“Bila aku mati kelak, minta kesediaan
Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
(Soekarno)
Di sepetak ruang. Di sudut
lorong-lorong gelap, berkelok, tak tahu di mana ujungnya. Ruangan itu tak kalah
gelap. Hanya cahaya dari balik jendela kecil di atas sana yang lariknya
menembus, membelai debu-debu beterbangan, menyapa lembaran kertas yang menumpuk.
Lembaran yang begitu rapi. Lembaran yang ia tulis, selama dua tahun 4 bulan. Di
balik jeruji, di pinggiran Sukabumi. Atas tuduhan makar, kezaliman rezim tiran
tak berdasar.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
karib disapa Buya Hamka. Kalam suci Ilahi, dengan tekun, ia ulang hafalannya.
Mengeja ayat demi ayat. Merenungkan satu per satu maknanya, hingga khatam,
seluruhnya tergenapi. Ada haru membiru. Ada tangis berlapis senyum bahagia, di
sana. Allah terasa begitu dekat.
Seperti Ibnu Taimiyyah dulu kala.
Berteman secarik kertas, berikut tinta dan pena. Tempat menorehkan tulisan
hasil perenunangan. Berjilid-jilid karya keluar dari balik jeruji. Orang-orang
berdatangan, meminta fatwa. Dari balik jeruji besi itu, dalam gelap ia
menjawab. Jadilah berjilid-jilid Majmu Fatawa di sana. Tak ada rasa takut sama
sekali. Bahwa penjara baginya, adalah surga.
Malam harinya diisi dengan berdiri,
rukuk, sujud. Sungguh, tak ada yang terpenjara di sana. Jiwanya merdeka. Tak
ada yang terkekang di sana. Tangannya lincah menulis pesan penuh makna. Alam
pikirnya mengembara, merenungi KemahaanNya.
Atau seperti laiknya sahabat
seperjuangan di belahan bumi lain, Mesir, Sayyid Quthb. Rezim tiran tak mampu
membungkam alam pikirnya, meski jasad terpenjara. Bertemankan lembaran kertas,
juga pena. Lahirlah karya monumental Tafsir Fii Dzilal Al Quran.
Buya Hamka, nyaris serupa. Tafsir Al
Quran 30 Juz yang kelak dinamakan Tafsir Al Azhar ia rampungkan, ditemani
dinginnya jeruji besi, di masa kepemimpinan Soekarno. Rezim berganti, orde lama
berganti rezim yang dinamai orde baru. Tak disangka, Buya Hamka bisa menghirup
udara bebas.
Hamka dan Soekarno
Setelah bebas dari penjara, Hamka tak
tahu kabar Soekarno, penguasa yang memenjarakannya kala itu. Ingatannya
melompat ke masa ke belakang. Saat ia tanpa tedeng aling-aling mengritik
pemerintahan yang akan memaksakan penerapan sistem demokrasi terpimpin.
“..Trias Politica sudah kabur di
Indonesia….Demokrasi terpimpin adalah totaliterisme…Front Nasional adalah
partai Negara…” teriak Hamka menggema di Gedung Konstituante tahun 1959, ketika
memajukan Islam sebagai dasar Negara Indonesia dalam sidang perumusan dasar
Negara. Tak lama, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno. Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia), partai temapat bernaung Buya Hamka pun dibubarkan paksa.
Para pimpinannya ditangkap, dijebloskan ke balik jeruji.
Perbedaan pandangan politik Hamka
yang dikenal Islamis, dengan Soekarno yang seorang sekularis, kian menajam
dengan penangkapan dan pemenjaraan rival-rival politiknya. Meski begitu, tak
ada sumpah serapah yang keluar dari seorang Buya Hamka kepada sang pemimpin
kala itu. Saat dijemput paksa untuk langsung dijebloskan ke penjara tanpa
proses pengadilan, Hamka hanya pasrah, bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
Pun setelah bebas, tak ada dendam di
sana. Tak ada rasa ingin membalas, menuntut, atau melakukan tindakan membela
diri. Padahal, ketika itu, buku-buku karangan Buya dilarang beredar oleh
pemerintah. Tak ada rasa kesal di sana. Tak ada mengeluh, atau umpatan. Semua ia
serahkan kepada Allah, sebaik-baik penolong.
Justru, demikian besar keinginan
Hamka untuk bersua Soekarno. Mengucap syukur, karenanya, ia bisa menyelesaikan
Tafsir Al Azhar dari balik penjara. Karenanya, ia bisa begitu dekat dengan
Allah. Karenanya, jalan hidupnya begitu indah, walau penuh ragam ujian.
Soekarno, dimanakah sekarang ia
berada? Tak tahu..Begitu rindu, Hamka ingin bertemu dengannya. Tak ada marah
dari seorang Buya. Telah lama..telah lama sekali, kalaupun Soekarno mengucap
maaf, telah lama hatinya membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Bahkan, ada
syukur di sana.
Tapi dimana? Di mana Soekarno
sekarang? Ingin sekali Buya bertemu dengannya. Pertanyaannya terjawab, namun
bukan jawaban biasa. 16 Juni 1970, Ajudan Soeharto, Mayjen Soeryo datang menemui
Hamka di Kebayoran, membawa secarik kertas. Sebuah pesan -- bisa dibilang pesan
terakhir -- dari Soekarno. Dipandangnya lamat-lamat kertas itu, lalu dibaca
pelan-pelan.
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan
Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Mata begitu bening, seperti halnya
kaca membaca tulisan ini. Sebuah pesan, dari seorang mantan pucuk pimpinan
negeri. Dimana? Dimana Soekarno sekarang? Begitu rindu ingin bertemu dengannya.
Mayjen Soeryo berkata, “Ia..Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD. Sekarang
jenazahnya telah di bawa ke Wisma Yoso.”
Mata ini semkin berkaca-kaca. Tak
sempat..rindu ini berbalas. Hamka hanya dapat bertemu dengan sosok yang
jasadnya sudah terbujur kaku. Ingin rasanya, air mata itu mengalir, namun
dirinya harus tegar. Ia kecup sang Proklamator, dengan doa, ia mohonkan ampun
atas dosa-dosa sang mantan penguasa, dosa orang yang memasukkannya ke penjara.
Kini, di hadapannya, terbujur jasad
Soekarno. Sungguh, kematian itu begitu dekat. Dengan takbir, ia mulai memimpin
shalat jenazah. Untuk memenuhi keinginan terakhir Soekarno. Mungkin, ini
isyarat permohonan maaf Soekarno pada Hamka. Isak tangis haru, terdengar di
sekeliling.
Usai Shalat, selesai berdoa, ada yang
bertanya pada sang Buya,”Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah
menahan Buya sekian lama di penjara?”
Dengan lembut, sang Buya menjawab,”
Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas,
sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan
jenazahnya dengan baik.
Saya tidak pernah dendam kepada orang
yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat
bulan saya ditahan, saya merasa semua itu anugerah dari Allah kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al Quran 30 Juz. Bila bukan
dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan
pekerjaan itu.”
Sungguh, air mata menetes mendengar
penjelasan Buya. Begitu luas jiwanya, hingga permasalahan, baginya ialah
setitik tinta, yang diteteskan ke luasnya samudera. Tak ada bekas di sana. Tak
pernah ada rasa dendam sama sekali. Dengan senyum dan tenang, ia jalani semua
lika-liku kehidupan.
[kisah ini ada dalam buku 'Ayah'
karya Irfan Hamka. Tulisan ini Dimuat di Tabloid Alhikmah edisi 86]
Comments
Post a Comment