Sacha Baron Cohen: Antara Lelucon dan Propaganda
OLEH : EZA AHIM IKI.
Humor dan komedi dalam sejarahnya memiliki fungsi yang beragam, selain utamanya sebagai sarana hiburan, baik humor dan komedi juga biasa difungsikan sebagai salah satu sarana untuk mengkritik atau mempromosikan nilai-nilai sosial dan budaya tertentu dengan efisiensi yang cukup tinggi, mengingat sifatnya yang mudah dicerna nan jenaka.
Sayangnya, dalam konstelasi komunikasi massa yang berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir, baik komedi dan humor hanya dianggap sebagai sarana penghibur semata yang cenderung dianggap bebas nilai. Bisa kita lihat dengan gamblang bagaimana perkembangan dunia humor dan komedi kita saat ini yang cenderung vulgar dan profan begitu laku keras dipasaran, dan barang siapa yang berani mengkritik kecenderungan ini akan berhadapan dengan opini simplistik yang fatal: “Ah, inikan hanya hiburan semata”. Efeknya bisa kita lihat dengan jelas di masyarakat, terutama remaja dan anak-anak yang dengan mudah meniru kekerasan verbal yang biasa dipraktekkan oleh komedian layar kaca.
Sacha Baron Cohen; Contoh Kontemporer
Bicara soal pandangan hidup (worldview) “seni untuk seni” atau hiburan untuk hiburan semata, tentunya perhatian kita akan tertuju pada Barat sebagai peradaban dengan worldview liberal bebas nilai plus sekularismenya yang sukses membentuk masyarakat yang permisif terhadap hal-hal vulgar dan profane. Contoh kontemporer tentang bagaimana worldview Barat begitu berpengaruh pada dunia komedi dan humor dapat kita temui dalam sosok Sacha Baron Cohen, yang lebih dikenal secara luas sebagai alter ego dari Ali G, Borat Sagdiyev, Bruno Gehard, Admiral General Aladeen dan pengisi suara dari King julien XII, raja lemur dari serial animasi Madagascar.
Walau diapresiasi sebagai komedian sukses dan berbakat di tempat asalnya, Cohen kerap menuai kontroversi disebabkan oleh trademark gaya berkomedinya yang nyeleneh. Bagi yang pernah menyaksikan bagaimana ia memerankan tokoh-tokoh alter egonya tentu paham bahwa komedi yang Cohen bawakan penuh dengan bahasa yang kasar, gestur-gestur vulgar, kritik yang cenderung menghina, dan segala macam bentuk ekspresi lainnya yang jauh dari santun.
Ketika Komedi Membentuk Opini
Pendapat orang pada umumnya ketika melihat Cohen dalam balutan karakteristik alter ego yang ia perankan tidak lebih dari sekedar sarcastic comedian. Padahal jika kita cukup jeli untuk memperhatikan unsur apa dan mengapa nya, kita dapat menemukan apa yang mungkin tidak kita duga sebelumnya.
First thing first, jika kita melihat tokoh-tokoh yang diperankan oleh Cohen, maka akan kita dapati bahwa mereka adalah orang yang memandang dan dipandang lewat stereotip yang kuat. Ali G, seorang junglist (mungkin disini bisa diasosiasikan sebagai penggemar rastafaria) yang tak berpendidikan dan kasar, Borat Sagdiyev, reporter dari negara berkembang yang tertinggal, Bruno Gehard, presenter fashion yang mengidap homoseksual, dan yang terbaru Admiral General Aladeen, diktator kaya raya dari “timur tengah”. Walau masing-masing film seolah memiliki karakter yang berbeda-beda, ada beberapa tema yang konsisten terus diulang dalam tiap-tiap sosok alter ego ini.
Although Kazakhstan a glorious country, it have a problem, too: economic, social, and Jew.
-Borat Sagdiyev
Why are you guys so anti-dictators? Imagine if America was a dictatorship. You could let 1% of the people have all the nation's wealth. You could help your rich friends get richer by cutting their taxes. And bailing them out when they gamble and lose. You could ignore the needs of the poor for health care and education. Your media would appear free, but would secretly be controlled by one person and his family. You could wiretap phones. You could torture foreign prisoners. You could have rigged elections. You could lie about why you go to war. You could fill your prisons with one particular racial group, and no one would complain. You could use the media to scare the people into supporting policies that are against their interests.
-Admiral General Aladeen
Tiga quotes diatas mewakili isu-isu utama yang selalu hadir dalam film-film komedi yang diperankan oleh Cohen.
Pertama dan yang paling unik adalah isu anti semitisme, walau Cohen sendiri secara default berdarah yahudi baik dari pihak ayah maupun ibunya, ia (dalam karakter alter egonya) tampil sebagai “pembenci” yahudi dengan stereotip yang vulgar, kedua adalah isu politik, terutama yang menyangkut ide-ide kebebasan, dan yang ketiga adalah persoalan gender, baik mencakup feminism maupun LGBT.
Yang menarik dari isu-isu yang dibawakan Cohen dalam film-filmnya, selain dari konsistensi dalam penyampaian, adalah opini yang tergeneralisasi lewat komedi vulrgar sarkastiknya. Bagi orang yang memandang isu-isu yang dibawakan Cohen secara sepintas lalu, mungkin akan beranggapan bahwa Cohen adalah seorang kritikus. Padahal sejatinya ia tidak lebih hanya sekedar propagandis.
Dalam komedi sarkastiknya yang seolah menghina yahudi, kaum feminist dan LGBT, dan ide-ide politik liberal, kita secara tidak sadar justru digiring untuk berfikir sebaliknya, antilah dengan anti-semitisme, dukunglah kaum feminist dan LGBT, supportlah ide-ide politik liberal. Mengapa bisa begitu?, ini terjadi karena peran yang ia bawakan penuh dengan eksploitasi prejudice dan stereotip yang kemudian dengan sendirinya seolah berkata “kalau engkau membenci yahudi seperti Borat, maka sesungguhnya anda sama tololnya seperti Borat” atau “jika anda mengkritisi semangat kebebasan, maka anda tidak lebih adalah representasi dari stupid oppressor macam General Aladeen”.
Menanamkan opini dengan teknik “psychological reversal” ini sangat patut untuk kita waspadai ditengah perang media dan opini, pertama dan yang paling penting adalah karena teknik ini sangat halus “menelusup” dalam opini subjektif kita yang kadang tidak terbentengi dengan pelindung yang cukup baik, yang kedua adalah dukungan dari “sistem raksasa” seperti industri film dalam kasus Cohen, dan yang terakhir adalah rendahnya awareness yang diperparah dengan tingginya ignorance yang jamak kita temukan dalam masyarakat. Motto para propagandis itu satu “ketika sesuatu dapat membuat orang yakin, maka valid tidaknya “sesuatu” tersebut tidak lah penting”, dan ketika propaganda menyeruak dalam lingkup opini yang cenderung subketif, maka justru bisa jadi kita tanpa sadar memperdebatkan invaliditas sesuatu.
Trik paling sederhana untuk mampu berdiri kokoh ditengah perang media dan opini yang tengah ramai saat ini adalah dengan tidak mudah terbawa emosi dan suasana, karena opini dan media adalah bagian dari komunikasi massa, dan gerbang pertama dari komunikasi massa adalah emotional impression. Jika gerbang utama itu tidak kita jaga dengan logika dan nalar yang baik serta kebijaksanaan dalam bersikap, maka dengan akses mudah lewat jejaring sosial, kita bisa jadi, sekali lagi tanpa sadar, menjadi corong-corong berita hoax, berita rancu, kabar-kabar burung, atau bahkan propaganda tertentu dari kelompok tertentu.
Sebagai penutup ada sebuah kutipan yang kiranya menarik untuk kita renungkan terkait pembahasan diatas.
“A person reveals his character by nothing so clearly as the joke he resents.”
- Georg Christop Lichtenberg
Comments
Post a Comment