1967-98) otak anak-anak dijejalkan paksa pada sebuah tontonan nan sadis
bergidik ngeri,
pengalaman
menonton film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI.
Film karya
Arifin C. Noer yang diproduksi tahun 1984..
Apakah ini
sebuah bentuk pencucian otak? Indoktrinasi? Pemaksaan kehendak?
Mungkin saja....
Dikenal
dengan sebutan G30S PKI,
adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal
1 Oktober 1965,
tujuh
perwira tinggi militer Indonesia dibunuh,
usaha
percobaan kudeta, yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis
Indonesia.
Merupakan satu
dari sekian banyak sejarah kelam yang mengiringi berdiri bangsa ini,
Kelam dan
tak terselesaikan.
Diana
terlalu pintar untuk mempercayai ini semua begitu saja,
apa kabar
orang tuaku diujung bumi tak bernama?
Lirihnya
selalu sebelum memejamkan mata.....
Pencarian
masih berlanjut, walau lagi-lagi,.
Diana hanya
menemukan tanda tanya
Dan warna
abu-abu.
Diana bukan
lagi gadis lugu
Dia lebih
dari sekedar tahu tentang arti konspirasi dan kekuasaan
Bukan
masalah benar atau salah pada masa lalunya
Yang hanya
Diana ingin tahu, nasib orang tuanya
Tahun
1965....
korban jiwa
sebanyak 500.000 hingga 3 juta jiwa, dibunuh, lenyap, dan dikubur massal tanpa
nisan
pembantaian
besar yang tak pernah diusut tuntas,
Sampai sekarang
tak tau rimbanya, apa kabar mereka....?
Katanya
kudeta, katanya konspirasi para jenderal, katanya perbuatan makar, dan seribu
katanya..
Diana ingin percaya
pada sejarah bangsa ini, ah sukar rasanya.
“sejarah
dibuat oleh mereka yang menang”
Itu yang
Diana tau,
dan dia
tidak akan pernah menaruh kepercayaan pada penguasa,
mereka yang
menang. Dengan trik tipu-tipu ala penguasa yang haus jabatan
Beranjak
dewasa, kegetiran itu tak pula sirna
Beberapa
kali ditolak bekerja dan kuliah karna status bapaknya
Bapak yang
dia tak tau dimana rimbanya.
Pernah dan
menjadi ritual dalam doanya,
Diana dalam
sujud panjang dan derai air mata.
Pernah
meminta, suatu kali pada Tuhannya.
“mengapa tak
kau ambil saja jiwa hambamu ini tuhan,
toh tidak
akan ada yang menangisinya,
lahir
sebatang kara dan akan pergi serupa pula”.
Cukup
menggambarkan kepedihan hati dan rasa selalu sendiri......
Kegetiran
hati dan jiwanya dengan sangat lihai Diana sembunyikan dari teman-temannya,
wajahnya
seakan selalu menampakkan ketegaran,
sebagai
ungkapan semangat bahwa mereka tak boleh menangisi kehidupan.
“anak PKI,
pengikut komunis!!”,
“keluarga
pembunuh! Musuh negara!!” umpatan yang
biasa Diana dengar.
Diana
mencoba mengerti,
umpatan itu
hanya datang dari orang berpikiran dangkal,
Diana rasa
itu yang tertempel di jidatnya,
semacam
gelar baginya dan teman senasib dengannya.
Umpatan
bernada mengejek dan memojokkan itu..
Bentuk
diskriminasi yang biasa Diana rasakan sejak pertama kali dia mendapat pandangan
berbeda.
Waktu itu..
dia masih
seorang gadis kecil,
malam dia
habiskan menangis, bertanya “mengapa.. mengapa Tuhan?”
Nasib
membawanya menjadi warga negara kelas dua
Atau munkin
tanpa kelas, karna keberadaan golongan
Seperti
mereka jauh dari kata diperhitungkan.
Akhirnya
Diana membuat pilihan.
MELAWAN LUPA.
Diana memulai
pengembaraannya pada kebenaran, ya turun kejalan...
Dari mulai
literatur sejarah dia lahap habis,
Diskusi
dengan tema-tema sejarah berbau tragedi dia ikuti,
Seminar-seminar,
sampai mengumpulkan para korban dari keluarga-keluarga yang dirugikan oleh
stigma PKI yang melekat pada keluarga mereka, ia kumpulkan jua.
Mereka
berkumpul,
para
keluarga korban dari stigma miring dan tak bertanggung jawab,
atas dosa
masa lalu keluarga mereka,
yang masih
sangsi benar dan salahnya.
Diana
seketika menjadi komandan,
menggalang
kekuatan dari jiwa-jiwa yang luka karna tindasan stigma,
stempel pada
jidat mereka kini dijadikannya senjata, untuk melawan...
Seakan
berkata dengan lantang,
“ini kami
wahai presiden, rakyatmu yang terasing di negerinya sendiri! Karna dosa orang
tuanya”.
Siang
itu.... aksi dimulai.
Diterangi
terik matahari sebagai satu-satunya lampu sorot yang menerangi,
Diana
berpuisi diatas podiumnya,
dengan
polisi berseragam dengan tongkatnya yang siap mencari korban sebagai penonton,
teman-teman
seperjuangan sebagai satu-satunya suporter yang telak kalah jumlah,
namun
pantang mundur mereka berdiri mengharap didengar..
“Mengorek
luka lama saja!”,
“sejarah
kelam tak usah lagi diungkit-ungkit!”,
“hey ngapain
kalian demo bikin macet saja!”.
Itu yang
mereka bilang, pendapat orang-orang kebanyakan
tanggapan
dari pengendara yang laju nya terhambat karna demo dari Diana dan
teman-temannya yang jumlahnya tak seberapa..
dari mereka
para komentator, yang hanya lewat.
Lagi-lagi
pertentangan, “lelah rasanya kami selalu ditentang dan dihadang”. Diana
bergumam.
mereka yang
tidak tahu apa-apa! Biarkan mereka menyalak sesukanya.
Tanpa pernah
tahu apalagi merasakan,
kami yang
pesakitan!
Kalian sudah
diam saja! (ingin sekali rasanya Diana berteriak begitu, tapi lagi-lagi ah
sudahlah..)
Kalau luka
itu masih basah dan semakin bernanah di setiap hati pengidapnya,.
PERLAWANAN ITU DIMULAI
Diana
berpuisi dengan berteriak, di depan gedung mereka yang “katanya” terhormat.
“kami hanya sekumpulan domba di
tengah padaang gersang,
digembalakan tanpa mengenal sang
majikan, juragan, bos dan rentenir berdasi,
kami disini mencari keadilan, kalaupun
itu masih ada....
bagi kami keluarga korban stigma PKI
yang kasusnya tak pernah terselesaikan..!!!
Dimana bapak kami,.
Ibu kami,.
Saudara-saudara kami yang katanya
berdosa pada negeri ini,.
Tolong....................................
tolong.. ..
yang
kami cari hanya jawaban..”
sepenggal
puisi penutup Diana dalam pertunjukkan siang itu.
Entah sudah
yang keberapa kalinya..
Mereka tetap
tak didengar..
Mencari
literatur mengenai kejadian itu
Diana tak
menemukan kesulitan,.
Pertanyaannya,
apakan benar kejadian itu seperti yang mereka bilang?
Diana
dihadapkan pada sebuah keadaan dimana antara kebenaran dan kebohongan susah
dibedakan..
Sebagaimana
perjalanan dalam mencari kebenaran,
selalu saja
ada yang menghadang,
Diana
diancam,
semakin
dikerdilkan,
komunitasnya
terkucil kesudut gang, bernama status sosial.
Tapi Diana
tak patah arang,
kepalang
tanggung dia bilang,
“hidupku sudah penuh nestapa, cacian adalah nama keduaku, tak
aada alasan untukku menyerah di tengah jalanku mencari kebenaran..”
PENGHAKIMAN
Seperti yang
telah dijadwalkan,
Mereka akan
kembali bergerak,
mengorek
sisa-sisa keadilan di negeri ini kalau saja ada yang tercecer di jalan yang mereka tempuh dengan jalan
kaki,
jumlah tak
seberapa,
modal hanya
beberapa tulisan di kertas karton,
bendera
merah putih yang telah usang,
dan sisa
keberanian yang dipaksa dikuatkan,
kalau tidak
mereka tidak akan berani keluar..
Long march kelompok kecil itu..
tak begitu
menarik perhatian memang,
ah getir..
Tak banyak
pewarta berita, tak apa lah..
Diana sang komandan
bersiap menaiki mimbar tempatnya berteriak,
menyalak,
melonglong,
apapun
sebutannya..
menyuarakan
pendapat dan harapan yang diwakilkannya dari teman senasib sepenanggungan..
Sang
pengikut di hadapannya, berkerumun panas berpeluh..
“walau tak pernah ada tanggapan,.
Dan kami dipandang sebelah mata,.
Jangan pernah ragukan kesetiaan kami
pada negeri ini wahai Indonesiaku..”
puisi itu hampir habis dibaca,
mendekati akhirnya..
“lahir dari bumi Indonesia adalah
kebanggaan dan anugerah bagi kami,.
Walau rasanya bukan seperti di rumah
sendiri,..
terimalah jerit tangis ini...”
Diana mulai menitikkan air matanya.
“bukan kesedihan arti dari bulir air
mata kami..
bukan pula penyesalan karna terlahir
sendiri,.
Di bumi mu yang serba indah, kami tak
pernah sendiri..
tapi sekali lagi kami sampaikan..
kami tak pernah menyesal menjadi Indonesia.
Ka,.
Dorrr!!!
Kerumunan
pecah, lari tunggang langgang,.
Suasana
mendadak mencekam,
Setiap orang
menyelamatkan diri masing-masing..
Bahkan
aparat pun lari..
Entah dari
mana peluru panas melesat,
Menembus
daging memuntahkan darah,.
Dari atas
gedung atau semacamnya..
Diana ingat,
ah si Petrus rupanya..
Diana roboh
diatas podium tempat satu-satu nya dia dan teman-temannya berharap di dengar,
Beberapa
teman menghampiri dan terisak..
Mata diana
basah,
mata dan badan
yang mulai lemah itu akan segera kehilangan kesadaran..
ketika
sedikit cahaya matahari masuk ke matanya,
melalui
celah-celah kerumunan orang yang mengerubutinya..
Seakan
berbisik dan memberi kekuatan..
“ayo.. ayo..
sedikit lagi, selesaikan..”
Di atas
pangkuan seorang teman,
dengan
lubang di badan bekas tembakan, baju berlumuran darah..
Diana
bertekad menyelesaikan bait terakhir puisinya..
“ka.. mi a.. kan selalu bang..ga..
la.. hir dan be.. sar di bumi Ibu pertiwi, s
a.. tu satu nya.. ibu ba.. gi kami.. ”
–Dari Anakmu Yang Terlupakan- Judul
Puisi terakhir Diana.
Diana
menutup mata, menutup buku pencariannya..
THE END
NOTES
1.
Partai
Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh
dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya
berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
2.
Pada
1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen
Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
3.
Korban:
Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando
Operasi Tertinggi)
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
§ Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono
(Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
§ Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I
Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
§ Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan
(Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
§ Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
(Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
§ Jenderal TNI Abdul Harris Nasution
yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya,
putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas
Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di
Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan
pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
§ Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
§ Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan
Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
§ Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala
Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
4.
Pada
tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara.
5.
Pada
akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali.
6.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk
belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino,
Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir
25 tahun sejak kudeta itu.
7.
Sesudah
kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30
September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film
mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di
Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto
biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya
dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP
Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan
lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
8.
Pada
29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian
acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu
hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk
"Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan
1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri
para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo
Sasongko, dan Putmainah.
DAFTAR PUSTAKA
Alex Dinuth
"Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI" Intermasa, Jakarta 1997
James
Luhulima, 2006, Menyingkap dua hari tergelap di tahun 1965: melihat peristiwa
G30S/PKI dari perspektif lain, Jakarta: Buku Kompas. Hal 13
Manai
Sophiaan, 1994, Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat
G30S/PKI, Jakarta: Visi Media.
Setiyono,
Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30
September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003
SUMBER INTERNET
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
http://wartasejarah.blogspot.com/2014/11/mengingat-tragedi-pengkhianatan-g30spki.html
Comments
Post a Comment