Skip to main content

“INDONESIA – JAWA”


Ketika masih bergeloranya api pergolakan di Aceh sana, ketika bumi Serambi Mekkah ingin memutus hubungan dengan Ibu Pertiwi berserta ribuan kepulauannya, ketika kata perundingan tidak lagi memperoleh rasa percaya, maka gerakan perlawanan (separatis) lah jawabannya. lahirlah sebuah pergerakan,, yang lebih kita kenal dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Ketika masanya, pergolakan oleh GAM ini mampu mengguncang stabilitas Indonesia, mengancam keutuhan dan kedaulatan republik ini, dengan niatan ingin memisahkan diri dan membangun otonominya sendiri, dikarnakan sakit hati yang dirasakan atas segala pengkhianatan dan tipu daya yang “katanya” dilakukan oleh “negara”. 

Berikut beberapa dampak yang akan terjadi kalau saja niatan saudara kita diujung barat negeri ini terealisasi, diantaranya akan hilangnya satu lagi wilayah di peta Indonesia dengan bertitelkan “daerah istimewa”, kemudian dapat juga mengancam punahnya lagu “dari Sabang sampai Merauke” dari peredaran lagu anak-anak  kita.

Pada masa pergolakan itu orang-orang dari kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sering menggunakan ungkapan “Indonesia-Jawa” sebagai refleksi penolakan mereka terhadap apa yang secara internasional diakui sebagai negara kesatuan Republik Indonesia. Ini seharusnya menjadi pertanyaan, mengapa? Dari sini terlihat adanya kemungkinan-kemungkinan relasi antara negara dan rakyatnya setelah beberapa abad kita merdeka, dan bagaimana rasa memiliki itu terbukti masih cenderung problematis.

Bisa jadi ini merupakan sebuah bentuk penggambaram adanya sentralistik mulai dari segi kekuasaan, ekonomi dan politik yang terjadi ketika itu, atau mungkin hingga kini. Perasaan semacam ini sangat mungkin dirasakan oleh orang-orang diluar pulau jawa umumnya dan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pengambilan segala kebijakan khususnya. Tengok saja pada buku-buku sejarah bangsa ini, betapa orang-orang Jawa mendominasi tokoh-tokoh kemerdekaan bangsa ini mulai dari tentara sampai kepala negara.
Kembali ke masa kini, kita akan menyoroti status media massa kita. Media-media besar baik cetak maupun elektronik  sangat terpusat di Jakarta. Seakan-akan Indonesia itu hanya Jakarta saja, persaingan dunia usaha media di Jakarta sangat tidak tersentuh oleh media-media yang ada di daerah-daerah, maka jadilah mereka hanya sebagai media yang mewakili dan memberitakan tentang daerah nya saja, belum lagi bermimpi untuk menggapai penonton atau audien  secara nasional.

Terjadinya sentralisasi kekuasaan seakan-akan terjadi dengan tidak sengaja dan begitulah adanya, memang hal semacam ini tampak tak direncanakan akan tetapi pembagian kekuasaan yang tidak merata sangat rentan terserang virus ketidakpercayaan oleh daerah-daerah apalagi kalau sudah mengenai otonomi daerah (subsidi dll) yang jumlah setiap daerahnya tentu saja tidak sama. Sulit rasanya bila kita ingin merefleksikan kebenaran pada cermin sejarah yang tingkat keotentikan kebenaran dan ketepatannya sangat patut dipertanyakan.

Kembali ke hari ini. 2 Oktober dinyatakan sebagai hari batik nasional. Yang jadi pertanyaan dimana kain-kain tradisional lainnya?. Songket, tapis, ulos, tenun dan masih banyak lainnya?. Karna seperti yang sudah diketahui bersama kain batik sudah menjadi identitas bagi suku Jawa, jadi apakah Indonesia=Jawa???

Minoritas harus diyakinkan bahwa negara benar-benar milik mereka, juga milik mayoritas, dan bahwa keduanya akan menjadi pecundang kalau negara pecah. Konflik-konflik hampir pasti terjadi kalau respon negara terhadap separatisme menimbulkan penderitaan yang meluas di wilayah atau diantara kelompok etnik yang ingin memisahkan diri itu. Akibatnya adalah membuat makin banyak orang merasa bahwa negara bukanlah negara mereka, dan ini sama saja dengan memberi separatisme para pendukung baru.

(pidato Kofi Annan ketika berkunjung ke Indonesia tahun 2005.)

Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

HIDUP DIATAS STIGMA (puisi essay)

Tak pantaskah aku hidup selayaknya mereka? Tak bisakah aku bermain selayaknya anak biasa? Tak ada lagikah bagiku kesempatan untuk menuliskan cita-cita tanpa embel-embel pembangkangan dibelakangnya? Tak adakah harapan bagiku menjalani sisa hidup tanpa stigma atas dosa masa lalu ayah ibuku yang tak sepenuhnya mereka kerjakan? Inikah garis hidup yang engkau gariskan Tuhan, pada seorang gadis kecil tak tahu apa-apa dan tak tau arah mengadu kemana? PROLOG Gadis kecil itu tak tahu apa-apa Ditinggal ayah dan bundanya entah kemana Orang bilang diasingkan atau dilenyapkan Sungguh dua kata asing baginya dan semakin membingungkan saja Berjalan sendiri mengarungi hidup Tanpa punya tempat mengadu dan menyandarkan bahu kecil dan tubuh kurusnya Si gadis kecil dengan mimpi besar Seolah berjalan sendiri tanpa harapan Diana namanya. Ya, hanya diana saja Tanpa embel-embel nama belakang Apalagi bin dan binti yang menandakan kalau dia punya orang tua Setiap k