Kartini adalah
perempuan yang terlahir dari kalangan priyayi Jawa pada tanggal 21 April 1879.
Ia putri dari Bupati Jepara Raden Mas Sosroningrat dari istri pertamanya, namun
bukan yang utama. Artinya ketika menikah
dengan ibunda Kartini yakni M.A. Ngasirah ia masih menjabat sebagai seorang
wedana di Mayong. Seiring berjalannya waktu R.M. Sosroningrat diangkat menjadi
Bupati, namun peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang Bupati
beristrikan seorang bangsawan. Sedangkan ibunda Kartini bukanlah keturunan
bangsawan, maka ayahnya menikah lagi dengan anak keturunan Raja Madura yakni
Raden Ajeng Woerjan (Moerjam). Dari keduanya terlahir sebelas putra dan putri,
Katini adalah anak kelima dari sebelas saudara kandung dan tiri, juga merupakan
anak perempuan paling besar dari dua saudara perempuannya yang lain. Dari
ketiga anak perempuan itu, Kartini lah yang memiliki karakter yang berbeda,
lain dari pada yang lain. Semenjak kecil ia sudah sangat lincah dan terlihat
kecerdasan juga keunggulannya dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain.
Sejak itu hingga usianya 12 tahun Kartini di masukan ke sekolah elit
orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di
sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa terutama anak Belanda.
Setelah usia 12 tahun, Kartini
mulai dipingit layaknya anak-anak keluarga priyayi Jawa lainnya dan pada waktu
itu lingkungan keluarga Kartini masih sangat kental dengan kultur mistis dan
kebatinan. Dari sinilah mulai terjadinya pergolakan batin yang luar biasa dalam
diri Kartini, adat istiadat yang telah berurat akar itu dianggap telah
mengekangnya sebagai perempuan. Ia merasa haknya untuk mendapatkan pendidikan
secara utuh terbatasi, tidak seperti teman-temanya di Eropa sana yang bebas
mendapatkan pendidikan. Sejak saat itu pula ia sering melakukan korespondensi
dengan teman-temannya yang kebanyakan orang Belanda dan berdarah Yahudi,
seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang
ditugaskan oleh Snouck Hurgronje untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri
adalah seorang wanita kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Tokoh lain yang berhubungan dengan
Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk
Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota
Partai Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian
Snouck Hurgronje (Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan
Hindia Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil
Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang
feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme,
Estella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij
(SDAP).
Kartini
berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang
di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella.
Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai
ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Dalam sebuah
suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902, Stella mengakui sebagai
seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya dan Kartini mempunyai kesamaan
pemikiran tentang Tuhan. Stella mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang
Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami
mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan. ”
Dr Th Sumarna dalam bukunya ”Tuhan
dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” menyatakan ada surat-surat Kartini
yang tak diterbitkan oleh Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat yang
berkaitan dengan pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme (kebatinan dan
mistis). Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut tak diterbitkan. Ny
Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul ”Door
Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan mengenai
kepercayaan Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari surat-suratnya yang
ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol. Seperti diketahui, okultisme
banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi, sebagai bagian dari
ritual perkumpulan mereka.
Berikut ini surat-surat Kartini
yang sangat kental dengan pemahaman kebatinan Theosofi, sinkretisme yang
mengusung doktrin humanisme dan pluralisme agama:
”Ya
Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada
agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak
berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan
darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam
berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan
Tuhan Yang Sama.” (Surat Kartini kepada Stella Zehandelaar, 6 November 1899)
”Agama
dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahmi antara
semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat,
perempuan atau laki-laki, kepercayan, semuanya kita ini anak Bapak yang seorang
itu, Tuhan yang Maha Esa!” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
”Sepanjang
hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan
untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi
Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat
hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny. Abendanon, 14
Desember 1902)
”Ketahuilah
nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan
daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami;
mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat denan
kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya,
dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar,
barhasil dengan “obat tukang jamu”. Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh saya
minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah saya
menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan.” (Surat
Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
”Kami
bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah
orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi
kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna…” (Surat Kartini
kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama
yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai
Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat kepada Ny. Van Kol, 31 Januari
1903)
”Kalau
orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka
Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik
Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C
Abendanon, 31 Januari 1903)
”Ia
tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan
kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902)
”Betapapun
jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu
tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan
sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat Kartini kepada N.
Adriani, 24 September 1902)
“Orang
yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut
Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam
kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal
menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.”
(Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari
berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia
memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat
kami berpikir.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).
Ada beberapa hal yang menarik yang
harus kita telusuri dan analisis bersama terkait Apakah korespondensi Kartini
dengan para keturunan Yahudi penganut humanisme, yang juga diduga kuat sebagai
aktivis jaringan Theosofi-Freemasonry, berperan penting dalam mempengaruhi
pemikiran Kartini? Ridwan Saidi dalam buku “Fakta dan Data Yahudi di Indonesia”
menyebutkan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit Jawa
dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini menjadi bidikan
kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang
Belanda saat itu. Betapa tidak, ia adalah salah satu sosok perempuan berbeda
dengan perempuan pada umumnya di masa itu, ia cerdas, berpikiran maju dan
pergaulannya luas, namun sayang selama proses perjalanannya itu ia belum
menemukan jati dirinya sebagai perempuan Indonesia yang beragama islam
(muslim). Sebenarnya ia hanyalah remaja lugu dan polos yang masih memerlukan
bimbingan juga pemahaman terkait agamanya. Ia merasa kecewa terhadap agamanya
dikarenakan suatu ketika ia sedang belajar ngaji kepada salah seorang gurunya,
dan menanyakan arti dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang sedang dibacanya itu,
maka sang guru melarangnya untuk menanyakan hal-hal yang dianggapnya sakral dan
tidak perlu dipertanyakan lagi. Dari sana timbul rasa kecewa terhadap
ajarannya, kenapa ia tidak boleh menanyakan hal itu, padahal ia ingin memahami
agamanya. Semenjak itu ia sempat tidak mau mengikuti pengajian lagi, karena
menurutnya ketika ia mempelajari sesuatu yang tidak dimengertinya juga tidak
dipahaminya untuk apa? Percuma, hanya buang-buang waktu dan tenaga. Hal itu
terlihat dari surat kiriman Kartini mengenai agamanya kepada Stella:
Mengenai
agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya
mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena
nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak
mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti
bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa
yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi
tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau
mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi
tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi
orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah
begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
“Dan
waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan
apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal
perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya,
dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku
apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia
itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. (Surat Kartini
kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902)
Dari surat-surat itu menegaskan
bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang kritis, yang serba ingin tau atas apa
yang sedang ia baca dan ia pelajari. Kecerdasan Kartini itu juga terbukti dengan
diterimanya lamaran pengajuan beasiswa ke Belanda oleh pemerintah
Hindia-Belanda, namun dengan beberapa pertimbangan dan sulitnya mendapatkan
ijin dari pihak keluarga akhirnya ia tidak jadi berangkat, dan beasiswa itu
diserahkan kepada sahabatnya yakni H.Agus Salim. Sayangnya, pada saat itu
kondisi Indonesia sedang mengalami gejolak pergerakan kaum muda, yang
mengharuskan H.Agus Salim sebagai salah seorang tokoh dari kalangan pemuda
untuk tetap berada di tanah kelahirannya. Sementara itu, Kartini pun menikah
dengan Bupati Rembang Adipati Djojodiningrat yang dikenal sebagai Bupati yang
maju dan berpikiran modern yang dilangsungkan dengan cara yang sederhana.
Sebelumnya
kita tahu bahwa yang merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda
adalah Christian Snouck Hurgronje, ia yang mendorong J.H Abendanon agar
memberikan perhatian lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat
Abendanon yang dianggap oleh Kartini dan para sahabatnya (termasuk H.Agus
Salim) mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar
Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara
Abendanon dan Kartini di Jepara. Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan
Politik Etis, dan penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh
perhatian kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya. Hurgronje
berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk mengikuti sistem
pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar. Langkah ini persis
seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat lembaga
”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda
yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari
”Dienaren van Indie” kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan
Freemasonry. Maka dari itu, dengan tidak jadinya Kartini juga H.Agus Salim
berangkat ke Belanda untuk menimba ilmu disana melalui jalur beasiswa yang
ditawarkan oleh pihak mereka adalah rencana dan takdir Allah yang terbaik,
karena jika salah satu dari mereka ada yang berangkat mungkin sejarahnya tidak
akan seperti ini lagi. Hal itu juga secara tidak langsung sudah menggagalkan
rencana mereka dalam proses asimilasi dan pendoktrinan ajaran
Theosofi-Freemasonry kepada generasi muda Indonesia. Allahu Akbar..!
Kembali
lagi kepada pembahasan, ketika kita berbicara mengenai sosok Kartini, tentu
kita harus melihatnya dari berbagai arah dan sudut pandang. Sungguh tidak adil
ketika kita melihat sejarah hanya
berdasarkan pandangan subyektif seseorang atau beberapa tokoh saja, tentu kita
harus berpandangan objektif dan harus memahaminya secara integral jangan
parsial. Begitupun ketika kita ingin lebih mengenal siapa sosok Kartini
sesungguhnya, janganlah hanya membaca salah satu buku kumpulan tulisan-tulisannya
yang diterbitkan oleh Abendanon. Jika kita hanya bersumber kepada buku itu,
pastilah kita sudah mendefinisikan bahwa sosok Kartini tidak lebih dari sosok
perempuan yang hanya bisa curhat lewat surat-surat yang dikirimkannya kepada
orang-orang Belanda itu, dan tak ubahnya bahwa Kartini adalah penganut Theosofi
dan Pluralisme juga penganut paham Feminisme. Kita tidak tahu bahwa Abendanon
adalah seorang pemerintahan Belanda yang membawa misi orientalis itu jujur atau
tidak dalam menerbitkan tulisan-tulisan Kartini, siapa tau telah melalu proses
pengeditan beberapa kali. Selain itu, ternyata tidak semua surat yang
dikirimkan oleh kartin diterbitkan, bahkan tadi mungkin yang telah diterbitkan
pun telah mengalami proses editing atau rekayasa dan sebagainya (Wallahu’alam
bishowab). Terbukti didalam bukunya ia tidak menceritakan pertemuan Kartini
dengan salah seorang ulama terkemuka di Jawa yakni Kyai Haji Muhammad Sholeh
bin Umar dari Darat, yang lebih dikenal dengan Kyai Haji Sholeh Darat (guru
para ulama besar di Indonesia diantaranya: KH. A.Dahlan (pendiri Muhamadiyah)
KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama NU)). Sejarah ini dituliskan dalam
buku Tragedi Kartini (2001), Asma Karimah.
Dalam
buku itu disebutkan, suatu ketika ia pergi berkunjung ke rumah pamannya seorang
Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Pada saat itu dirumah pamannya sedang
dilangsungkan acara pengajian bulanan keluarga, dan Kartini pun ikut
mendengarkan dibalik hijab (tabir) bersama Raden Ayu yang lainnya. Ia tertarik
dengan pengajian yang disampaikan oleh Kyai Sholeh Darat yang saat itu membahas
tentang tafsir Al-Qur’an Surah Al-Fatihah. Selesai acara pengajian pun Kartini
mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai tersebut. Berikut adalah
dialognya seperti yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh
Darat:
“Kyai,
perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang
berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”. Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar
pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng
bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau
saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam
pikirannya.“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan
arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan
sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku
heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu
justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Pertanyaan itu membuat Kyai Sholeh
Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa. Tapi pada
saat itu pemerintah kolonial Belanda secara resmi membuat larangan bahwa tidak
ada yang boleh menerjemahkan Al-Qur’an. Dengan kecerdasan dan kecerdikan sang
Kyai, akhirnya beliau tetap menerjemahkan Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa dengan
menggunakan huruf Arab Pegon, tujuannya agar tidak terbaca oleh para kolonial
dan tidak dicurigai bahwa sebenarnya itu adalah terjemahan Al-Qur’an dalam
bahasa Jawa. Dihari pernikahan Kartini dengan Bupati Rembang Adipati
Djojodiningrat, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Al-Qur’an (Faizhur
Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surah
Al-Fatihah sampai dengan Surah Ibrahim. Alangkah senangnya Kartini mendapatkan
hadiah terjemahan Al-Qur’an itu terlihat dari ungkapannya “Selama ini
Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak
mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari
ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam
bahasa Jawa yang saya pahami.” Mulailah
Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama
setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum menyelesaikan
penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa. Nama Kyai Sholeh Darat tidak pernah
dituliskan secara eksplisit oleh Kartini dalam surat-suratnya, namun kegembiraan
Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah ia tuliskan dalam salah satu
suratnya.
”Wahai!
Kegembiraan orang-orang tua mengenai kembalinya anak-anak yang tersesat kepada
jalan yang benar demikian mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya
yang sungguh-sungguh tentang hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama
Jawa. Kebanyakan ditulis dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi
membaca dan menulis huruf Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu
sukar sekali didapat, karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja
yang dicetak.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 17 Agustus 1902)
Setelah mendapatkan hadiah
terjemahan Al-Qur’an dari Kyai Sholeh Darat Kartini sering menghabiskan
waktunya dengan membaca terjemahan itu. Kyai Sholeh telah membawa Kartini ke
transformasi spiritual. Pandangan Kartini terhadap Barat (baca:Eropa) berubah.
Hal itu terlukiskan dalam surat-surat yang ditulis Kartini pada masa itu.
“Sudah
lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar
satu-satunya yang paling baik, tiada tarnyaa. Maafkan kami. Tetapi apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu
terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?” (Surat
Kartini kepada E.C Abendanon 27 Oktober 1902 )
“Kami
sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang
setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (Surat Kartini kepada Ny.
Abendanon, 10 Juni 1902)
“Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama
Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Astaghfirullah,
alangkah jauhnya saya menyimpang”
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 5 Maret
1902)
“Ingin
benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah.”
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus
1903)
Demikianlah, menilai Kartini dengan
parsial tentu akan mendzaliminya. Jika kita ibaratkan Kartini adalah suatu Maha
Karya ciptaan Sang Khaliq maka kita menggunakan orientasi objektif dalam
menilainya, yakni memandang suatu karya sebagai sesuatu hal yang mandiri,
otonom dan mandiri. Karena kita tahu bahwa Kartini juga manusia biasa yang tak
luput dari salah dan khilaf, ketika dulu kehidupan ia yang kental dengan
ajaran-ajaran theosofi, sinkretisme dan plural semata-mata itu dikarenakan
doktrin dan pengaruh misionaris yang memanfaatkan kecerdasan Kartini demi
kepentingan mereka. Seolah-olah mereka ingin menanamkan pola pikir dan
pemahaman Barat (Eropa) pada sosok perempuan pribumi yang mampu mempengaruhi
dan menjadi sumber inspirasi kaum perempuan Indonesia kedepannya, akhirnya
masyarakat indonesia khususnya kaum perempuan beranggapan bahwa perempuan hebat
itu ialah mereka yang dididik oleh Barat (Eropa), padahal kenyataanya tidak
seperti itu. Semula memang karena keterbatasan dan kurangnya pengetahuan
Kartini tentang agama menjadi salah satu penyebab ia mudah terpengaruh dan
terpropokasi oleh kaum misionaris. Sehingga masa itu bisa dikatakan masa
gelapnya ia, ketika pemikirannya banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau
ajaran freemason juga keyakinan terhadap agama atau kepercayaannya masih sangat
lemah. Namun setelah bertemu dengan Kyai itu, Kartini akhirnya menemukan cahaya
yang dari dulu ia cari. Meskipun tidak lama ia meraihnya, karena setahun
setelah ditinggalkan oleh Kyai, Kartini pun meninggal dunia diusianya yang
ke-25 tahun. Sebagai seorang muslim tentu kita berharap, Kartini meninggal
dalam keadaan sempurna keislamannya, tanpa ada lagi noda-noda pemahaman yang
mengganggap semua agama sama (pluralisme).
Dan yang harus kita ketahui bahwa emansipasi yang diusung Kartini dulu
berbeda dengan emansipasi yang digembar-gemborkan saat ini. Ketika dulu Kartini
menuntut haknya sebagai seorang perempuan untuk bebas mendapatkan pendidikan
dan pengajaran untuk bekal hidupnya juga peranannya kelak menjadi seorang istri
dan ibu dari anak-anaknya. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada
Prof.Anton dan istrinya:
“Kami
di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan
sekali-kali kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki
dalam perjuangan hidupnya. Tapi kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali
bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya,
kewajiban yang diserahkan alam sendiri kedalam tangannya: menjadi ibu, pendidik
manusia pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober
1902)
Sedangkan
emansipasi yang ada sekarang, lebih menuntut untuk kesamaan gender antara kaum
laki-laki dan perempuan, bahkan kalau sebagian paham feminisme di Barat
menuntut emansipasi itu agar kedudukan perempuan lebih tinggi dari pada
laki-laki. Padahal hal itu sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Q.S.
Al-Baqarah ayat 228 dijelaskan bahwa kaum laki-laki memiliki perbedaan dengan kaum
perempuan, dan Allah memberikan kelebihan kepada kaum laki-laki dalam hal
kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum perempuan.
Diantara kita mungkin ada yang
keberatan atau beranggapan tentang hal yang dilakukan Kartini itu adalah
sesuatu yang biasa (karya kecil). Kalau hanya sekedar wacana surat-menyurat
semua orang juga bisa melakukannya, dan kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh
pejuang perempuan yang lainnya seperti Rohana Kudus, Dewi Sartika dan Cut Nyak
Dien, Kartini tidaklah ada apa-apanya. Mereka lebih berkarya dan beraksi juga
berkontribusi secara nyata dengan mendirikan sekolah khusus perempuan dan
adengan langsung turun ke medan perang. Tapi terlepas dari semua itu, tetap
kita harus menghargai apa yang telah Kartini lakukan pada masa itu. Mungkin
ketika kita melihat apa yang dilakukan Kartini itu dari kaca mata modern tidak
akan ada apa-apanya tapi lihatlah seuatu itu sesuai dengan zamannya. Kalau kata
Ustadz Salim A. Filah dalam artikelnya yang berjudul Kartini, ‘Kerinduan pada Cahaya
di Tengah Gulita’ menyebutkan “Tentu saja, jika semua pembawa cahaya untuk
zamannya ditimbang dengan ukuran masa kini, maka mereka hanya akan menjadi
lentera usang penuh noda. Lihatlah Kartini dan ukurlah dengan zamannya ketika
da’wah adalah kata yang nyaris asing. Selebihnya, mari berrendahhati untuk
mengakui keagungan para pendahulu..” Pada masa itu tidak banyak kaum perempuan
yang memiliki cara pandang juga pemikiran yang berorientasi pada masa depan
bangsa (visioner) seperti Kartini, yang gagasannya itu dituangkan kedalam
bentuk tulisan, tak lain itu adalah salah satu bentuk protes juga usahanya
untuk menyampaikan aspirasi sebagai kaum perempuan yang merasa haknya belum ia
dapatkan sepenuhnya. Kita akui bahwa pada zaman itu Kartini membuktikan pribahasa
yang menyebutkan bahwa “pena bisa lebih tajam dari pedang”, lantas apakah
pribahasa itu masih berlaku di zaman sekarang? Jawabannya dikembalikan lagi
kepada pembaca. Begitupun ketika sekarang kita berbicara tentang Kartini,
membahas panjang lebar tentang sejarah kehidupan, pemikiran, juga orang-orang
yang ada disekelilingnya tak lain tujuannya agar sosok Kartini yang dijadikan
sebagai pahlawan nasional terlihat utuh, tidak parsial. Mulai dari masa
jahiliyahnya (gelap) hingga cahaya islam itu datang kepadanya. Karena
hakikatnya setiap orang itu bisa disebut sebagai pahlawan dalam bidangnya dan
pada zamannya, dan Kartini adalah pahlawan pada bidang tertentu di zamannya.
Selain itu pasca penerbitan buku kumpulan surat-surat Kartini, membawa dampak
positif kepada pergerakan kaum muda hususnya kaum perempuan dalam peranannya
untuk memajukan agama juga bangsanya. Seperti terlahirnya Rahmah El Yunusiyyah
tokoh perempuan yang bergerak dibidang pendidikan untuk perempuan dari Sumatra
Utara.
(dari Berbagai Sumber)
by BPP KAMMI UPI
Comments
Post a Comment