Beberapa waktu kemarin, belum lama ini, kita baru saja
memperingati Tragedi 98 atau yang lebih dikenal dengan tragedi Semanggi.
Puluhan media dari segala bentuk kembali mengangkat luka lama ke permukaan
headline berita mereka, hanya saja kali ini lebih berbau politis karna terasa
memojokkan seseorang sebagai kambing hitam.
Tragedi Semanggi merupakan satu peristiwa, tonggak sejarah
dimulainya sebuah gerakan mahasiswa dan rakyat (people power) melawan
kesewenang-wenangan pemerintah saat itu. Walau pada prosesnya pergerakan yang
menumbalkan puluhan korban jiwa ini membawa banyak kenangan pahit dan tragis,
korban mulai dari warga sipil sampai etnis-etnis tertentu yang terenggut rasa
kemanusiaannya.
Rasanya tak elok kalau kembali membuka aib bangsa ini,.
Let’s move on..
Mengapa darah? (kembali ke judul). Darah adalah hal termahal
yang dikorbankan para mahasiswa ketika
memperjuangkan reformasi segala lini dan menuntut lengsernya penguasa yang
seakan tak tersentuh ketika itu. Darah dapat berarti nyawa, hidup, dan masa
depan mereka yang tergadaikan oleh aksi bejat nan tak bertanggung jawab,
tertembus peluru bangsanya sendiri, yang ironisnya sedang ia perjuangkan ketika
meregang nyawa.
Mengapa reformasi? Reformasi adalah visi, apa yang menjadi
tujuan perjuangan kawan-kawan mahasiswa waktu itu, reformasi dibutuhkan sebagai
sebuah bentuk penyegaran sistem birokrasi yang dinilai sudah tak lagi berpihak
pada rakyat. Reformasi dibutuhkan sebagai jaminan bahwa bangsa yang besar ini
tak lagi butuh dipimpin oleh seorang diktator, yang hanya memperkaya diri
sendiri, keluarga dan kroni-kroninya saja.
Jadi tak ada bedanya dengan waktu kita dijajah, hanya saja ketika itu
kita hanya tak sadar saja kalau sedang dijajah, oleh bangsa sendiri.
Tak ada kebebasan berekspresi, media dibredel, segala sektor
industri dikuasai keluarga dan golongan sendiri.
Mengapa penghianatan?. Karna itulah yang kita saksikan kini.
Perjuangan dengan nyawa sebagai taruhannya dari martir-martir anak-anak bangsa
sendiri dikhianati begitu saja oleh para pelaku media saat ini (mereka hanya
salah satunya saja), kebebasan yang diperjuangkan setengah mati bahkan sampai
mati itu telah dilupakan. Cita-cita yang
digantungkan sejak awal mula dimulainya gerakan perlawanan seakan hilang tak
berbekas, mereka lupa pada para pendahulunya, pendiri bangsa ini dan secara
sadar dan terencana menghianati pengorbanan mereka.
Jelas sekali bentuk penghianatan itu, menggunakan aset
negara (frekuensi publik) untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya saja.
Memberikan informasi yang tak berimbang dan memihak kubu tertentu, karna sang pemilik perusahaan maunya begitu.
Media kini hanya berorientasi keuntungan tanpa mengindahkan aturan
perundang-undangan dan kode etik jurnalistiknya.
Apalagi? Apalagi? Apalagi? Yang kalian harapkan dari
orang-orang berkuasa diatas sana, mereka tak lagi memperdulikan kalian rakyat
jelata, mereka hanya butuh kalian ketika pemilu saja untuk ditebus suaranya
dengan lembaran rupiah. Media massa adalah sektor vital yang seharusnya menjadi
anjing pengawas jalannya suatu pemerintahan disuatu negara berpaham demokrasi,
yah walau akui saja kita belum bisa memahami demokrasi dengan seharusnya.
Demokrasi justru diartikan sebagai kebebasan sebebas-bebasnya menguasai apa
saja selama itu atas nama rakyat Indonesia.
Penghiatanatan itu kini dipertontonkan teman-teman, dan kita
adalah penontonnya...
Jangan pernah mempercayai apapun yang anda dengar dan lihat
dari media sekarang ini, kalau tidak anda akan terprovokasi dan akhirnya akan memilih
dan memihak pada sesuatu yang keliru, karna
penyesalan selalu datang di ending nya saja dan tidak akan merubah apa-apa.
“DON’T TRUST” ADALAH SLOGAN KITA SEKARANG!!!
Comments
Post a Comment