setelah Turki, Jepang dan Brazil. kini Indonesia yang rakyatnya turun ke jalan, menuntut sebuah tuntutan yang kurang lebih sama muaranya, kesejahteraan mereka. tapi penulis tak akan lagi membahas tentang apa yang terjadi di Turki dan negara lainnya, karna selain itu sudah terlalu banyak ulasannya dan menurut penulis tidak terlalu relevan kalau dikaitkan dengan situasi dalam negeri kita saat ini. maka penulis akan lebih fokus pada pembahasan tentang maraknya demonstrasi yang selalu berujung pada aksi kekerasan dan pengrusakan belakangan ini dinegeri kita tercinta.
tanpa bermaksud menutup mata atas apa yang dilakukan oleh para demonstran itu, baik dari para buruh maupun mahasiswa, namun pengrusakan sarana publik dan membuat kemacetan, membuat rasa tidak nyaman bagi lingkungan sosial masyarakat dimanapun itu berada tetaplah tidak dapat dibenarkan, apalagi kalau mengatasnamakan rakyat. dan menurut penulis kondisinya saat ini belum sampai pada batas mentolerir kerusakan semacam itu, apalagi penjarahan yang bukan hak dan jelas-jelas merampas hak milik orang lain.
setelah disahkannya RAPBN baru yang membahas mengenai pencabutan subsidi BBM dan rencanan menaikkan harganya, menuai banyak protes keras dari banyak kalangan masyarakat. tapi yang paling menarik dari fenomena ini adalah digulirkannya lagi program bantuan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian langsung dalam bentuk uang dan beras, yang sebenarnya sudah pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu, hanya namanya saja yang berbeda. ya, sekarang disebut BLSM (bantuan langsung sementara Masyarakat) atau BALSEM kalau dulu BLT (bantuan langsung tunai). dengan rincian memberikan uang 150.000 rupiah setiap bulannya selama empat bulan dan juga beras kepada masyarakat miskin.
kalau kita cermati kebijakan ini selain mendapat banyak kecaman dari orang-orang juga sangat berbau kepentingan politik, mengingat sebentar lagi (2014) akan diadakan kembali pemilu. menurut penulis sendiri bantuan semacam ini sangatlah tidak mendidik dan merupakan sebuah tindakan pembodohan yang dilakukan hanya oleh orang-orang bodoh pula. untuk membuat rakyat struggle bukanlah dengan memberikannya ikan, tapi kail dan pancing yang kita berikan, dan kalau bisa lebih baik lagi kita menyediakan kolam ikannya, menunjukkan arah jalan menuju ke sungai atau laut yang banyak ikannya. tidak hanya membuat masyarakat kita semakin bodoh, ini akan mencerminkan dan membudayakan masyarakat yang selalu meletakkan tangan dibawah, selalu mengharapkan bantuan orang lain, mengharap belas kasihan orang lain, membuatnya malas bekerja, dan merasa cukup dengan pemberian yang jumlahnya juga segitu saja.
dampaknya memang tak terlihat kini, tapi kebiasaan semacam ini yang penulis khawatirkan akan menjadi semacam budaya dikemudian hari dan akan diteruskan oleh para pemangku kepentingan yang lain dan dianggap sebagai jalan keluar yang baik. tapi ditakutkan malahan akan menjadi blunder, bumerang yang menyerang diri kita kembali, sebagai bangsa besar yang bermartabat yang kemerdekaannya tidaklah diberikan, tapi kita rebut!. pemberian semacam ini hanya membantu untuk sekejap saja, dan akibatnya sangatlah besar. terutama secara psikologis. apalagi bagi rakyat miskin yang pendidikannya kita tahu sendiri, ini akan membuat mereka menjadi bagian dari populasi penduduk yang bergerak serentak menuju kearah mega-metropolitan. masyarakat diluar sana (malaysia, jepang, korea, dll) tak diragukan lagi semakin cepat kemajuan nya karna mampu mengembangkan diri dengan baik karna kesadaran akan majunya sebuah peradaban haruslah diiringi dengan kemajuan berpikir para penduduknya. jangan sampai malah kita semakin tertinggal lagi karna terlalu sering "dikasihani" dengan memberikan pemberian semacam itu, masih banyak bentuk bantuan yang lebih layak dan berakibat jangka panjang, misalnya saja bagaimana kalau dana bantuan yang jumlahnya mencapai trilyunan rupiah itu dialokasikan saja untuk pendidikan, menggratiskan sekolah mulai dari SD sampai SMA dan kuliah kalau memungkinkan. dan sistem semacam ini hanya diterapkan di daerah-daerah yang kantong kemiskinannya lebih tinggi dari rata-rata dan diberikan beasiswa bagi anak-anaknya yang kurang mampu.
penulis rasa itu lebih baik ketimbang memberikan bantuan yang sangat tidak seberapa dan dalam hitungan hari saja sudah hilang tidak berbekas sama sekali, hanya meninggalkan perasaan yang ingin lagi dan lagi "diberi", "dikasihani". membuat mental pengemis bagi rakyatnya sendiri. janganlah situasi chaos semacam ini dijadikan alat politik, yang untuk kesekian kalinya penulis katakan hanya untuk kepentingan kelompok dan perseorangan saja. pemimpin harusnyalah berjiwa melayani, bukan untuk dilayani.
Comments
Post a Comment