Globalisasi
secara umum merujuk pada suatu fenomena integrasi dan intensifikasi aktifitas
ekonomi-politik negara-negara ke dalam bentuk sistem ekonomi berbasis pasar.
Paska perang dingin tahun 1990
Kecenderungan hubungan internasional telah bergeser sangat signifikan ke
arah pola yang sangat ekonomistik. Hubungan interdependsensi adalah tren yang
didorong sebagai pemicu kerjasama ekonomi yang lebih maksimal. Sejumlah
institusi internasional dibangun berikut kesepakatan-kesepakatannya dalam rangka mencetak formasi dunia yang
lebih berkembang dan maju. Pasar bebas merajai ranah perpasaran internasional
entah itu merupakan agenda propaganda atau benar wacana yang dicanangkan
pemerintah dunia untuk memajukan sistem perekonomian dunia terutama
negara-negara berkembang.
Seakan
menjadi dalih bagi keterbukaan setiap negara bagi semua “barang” untuk masuk
ke negara yang menganut sistem pasar
bebas, banyak pro dan kontra yang kemudian muncul ke permukaan dengan alasan
mematikan perekonomian dalam negeri dan semacamnya, namun toh berkat
agresifitas monopoli politik ekonomi di hampir seluruh badan pemerintahan di
setiap negara terutama di negara-negara penganut demokrasi, maka pasar bebas
akhirnya menggelar lapaknya juga di setiap pasar di negara-negara berkembang.
Berkembangnya ekonomi dunia, dengan meningkatnya
permintaan pasar pada produksi barang dan jasa buatan luar negeri tidak
semata-semata berlatar belakangkan motif ekonomi semata, dibalik itu semua
terdapat kepentingan-kepentingan politik sejumlah pihak yang menjadikan ekonomi
dan kesejahteraan sebagai alatnya saja untuk mencapai tujuan tertentu baik individu
maupun kelompok. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwasannya sektor pasar besar
beberapa produksi level dunia kini hanya dikuasai beberapa orang saja, seperti
George Soros, Bill gates, dan ru#pert Murdoch dengan 20th Century Fox nya. Tak
pelak dari jauh-jauh hari Karl Marx seakan sudah meramalkan bahwasannya
Kapitalisme adalah hantu yang pasti datang, dan Marx pun menjadi penentang nya
yang paling utama. Kapitalisme pun tumbuh menjadi akar dari segala keterpurukan
dan kesengsaraan, dibalik semua janji manis yang ditawarkannya, pada kenyataannya
hanya dinikmati beberapa borjuis saja, yang semakin mudah menguasai pasar
dengan monopoli ekonomi dan politik yang pasti melibatkan penguasa dalam
pelaksaannya.
Hubungannya
dengan periklanan, tentu saja ini menjadi pasar yang sangat potensial bagi para
pelaku bisnis ini, bisnis yang katanya menuntut kreatifitas tingkat tinggi dan
intensitas serba cepat. Tak dipungkiri lagi maraknya produk-produk luar negeri
yang masuk ke negara kita Indonesia, dan mudah nya prosedur masuk nya
barang-barang itu menuntut persaingan di dunia industri kreatif dalam negeri
bersaing ketat untuk memikat konsumennya. Maka dengan melalui iklan lah salah
satu solusi yang gencar dilakukan. Ini seakan menjadi lahan empuk bagi bisnis
periklanan untuk menjaring para produsen dengan menawarkan jasa untuk
menawarkan promosi produknya dengan cara yang berbeda dan sesuai dengan gaya
kekinian, yaitu iklan yang kreatif dan inovatif. Periklanan yang
menggunakan media massa sebagai sarana promosinya menjadi sarana efektif yang
dipilih para produsen pasar
untuk mempromosikan hasil produksinya, ini merupakan imbas dari banyak nya
barang yang masuk ke Indonesia akibat diberlakukan sistem pasar bebas sebagai
cara untuk memajukan ekonomi dalam negeri juga meningkatkan daya persaingan
pasar penjualan internasional indonesia dalam ranah internasional.
Bagaimana Iklan Menciptakan Ilusi dan Nilai
Kegiatan konsumsi tidak
pernah hanya pembelian (Rekonversi pertukaran nilai ke nilai guna), melainkan
juga merupakan pengeluaran (aspek radikal yang diabaikan dengan ekonomi politik oleh
Marx). Dalam konsumsi sehari-hari
aspek tertentu (dan mendasar) dari lelang sebagian besar dihapuskan: pengalaman
langsung kompetisi, tantangan, masyarakat atau
teman sebaya, dll, yang membuatnya sangat
menarik.
Proses
produksi dan sistematisasi nilai
dalam pertukaran ekonomi telah digambarkan
sebagai sebuah keniscayaan dan penting adanya,
dan pada kenyataannya itu merupakan: bagian dari ekonomi politik
kemudian menjadi transmutasi
besar dari semua nilai (tenaga kerja, pengetahuan, hubungan sosial, budaya, dan alam) menjadi nilai
tukar ekonomi.
Aspek
analisis memiliki hak istimewa (untuk alasan historis dan ideologis yang tidak
ada hubungannya dengan "objektivitas ilmiah," dan yang harus
dianalisis lebih lengkap, bahkan dalam Marx). Semua upaya untuk autonomize
bidang konsumsi ini (yaitu, dari produksi
sistematis tanda-tanda) sebagai objek analisis yang membingungkan: mereka
mengarah langsung ke kulturalisme. Tapi perlu diperhatikan bahwa hasil mistifikasi ideologis
dari autonomizing bidang produksi material sebagai penentu keinginan. Mereka yang
menentukan budaya (produksi tanda) untuk membatasi campur tangan para budayawan bahkan sampai tanpa
menyadarinya: mereka melembagakan perpecahan sama dengan idealis budaya, dan
menyempitkan lapangan ekonomi politik semaunya
saja. Setiap
materi dari iklan-iklan yang ditampilkan mengusung nilai-nilai dari barang
tersebut dan digambarkan sebagai sebuah gaya hidup, lebih parah lagi penentu
status seseorang dengan perilakunya untuk memiliki barang itu. Pada akhirnya
barang yang diiklankan tidak lagi hanya dilihat sebatas fungsi nya saja, tapi
juga nilai nya dimata masyarakat, nilai estetikan bentukan yang tanpa disadari
telah menghipnotis masyarakat, dalam hal ini adalah konsumen, oleh strategi
pasar dan pengiklan dalam menciptakan sebuah image tatanan masyarakat yang
memiliki barang tertentu (memiliki nilai estetika) ditempatkan berbeda dalam
status hubungan sosial. Ini merupakan tujuan dari iklan sebagai manifestai
pembentukan citra melalui tanda-tanda.
Comments
Post a Comment