Skip to main content

Lilith : Matron dari Feminisme Yahudi

oleh : Eza Ahim Iki
Yahudi sebagai agama dengan otoritas ke”Rabbi”an yang memiliki hak penuh atas kodifikasi dan penafsir Torah (perjanjian lama) telah banyak memunculkan interpretasi mengenai makna dan kandungan Torah, alih-alih mendapatkan kebenaran dalam makna, hal yang terjadi adalah justru terseretnya Judaisme kedalam desakralisasi teks. Tidak ada pembatas yang jelas diantara perintah ilahiah dengan pendapat pribadi para Rabbi sebagai penafsir profane. Contoh sederhana adalah munculnya teks-teks diluar Torah yang diangkat statusnya sebagai canon.

Desakralisasi teks yang sedemikian memungkinkan masuknya pemahaman-pemahaman serta konsep-konsep asing yang disintesakan dengan teks asli, yang berakibat pada degradasi makna dan nilai dalam teks asli. Sehingga, tidaklah mengherankan jika kita mendapati agama yang demikian dapat memberikan justifikasi kepada konsep yang bertentangan dengan prinsip dasar agama tersebut. Dan dalam kasus terburuk, agama tidak lagi mampu menjadi pewarna zaman, tapi justru diwarnai dan dikuasai oleh zaman.

Genesis: Penciptaan Manusia dan Ide Kesetaraan Gender

And God said, Let us make man in our image, after our likeness: and let them have dominion over the fish of the sea, and over the fowl of the air, and over the cattle, and over all the earth, and over every creeping thing that creepeth upon the earth. So God created man in his own image, in the image of God created he him; male and female created he them.
-Genesis 1: 27

And the Lord God caused a deep sleep to fall upon Adam, and he slept: and he took one of his ribs, and closed up the flesh instead thereof; And the rib, which the Lord God had taken from man, made he a woman, and brought her unto the man.
-Genesis 2:21-22

Dalam dua teks perjanjian lama diatas, dapat kita lihat dengan gamblang bahwa seolah-olah wanita diciptakan dua kali, pertama adalah saat ia diciptakan bersama sosok “male” yang kemudian dikenal sebagai Adam, dan yang kedua adalah saat Adam tertidur dan dari tulang rusuknya ia diciptakan (Eve). Dan pertanyaan pun muncul mengenai sosok pertama yang tidak bernama tersebut.

The Alphabet of ben Sira, salah satu teks ke”Rabbi”an yang melakukan interpretasi terhadap perjanjian lama, ditulis pada kisaran tahun 700 s/d 1000 Masehi menjelaskan bahwa sosok asing yang sekaligus menjadi pasangan pertama Adam bernama Lilith. Diciptakan dari tanah yang sama sebagaimana Adam diciptakan, Lilith tidak lantas akur dengan Adam.

Adam and Lilith immediately began to fight. She said, 'I will not lie below,' and he said, 'I will not lie beneath you, but only on top. For you are fit only to be in the bottom position, while I am to be the superior one.' Lilith responded, 'We are equal to each other inasmuch as we were both created from the earth.' But they would not listen to one another.
- The Alphabet of ben Sira

Pertengkaran berlanjut hingga Lilith meninggalkan Adam dan dikutuk menjadi inkarnasi jahat yang mengganggu keturuna Adam dan Eve, istri kedua Adam.

“I was created only to cause sickness to infants. If the infant is male, I have dominion over him for eight days after his birth, and if female, for twenty days.”
- The Alphabet of ben Sira

Sosok dan ide Lilith yang menolak posisi submissive terhadap Adam adalah sangat tercela di zamannya, pun kisah ini dituturkan dengan niatan agar kaum Yahudi mengambil perumpamaan bahwa menentang pria adalah “terkutuk”, sebagaimana terkutuknya Lilith karena menuntut kesetaran terhadap Adam. Tapi bagi agama budaya semacam Yahudi, arus zamanlah yang menentukan, Apakah Lilith masih dan akan selalu pantas dengan atribut negatifnya, atau dapatkah ia disambut sebagai sosok pahlawan yang memperjuangkan kesetaraan gender.

Lilith postmodern: Menggugat Para Rabbi, Mempertanyakan Kelamin Tuhan
  
Dimulai pada awal dekade 70an, gerakan feminism dalam agama Yahudi melayangkan “tuntutan-tuntutan”nya terhadap otoritas Rabbi yang dianggap patriakhis. Tuntutan ini tidak banyak berbeda dengan gerakan feminism yang sezaman, mulai dari menuntut hak cerai, hak persaksian, hak memimpin ibadah dan hak meraih status kependetaan. Tapi dari sekian banyak tuntutannya, yang paling menarik adalah tuntutan untuk mengganti atribut kata pengganti tuhan yang biasanya menunjukkan entitas pria menjadi entitas wanita, dari “He” menjadi “She”.

Dan demi mempropagandakan ide-ide feminism Yahudi ini, terbitlah majalah dengan mengadopsi nama heroine kesetaraan gender: Lilith. Rilis perdana pada musim gugur tahun 1976 dengan base non profit, secara perlahan majalah Lilith mencoba “memperbaiki” citra Lilith dengan mensintesakannya dengan ide-ide feminisme Yahudi. Mengklaim memiliki dua puluh lima ribu pembaca dengan penulis yang terdiri dari para penulis professional, professor sampai para sarjana, pangsa pasar mereka merujuk lebih kepada masyarakat umum terpelajar dibandingkan kepada kalangan akademisi.
 Perlahan tapi pasti gerakan ini mulai membuahkan hasil, pada tahun 1973, persatuan synagog konservatif amerika (United Synagogue of Conservative Judaism) mulai mengizinkan wanita untuk berpartisipasi dalam ritual di synagog serta mempromosikan kedudukan setara bagi wanita dalam kepemimpinan, pemegang kewenangan dan tanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan jemaat. Pencapaian terbaik gerakan feminism Yahudi adalah ketika Jewish Theological Seminary (pusat akademi dan spiritual bagi Yahudi konservatif di Amerika) mengumumkan bahwa mereka menerima peserta wanita untuk masuk dalam sekolah ke”Rabbi”an (Rabbinical School) pada tahun 1983.

Progress yang boleh dibilang cukup cepat ini sejatinya selain karena memang sifat dari agama yahudi yang adaptif (kalau tidak ingin dibilang mencla mencle) tapi juga dikarenakan dalam kubu konserfativ terdapat banyak sekali penganut mistisisme kabbalah yang sangat akrab dengan ide bahwa tuhan memiliki bagian dari dirinya yang feminim, sebagaimana dijabarkan dalam sephirot (alur emanasi tuhan) yang terakhir bernama Sekhinah yang dekat asosiasinya dengan mother nature.

Lilith sebagai tokoh feminism tidak berhenti di ranah Yudaisme saja. Sebagai contoh adalah Sarah Mclachlan, seorang musikus, penulis lagu sekaligus penyanyi, menggagas tour festifal music yang hanya menampilkan artis wanita dengan nama “Lilith Fair” pada tahun 1997, yang diakuinya terinspirasi dari kisah Lilith dalam tradisi Yudaisme. Lainnya adalah para penulis novel seperti Dagmar Nick dengan Lilith: A Metamorphosis (1992), dan yang terbaru, Film genre horror dengan judul yang sama “Lilith”.

Akar Permasalahan: Diaspora & Originalitas Teks

Menurut Dr. Anis Malik Thoha dalam artikel berjudul “Problem Agama dan Sains di Dunia Kristen dan Barat” (dimuat dalam majalah Islamia Thn II no 5, April-Juni 2005) berpendapat bahwa tradisi Yudaisme yang tercerai-berai (diaspora) pada gilirannya “memaksa” Yudaisme untuk melakukan kerja sintesis antar tradisi yang berakibat pada gradasi ninlai-nilai dalam Yudaisme sendiri. Masalah lainnya yang lebih fundamental adalah krisis originalitas teks perjanjian lama itu sendiri. Adnin Armas, M.A. dalam artikel berjudul “Metodologi Orientalis Dalam Studi Al Qur’an” (dimuat dalam majalah Islamia Vol II no 3, Desember 2005) menjelaskan tentang perjanjian lama yang melalui proses kompilasi panjang dan penyalinan lewat tulisan tangan yang sangat rentan akan kesalahan.

Kasus munculnya sosok Lilith dalam “penafsiran” perjanjian lama adalah contoh konkrit. Lahir dari penafsiran akan teks yang bermasalah (penciptaan ganda wanita) dan ditafsirkan dengan konsep hasil sintesa budaya Akkadian (Babilon) dan Yudaisme sendiri (nama Lilith diinspirasi dari kata Lilitu yang bermakna roh).
Dan tentu saya, dari akar yang bermasalah tentunya akan muncul buah yang hampir pasti juga sama bermasalahnya.
 Sebagai penutup ada baiknya kita renungkan Surat Al Baqarah ayat ke 75:

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?. “

Wallahu a’lam bisshowwab

Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

Self Reflection

Setelah sekian lama bergulat dengan perasaan gak jelas, entah bersalah, tidak peduli, apatis atau apa namanya saya sendiri kesulitan menemukan kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. yang pasti, gak ada yang salah dengan pemikiran saya selama ini, tentang tulisan-tulisan yang telah saya post di blog sederhana ini, semuanya (hampir 98%) hasil pemikiran saya sendiri. Plus yang membuat saya terhenti untuk sementara adalah pergulatan batin yang bagi saya adalah medan peperangan yang seakan tak akan pernah bisa saya menangi. Berkomunikasi pada alam bawah sadar sendiri adalah salah satu pertanda kecerdasan seseorang (katanya hehe), tapi bagaimana kalau pemikiran itu menjadi sebuah perangkap, atau bahkan penjara yang mengungkung kebebasan berpikir mu dan kau menjadi kerdil sejak dalam pikiran sendiri. Pada intinya saya menjadi semakin realistis (klise memang), dikarenakan hidup (realitas) meng-KO- saya keras sekali sampai menghujam ke bumi, menyadarkan saya kalau hidup tidak seperti y