Skip to main content

Feminisme. usaha perempuan pada kesetaraan

Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki
Sejarah Feminisme

Gerakan feminis dimulai sejak akhir abad ke- 18, namun diakhiri abad ke-20, suara wanita di bidang hukum, khususnya teori hukum, muncul dan berarti. Hukum feminis yang dilandasi sosiologi feminis, filsafat feminis dan sejarah feminis merupakan perluasan perhatian wanita dikemudian hari. Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.

Walaupun pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriaki. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh idiologi pembuat keputusan, dan idiologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sifat patriaki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku.

Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriaki. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan.

Perkembangan di Amerika Serikat
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan pada tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Pada tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Pada tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..

Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.

Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.

Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).

Aliran :

Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

Feminisme anarkis.
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

Feminisme Marxis.
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

Feminisme sosialis.
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Feminisme postkolonial.
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

Feminisme Nordic.
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.

TOKOH DALAM FEMINISME
1. Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
2. Naffine (1997:69)
Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.
3. Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.

Feminis adalah sebuah kata yang diambil dari kalimat Perancis (féminisme) dan berasal dari kata Latin (femind), kemudian mengalami sedikit perubahan. Dalam bahasa Inggris dan juga Jerman, kata itu mempunyai arti yang sama.

Feminine (feminim) bermakna wanita atau jenis perempuan. Istilah Feminisme dapat digunakan untuk dua makna. Makna pertama adalah makna yang telah digunakan secara umum dan telah dikenal, yakni sebuah pemikiran dan kebangkitan untuk membela hak-hak wanita atas laki-laki dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik. Di dalam bahasa Persia, kata feminis sepadan dengan kata zan sâlari , zan gerâ-i dan lain-lain. Jelasnya bahwa dengan semakin laju dan majuhya berbagai pemikiran, muncul pula berbagai organisasi, lembaga dan yayasan yang bergerak dalam bidang kewanitaan dengan nama dan label yang bermacam-macam, seperti: organisasi wanita, lembaga wanita, emansipasi wanita, kebangkitan wanita, dan lain-lain.

Makna kedua adalah: Sifat dan prilaku kewanitaan yang nampak pada laki-laki. Makna yang kedua ini tidak termasuk dalam bahasan kita.
Feminisme sebagai sebuah gerakan untuk membela hak-hak wanita atas laki-laki, mempunyai latar belakang yang panjang. Gerakan itu muncul sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa istilah itu baru digunakan secara resmi pada abad pertengahan sembilan belas Masehi.          Untuk tujuan merealisasikan pemikiran Feminisme, secara perlahan muncullah berbagai bentuk lembaga dan organisasi. Berbagai cara dan metode pun dilakukan untuk dapat mencapai tujuan dan keinginan mereka. Dari dimensi sejarah perkembangannya, Feminisme dapat dibagi kepada dua fase.

Fase pertama: Sejak permulaan abad 19 sampai tahun 1920-an (setelah perang dunia pertama). Fase kedua: Sejak dasawarsa 60-an dan seterusnya.
Yang jelas bahwa Feminisme, pada awal gerakannya adalah merupakan kebangkitan untuk menuntut hak-hak wanita yang bermula terjadi di Amerika. Artinya dalam menghadapi pelecehan wanita yang berkaitan dengan masalah sex. Ketika itu mereka memulai gerakannya untuk tujuan menuntut hak-haknya yang hanya berdasarkan pandangan dimensi sosial, dan kemudian dimensi agama pun mengalami perkembangannya.

Tentunya titik-titik kelemahan gerakan Feminisme ini pun nampak terlihat. Walaupun demikian, pada tahun 1970 – 1980 berbagai macam gerakan feminis itu tumbuh bagai jamur. Gerakan-gerakan tersebut terbentuk dari mulai kelompok-kelompok yang ekstrim sampai kepada kelompok-kelompok agamis. Akibatnya adalah munculnya berbagai ide, pemikiran dan pandangan mengenai feminis. Akan tetapi semuanya itu tidak memperhatikan hak-hak wanita yang sebenarnya. Karena itu, solusi lain yang sesuai harus dicari, sehingga tidak ada lagi pelecehan atas hak-hak wanita. Dan adanya berbagai topik bahasan mengenai feminis juga menimbulkan ikhtilaf dan perbedaan pemikiran di anatara mereka.

Beberapa aliran Feminisme yang ada saat ini adalah: Feminisme liberal, Feminisme Marxisme, Feminisme radikal, Feminisme sosial, Feminisme pra-modern, Feminisme Islam dan lain-lain. Gerakan Feminis yang mempunyai latar belakang yang panjang, telah masuk ke negara-negara Islam dengan cara dan jalan yang beraneka-macam sejak akhir abad 19.
Feminisme sebagai sebuah kebangkitan dan gerakan sosial, setelah melakukan aktifitasnya selama beberapa dasawarsa, telah mampu menelorkan berbagai pandangan dan pemikiran yang dituangkan dalam bentuk lembaga yang mereka namakan Women’s Studies (pengkajian wanita) yaitu sebuah lembaga ilmiah. Di samping itu pula telah berhasil membentuk gerakan baru yang menelorkan para spesialis di bidang kewanitaan.


Dari berbagai sumber.

Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y