Skip to main content

TEORI KRITIS


Metode Socrates

Pemikiran awal kritis sebetulnya sudah dimulai pada zaman yunani kuno, ini pertama kali diperkenalkan oleh socrates dengan metode sokratesnya (socratic method). Metode ini merupakan suatu cara berpikir dimana untuk memulai suatu diskursus diawali dengan sebuah pertanyaan. Metode ini merupakan suatu metode untuk membangun diskusi yang komperhensif yang saling membantu dalam membangun suatu pengertian terhadap suatu persoalan[2]. Metode ini merupakan suatu metode yang diperkenalkan oleh sokrates dalam bidang pendidikan. Metode sokrates ini bisa dikatakan menjadi awal atau basis dari permulaan teori kritis karena metode ini menitikberatkan kepada kedua pihak yang sedang berdiskusi tidak seperti indokrtrinasi yang hanya menekankan kepada salah satu pihak saja. Dari metode ini akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang sangat berperan dalam teori kritis.

Immanuel Kant

Selanjutnya pemikiran kritis dikembangkan oleh Immanuel Kant dengan pendapatnya yaitu das ding an sich yang menyatakan bahwa manusia sebagai subjek tidak dapat menangkap realitas sebenarnya dari suatu objek[3]. Teori Kant ini merupakan suatu teori yang berusaha untuk menjembatani 2 paham yang besar yang sebelumnya bertentangan yaitu antara rasionalisme[4] dan empirisme[5]. Kant menyatakan bahwa sebenarnya yang ditangkap oleh manusia terhadap suatu objek hanyalah suatu fenomena - yang bukan sebenarnya - dari realitas objek tersebut yang disebut Kant sebagai noumena. Fenomena ini merupakan penampakan dari noumena. Penampakan ini menurut Kant sudah dipengaruhi ruang dan waktu serta kualitas dan kuantitasnya. Hal ini menurut Kant sangat bergantung dari persepsi yang terdapat dalam pikiran manusia tersebut dan manusia tersebut dalam membuat persepsinya sangat dipengaruhi oleh kategori-kategori dalam menilai suatu objek yang dipersepsikan itu. Kategori inilah yang di dalam teori Kant disebut dengan kategoris imperatif. Kategoris imperatif adalah suatu keharusan dan kewajiban di dalam diri manusia yang dikaitkan dengan ide-ide metafisik tertentu[6].

Hegel dan Marx

Selain Kant, pemikir lain yang mencoba mengembangkan teori kritis adalah Hegel. Hegel mencoba mengkritik pemikiran Kant. Dia berpendapat bahwa Kant dalam meletakkan rasio kritisnya tidak mengenal waktu, netral, dan ahistoris[7]. Dia juga berpendapat bahwa rasio menjadi kritis apabila ia menyadari asal-usul pembentukannya sendiri. Rasio menjadi kritis apabila dihadapkan dengan suatu rintangan. Lewat proses ini rasio melangkah menjadi lebih tinggi (aufgebeung). Proses inilah yang digambarkan hegel dengan model dialektikanya[8]. Proses ini menurut Hegel mementingkan adanya kontradiksi antar unsur. Unsur ini harus dinegasikan satu dengan yang lain untuk menghasilkan unsur yang lebih baik. Dengan kata lain, rasio kritis menurut Hegel adalah rasio yang sudah melalui refleksi atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukannya. Dalam teori ini Hegel sebagai tokoh idealisme dialektis, menyimpulkan bahwa pertentangan antara tesis dan anti-tesis akan menghasilkan sebuah sintesis yang semakin lama apabila terus dipertentangkan akan menjadi sebuah kebenaran absolut.

Setelah itu, proses metode dialektika ini dikembangkan oleh Karl Marx dalam konteks sosial-politik dimana untuk melakukan suatu perubahan fundamental dalam suatu sistem sosial-politik harus dilakukan suatu revolusi dengan mempertentangkan kelas borjuis dan kelas proletar. Marx mendasarkan teorinya ini dalam suasana masyarakat kapitalis dimana pada waktu itu kaum borjuis yaitu kaum pemilik modal menindas kaum proletar yaitu kaum buruh. Sehingga di dalam teorinya, apabila kaum buruh dipertentangkan dengan kaum borjuis dan kaum buruh dapat memenangkan pertentangan tersebut maka akan tercapai suatu kesejahteraan dengan ditandainya suatu masyarakat tanpa kelas. Teorinya ini disebut dengan matrealisme dialektis

Marx memberikan suatu paradigma baru dalam teori kritik. Marx mencoba mengontekstualisasikan teori kritik dengan kehidupan sosial politik masyrakat pada waktu itu. Teorinya ini juga didasari dengan analogi basis-suprastruktur dan kelas masyarakat yang akhirnya memunculkan suatu konsep sosialisme ilmiah (scientific socialism).

Teori kritis mengalami suatu perkembangan yang lebih pesat lagi di era post- Marxisme. Di era post Marxisme muncul berbagai macam mazhab-mazhab yang mencoba untuk memberikan paradigma baru dalam teori kritis seperti Mazhab frankfurt dengan tokohnya Adorno, Horkheimer, Habermas dan Mazhab Post-strukturalis dan Post-Modernis dengan tokohnya Foucault dan Derrida.




Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y