Skip to main content

Man of Steel: Antara Misi Kristen dan Darwinisme Sosial



 OLEH : EZA AHIM IKI

Kurang lebih delapan bulan lalu reboot (versi daur ulang) Superman tayang di layar lebar Indonesia dengan judul “Man of Steel”. Sebagai versi reboot dari tokoh Superman yang biasa kita kenal, Superman dalam film “Man of Steel” menghadirkan banyak hal yang berbeda. Bagi umumnya masyarakat, tentu tampilan paling beda dari Superman yang satu ini adalah tampilan kostumnya, tapi rupanya ada yang lebih dari itu.

Karakter superhero yang dibuat pada tahun 1933 ini memiliki sejarahnya sendiri. Selama kurang lebih 80 tahun sejak kemunculan awalnya, Superman selalu penuh dengan interpretasi. Walau bukan manusia (karena lahir di planet Kripton), Superman sepanjang sejarahnya menampilkan sosok manusia sempurna a la Barat.
Clark Kent, wujud alter ego dari Superman ditampilkan dengan karakter khas gentleman yang klimis, dan ketika ia muncul sebagai Superman, tampaklah otot kekar dari pakaian ketatnya. Perpaduan idealisme manusia sempurna Barat klasik (era Helenisme Yunani yang mengedapankan aspek fisik) dan Barat modern (era yang menyajikan tampilan modis sebagai patokan kesempurnaan).


Zaman menuntut perubahan, pun demikian dengan karakter Superman. Sebagai peradaban yang selalu menuntut perubahan, bahkan untuk hal yang tidak perlu, ada tuntutan yang muncul di tengah masyarakat Barat, terutama Amerika untuk memberikan tafsiran baru terhadap karakter Superman.

Tuntutan akan tafsiran baru sosok Superman muncul ketika masyarakat Barat justru jenuh dengan tampilan sosok “super”. Ada permintaan nyata terhadap tokoh superhero yang lebih manusiawi, superhero yang lebih punya “perasaan”, superhero yang bisa memberi inspirasi kehidupan sehari-hari.

Kejenuhan masyarakat Barat akan sosok Superman sudah terbaca di film “Superman Returns” yang rilis tahun 2006. Walau masih mampu menarik pemirsa, film Superman yang satu ini tidak menawarkan sesuatu yang baru, formulanya masih sama, action packed, save the world, romance, selesai.

Hollywood seolah menemukan konsep formula baru dalam menggarap film-film superhero setelah rilisnya film Batman dengan judul “The Dark Knight” pada tahun 2008. Selain film “The Avengers” yang rilis tahun 2012, “The Dark Knight” merupakan satu-satunya film superhero yang mampu menghasilkan untung besar.

Keuntungan besar ini diraih melalui formula baru yang belum pernah secara sukses di implementasikan dalam film-film superhero yang marak selama satu dekade terakhir. Formula baru tersebut adalah “inspiring humanism”, superhero tidak lagi ditampilakn sebagai sosok yang bersih dari emosi manusia.


Reboot Superman dan Kaitannya dengan Kristen

Berharap mampu mengikuti jejak “The Dark Knight”, Superman dirubah konsepsi dasarnya dengan lebih banyak memasukkan unsur humanis kedalam karakternya. Menariknya, karena pada dasarnya Superman memang bukan manusia bumi, tampaknya agak sulit membumikan dan memanusiakan Superman, sampai-sampai Warner Bross harus mendekati para Pastur Kristen untuk mendapat legitimasi bahwa Superman adalah sebuah alegori atau “perumpamaan” dari sosok terbesar dunia Kristen, Yesus.

Dikutip dari CNN:
Warner Bros. Studios is aggressively marketing "Man of Steel" to Christian pastors, inviting them to early screenings, creating Father’s Day discussion guides and producing special film trailers that focus on the faith-friendly angles of the movie.
The movie studio even asked a theologian to provide sermon notes for pastors who want to preach about Superman on Sunday. Titled “Jesus: The Original Superhero,” the notes run nine pages.[1]

Zack Snyder, director dari film “Man of Steel”, dalam wawancaranya dengan CNN menyatakan Superman sebagai ”Christ-like parallel”[2], sedangkan Hans Zimmer, komposer terkenal yang membidani soundtrack “Man of Steel” juga memberikan sinyal bahwa sosok Superman terbaru ini memiliki kesan lebih spiritual[3].

Walau muncul kekhawatiran bahwa umat Kristen dimanfaatkan sebagai pangsa pasar dari film ini, Pastur Quentin Scott dari Shiloh Christian Community Church dengan tegas mengatakan,

“Mereka memanfaatkan kami, padahal sesungguhnya kamilah yang memanfaatkan mereka, Jika anda  memberikan kesempatan pada saya untuk biacara soal Yesus lewat film itu, maka itu kemenangan bagi saya. Karena ini adalah persoalan penyebaran Injil.”

Dalam filmnya sendiri banyak kita temui alegori-alegori Kristen. Pada saat scene dimana Superman kecil hendak dikirim ke Bumi, sang ibu, Lara, khawatir jika anaknya akan diperlakukan tidak baik oleh manusia Bumi. Tapi sang ayah, Jor El justru memberi nubuat, bahwa sang anak kelak akan menjadi tuhan bagi manusia bumi

“He’ll be God to them.”

Gimmick lainya yang mengandung unsur alegori Kristen juga dapat kita temui di adegan ketika Superman hendak menyelamatkan Louis dan keluar dari kapal antariksa Jendral Zod, hologram sang ayah, Jor El berpesan bahwa Superman dapat menyelamatkan seluruh umat manusia. Dengan sangat mencolok, Superman terbang keluar dengan terlebih dahulu membentuk gesture salib.


Creationism vs Evolution

Walau di Barat Kristen sebagai agama sudah babak belur dihantam arus sekularisme, tapi rupanya semangat missionarism mereka masih sangat tinggi. Jika kita sepakat bahwa film “Man of Steel” ini merupakan bagian dari salah satu misi Kristen, maka patutlah kita lihat siapa yang dijadikan lawan oleh Superman sebagai alegori Yesus.

Berbeda dengan “Iron Man 3” yang masih berkutat soal isu-isu terorisme, “Man of  Steel” mengangkat pertikaian yang cukup bersejarah, Penciptaan versus evolusi.

Selama film “Man of Steel” berlangsung kita disuguhkan informasi bahwa seluruh penduduk Kripton merupakan produk dari rekayasa genetika. Setiap bayi yang lahir sudah membawa atribut dan tugas dasar masing-masing dalam ranah sosial. Zod sang tokoh antagonis dan Jor El ayah Superman adalah hasil dari produksi ini. Zod dilahirkan untuk menjadi prajurit, Jor El dilahirkan untuk menjadi ilmuan.

Menjelang kehancuran Kripton, Zod memberontak dengan alasan sistem sosial yang ada adalah salah. Zod mengajukan ide eugenic a la Nazi dimana hanya produksi bayi yang kuat yang boleh “dilahirkan” sebagai solusi atas krisis Kripton.

Ada beberapa percakapan menarik ketika Superman melawan salah satu bawahan Zod. Bawahan Zod ini merasa diatas angin karena ketika bertarung tidak memperhatikan keselamatan orang-orang sekitar, sementara Superman sendiri terhambat manuvernya karena memperhitungkan keselamatan orang-orang sekitar. Dengan gamblang konsep evolusi disebut disini.

“the fact that you possess a sense of morality and we do not gives us evolutionary advantage. And if history has proven anything, it is that evolution always wins.”

Kaum Kristen seolah mencari obat penawar dengan kemenangan Superman atas Jendral Zod dan antek-anteknya yang “pro evolusi”. Karena dalam waktu yang sudah sangat lama, umat Kristen selalu menelan pil pahit kekalahan pengaruh dogma Gereja dibawah bayang-bayang teori evolusi.


Kesimpulan Bagi Umat Islam

Jika sebagian dari kita masih beranggapan bahwa Barat secara konsep dan peradaban sudah final dan sempurna, maka film “Man of Steel” ini dengan mudah membantahnya. Barat yang masih diagung-agungkan oleh sebagian masyarakat Indonesia ini ternyata menyimpan polemik.

Ketidakakuran antara iman dan ilmu (sains) akan selamanya menghantui peradaban Barat. Polemik inilah yang menjerumuskan Barat sebagai peradaban yang bingung. Dan karena sangking bingungnya untuk menentukan konsep dasar akan kebenaran, mereka memilih untuk berkata bahwa “Semuanya benar, yang salah adalah yang merasa paling benar”. Sungguh statement yang benar-benar melecehkan akal sehat.

Polemik iman dan ilmu ini jangan sampai sekali-kali ditiru oleh umat Islam, karena kita punya warisan sejarah nyata bahwa justru dengan perpaduan antara iman dan ilmu, peradaban Islam mampu mencapai kejayaannya.
Kita juga tidak memerlukan tokoh-tokoh super untuk menyelamatkan kita dari dinamika kehidupan dunia yang memang pasang surut. Alangkah bahagianya seorang muslim, ketika terkena musibah ia bersabar, dan ketika diberi nikmat ia bersyukur. 

Wallahu a'lamu bisshowwab


Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

HIDUP DIATAS STIGMA (puisi essay)

Tak pantaskah aku hidup selayaknya mereka? Tak bisakah aku bermain selayaknya anak biasa? Tak ada lagikah bagiku kesempatan untuk menuliskan cita-cita tanpa embel-embel pembangkangan dibelakangnya? Tak adakah harapan bagiku menjalani sisa hidup tanpa stigma atas dosa masa lalu ayah ibuku yang tak sepenuhnya mereka kerjakan? Inikah garis hidup yang engkau gariskan Tuhan, pada seorang gadis kecil tak tahu apa-apa dan tak tau arah mengadu kemana? PROLOG Gadis kecil itu tak tahu apa-apa Ditinggal ayah dan bundanya entah kemana Orang bilang diasingkan atau dilenyapkan Sungguh dua kata asing baginya dan semakin membingungkan saja Berjalan sendiri mengarungi hidup Tanpa punya tempat mengadu dan menyandarkan bahu kecil dan tubuh kurusnya Si gadis kecil dengan mimpi besar Seolah berjalan sendiri tanpa harapan Diana namanya. Ya, hanya diana saja Tanpa embel-embel nama belakang Apalagi bin dan binti yang menandakan kalau dia punya orang tua Setiap k