Skip to main content
INDONESIA TANPA DISKRIMINASI KEYAKINAN/AGAMA
 “Apakah Kami Berbeda?”

”Aku tak melihat perbedaan sama sekali diantara kami,.
Dan aku masih tak tahu mengapa kalian para orang tua yang selalu pintar menasehati kami, mempermasalahkan itu,.
Sampai saat aku terbangun dengan keterkejutan yang bahkan tak pernah kubayangkan akan terjadi di sini, ditanah kelahiranku sendiri...
Ketika kita semua saling mencoba menjatuhkan, berteriak dan merasa paling benar”.



Pembukaan...
Sebelum bapak memimpin negeri ini, saya ingin bapak untuk mengetahui tentang sejarah kelam yang pernah dialami bangsa ini, sejarah yang mencoreng kenyataan bahwa tanah air ini berdiri diatas perbedaan. mulai dari warna, latar belakang bahkan keyakinan.
Walau saya yakin bapak sudah mengetahuinya, tapi alangkah bijaksananya kalau bapak meluangkan sebentar saja waktu bapak yang sangat berharga itu, untuk membaca surat sederhana dari seorang anak Indonesia yang mempunyai mimpi besar bagi bangsanya.

Peristiwa itu bermula,..
Aku  lahir dan besar disuatu daerah diantara gugusan pulau dan bentangan keindahan pantai dari negeri yang luas ini, tumbuh dan bermain dengan teman-teman di alam pedesaan jauh dari hiruk pikuk kehidupan glamour kota, tidak mengenal gedung pencakar langit hanya awan-awan dan atap rumah ibadah yang menaungi masa kecil kami..

Kami masih terlalu kecil waktu itu untuk memahami bahwa aku dan kawan-kawanku lahir membawa identitas dalam diri kami yang berbeda, ya berbeda...
Sampai kami pun beranjak dewasa dan akhirnya menyadari arti perbedaan yang selama ini banyak dialamatkan orang-orang pada warga tempat kami tinggal. Kami  baru mengerti sekarang. Untung aku rajin membaca sampai bisa tahu informasi sangat penting ini, dan terima kasih untuk bapak Ahmad guru agama ku disekolah yang memberikan wacana pengetahuan tentang perbedaan diantara kami.

Aku terlahir sebagai muslim, keluargaku adalah imigran dari jawa yang telah lama menetap di Bali. Ayahku dulu meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan sampai akhirnya nasib membawanya ke Bali dan kini telah puluhan tahun dan generasi kami menetap disini. Bukan hanya keluarga ku saja yang imigran atau berasal dari luar daerah tapi banyak juga, sebagian besar adalah para pencari kerja dan muslim.

Ditengah lingkungan yang mayoritas beragama hindu di Bali. daerah tempat kami tinggal dikenal sebagai salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi turis asing dari berbagai negara dan domestik. Kami pun dikenal karna toleransi yang sangat tinggi diantara kami sejak dulu, bahkan kalau hari raya idul adha maka sebagian dari masyarakat di desa kami yang beragaman hindu akan berjaga-jaga disekitar area masjid, biasa disebut pecalang. Juga sebaliknya apabila hari raya nyepi maka orang-orang beragama islam akan ikut serta menjadi satpam dadakan bagi daerah sekitar mereka demi menjaga agar mereka yang sedang beribadah tetap tenang dan nyaman, sungguh indahnya rasa toleransi yang terjalin diantara kami sejak dulu.

Di upacara-upacara adat pun sama, seperti Ngaben, Melasti, Nyepi dan lainnya kami ikut menyemarakkan, menonton, mempelajari budaya masing-masing daerah adalah sebuah bentuk kebahagiaan dan rasa syukur kepada Tuhan, bahwa kita terlahir dengan perbedaan tapi dapat bersatu diatas perbedaan itu.

Aku yang berbeda keyakinan sendiri dari kebanyakan teman-temanku sangat mengenal adat kebiasaan maupun tradisi mereka, orang-orang bali. Karna mau tidak mau karna hidup di lingkungan yang mengharuskan kami warga minoritas terlibat secara langsung terhadap setiap acara adat yang rutin dilaksanakan masyrakat di desa kami. Masyarakat di Bali memang tidak pernah terlepas dari upacara-upacara keagamaan atau upacara adat yang dimulai dari lahir sampai meninggal. Upacara adat ini dilaksanakan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dengan Tuhan.

Sebut saja Melasti, Melasti merupakan rangkaian dari hari raya nyepi, dimana upacara melasti dilaksanakan rutin setiap setahun sekali yang dilaksanakan setiap tahun baru saka. Upacara melasti adalah suatu proses pembersihan diri manusia, alam dan benda-benda yang dianggap sakral untuk dapat suci kembali.

Potong gigi, biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebut juga sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa, meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.

Namun ternyata pengetahuan dan toleransi saja tidak cukup, diantara sekian banyak manusia di daerah tempat kami tinggal dengan latar belakang ekonomi dan keyakinan berbeda, pengetahuan, simpati dan empati, akan selalu ada celah dimana satu perkara kecil ataupun sebaliknya dapat memantik sumbu konflik yang tidak diinginkan.

Sampai akhirnya titik itu sampai pula, ketika suatu malam daerah Bali digemparkan bahkan Indonesia dengan kejadian biadab dan mengenaskan di Ubud. Sebuah bom meledak dan menewaskan banyak orang....

Sejak saat itu semuanya tak lagi sama....
Perjalanan pagi ku menuju sekolah kini kujalani sendiri, dimana teman-temanku Nyoman, Ketut, dan Luhde?? Pagi itu yang kudapat hanya pandangan asing yang selama aku tinggal di desa kami tak pernah kudapatkan. Setiap pandangan orang kepadaku hari itu sungguh berbeda, dan lagi-lagi aku tak tahu mengapa...

Sepulang sekolah rumah ku tidak biasanya sedikit ramai, diruang tamu kulihat ayah dan beberapa orang lain sedang membahas sesuatu dengan serius, diantaranya aku kenal yaitu pak Dahlan imam dimasjid tempat aku dan keluargaku biasa sholat dan sudah seperti saudara kami sendiri dan ada pak Ahmad guru agama disekolahku. Aku ingin menyapa mereka, tapi ah aku tak ingin mengganggu..

Sejak saat itu tak kutemui lagi sahabat-sahabatku, Nyoman, Ketut dan Luhde. Sedang apa mereka? Apa yang mereka pikirkan mengenai kejadian ini?, apakah mereka akan membenciku disebabkan hal yang tak kumengerti sama sekali? Istilah yang bahkan asing ditelinga kami anak-anak desa?. Teroris itulah kata yang paling banyak aku dengar belakangan ini.

Kami  masih terlalu kecil untuk terlibat, tapi tidak untuk menyadari kalau kami berada diambang perpecahan..

Sungguh tak dapat aku membayangkannya...

Beberapa waktu kemudian melalui televisi dan surat kabar merilis tersangka pemboman sebagai teroris dan antek-anteknya..

Walau mereka para teroris “seakan” merepresentasikan agama tertentu, tapi kami bukanlah orang bodoh yang bisa diadudomba begitu saja, sejak terungkap nya pelaku pemboman, ketegangan di desa sedikit mereda walau masih ada sedikit pergerakan yang harus selalu membuat kami warga minoritas waspada....

Aku sudah bisa ke sekolah lagi, walau dengan tatapan berat ibu ku,. Beliau masih sangat khawatir....

Akhirnya aku bertemu dengan sahabat-sahabat ku Nyoman, Ketut dan Luhde, tapi ada yang berbeda...

kami berkumpul setelah sekian lama tidak bertemu, banyak yang kami ceritakan tentang kondisi keluarga kami masing-masing pasca peristiwa pemboman itu, banyak cerita pilu yang aku baru dengar, ternyata paman dan beberapa saudara Nyoman menjadi korban dari tragedi itu, aku sungguh sedih mendengarnya. Itu membuat keluarga Nyoman sangat marah sampai berniat untuk membalas kepada orang-orang islam di desa, untung saja itu tidak terjadi..

Sampai akhirnya kebenaran akan selalu menang,....
diantara teman-temanku tinggal Nyoman saja yang masih belum bisa melupakan tragedi memilukan yang hampir saja merusak pertemanan kami. Sekuat tenaga aku mencoba menyadarkannya dari rasa benci dan keinginan balas dendam, dan alhamdulillah akhirnya Allah membuka hatinya untuk mau menerima kenyataan, dan kembali bermain bersama kami sahabat-sahabatnya yang ada aku disitu, seorang muslim, dan seorang teman yang tidak akan pernah memandang status apapun kepada diri temannya juga paling penting yang tidak akan membeda-bedakan teman hanya karna sebuah keyakinan.



Penutup.....
Itulah sedikit cerita masa kecilku,. Kuharapkan buat bapak nanti siapapun presiden yang kan terpilih bisa menghapus dan membuang jauh-jauh diskriminasi apapun bentuknya dari bumi pertiwi ini. Karna tak dipungkiri lagi, kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, besar karna perbedaannya, corak warnanya, ribuan pulaunya, dan kekayaan alam yang tak terhitung jumlahnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menunjukkan bahwasannya perbedaan bukanlah menjadi penghalang untuk membentuk sebuah kesatuan, sebaliknya dapat menjadi alat yang dapat mengubah sejarah negeri ini menjadi lebih baik dengan kebhinekaannya.

Jangan sampai ada anak-anak kecil lain yang mengalami kejadian pilu seperti ceritaku ini. Jangan sampai masa kecil mereka hilang percuma hanya karna arogansi sekelompok orang yang merasa paling benar. Lindungi masa depan anak kita dan bangsa ini dengan mulai menghormati setiap pilihan hidup orang lain, karna perbedaan adalah rahmat dan bukannya alasan untuk memulai kiamat.

Itulah yang aku rasa harus menjadi perhatian serius para calon pemimpin negeri ini kedepan. Bukan hanya melulu ekonomi, pendidikan, pembangunan, melainkan memperhatikan aspek-aspek penting mengenai diskriminasi yang sangat rentan sekali menimbulkan perpecahan dan dimanfaatkan sekelompok orang untuk memecah-belah kita Indonesia.




Sekian wassalam,


Anak Indonesia

  

 NB; Surat ini merupakan hasil rekaan belaka, mohon maaf kalau ada kesamaan nama, peristiwa, tokoh dan tempat.

Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y