Skip to main content

Pendidikan Kapitalis


Lucu, mungkin adalah kata yang terhitung “nyeleneh” untuk mendeskripsikan bagaimana kasus tawuran antar SMA yang terjadi di Kebayoran Baru, Jakarta baru – baru ini. Lucu karena pertama kasus ini sudah terjadi berkali – kali tanpa ada tindak lanjut komperhensif, lucu karena pun setelah jatuh korban jiwa, baik dari pihak sekolah maupun orang tua siswa tidak ada yang berani dengan gentle menyatakan tanggung jawabnya terhadap insiden ini, lucu karena bahkan masyarakat sekitar sudah tidak mau ambil pusing kalau ada tawuran antar pelajar dan memilih berlindung masing – masing.
            Yang jauh lebih lucu sebenarnya adalah wajah pendidikan di negeri kita ini, terutama yang berkembang di kota – kota besar seperti Jakarta salah satunya. Sekolah yang memiliki embel – embel RSBI, SSN, dan entah akronim apalagi kini menjadi tujuan serbu para wali murid pada saat tahun ajaran baru agar anak – anaknya dapat bersekolah di tempat tersebut. Bahkan walau quota penerimaan murid baru sudah habis, para wali murid bahkan ada yang itdak segan untuk merogoh kantong lebih dalam agar anaknya bisa tetap asuk ke sekolah yang dimaksud, dan kalau wali muridnya kebetulan adalah orang penting atau berstatus pejabat maka istilah yang jamak dipakai adalah “nitip”.
            Wali murid pada umumnya berharap agar anak – anak mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas, tapi lucunya mereka bahkan kurang paham dengan apa yang dimaksud dengan pendidikan itu sendiri. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman inilah yang mengakibatkan maraknya kasus kapitalisme pendidikan di Indonesia ini.
            Pendidikan dalam pola pandang kapitalisme dianggap hanya sekedar pembantu untuk mencetak buruh – buruh kelas menengah yang memiliki keterampilan (buruh dalam kacamata kapitalisme adalah mesin berwujud manusia yang hanya akan dianggap berguna ketika ia mampu berfungsi. Tidak dianggap memiliki jiwa, perasaan, dan kalau sudah “rusak” tinggal dibuang lewat mekanisme PHK.) sedikit lebih baik dari mereka yang tidak berpendidikan. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, pola yang sedemikian tidaklah lagi perlu dicapai lewat jalan pendidikan (baca:sekolah), karena keterampilan – keterampilan tersebut ternyata bisa didapat lewat jalur lain. Kini ketika sekolah sudah tidak lagi efisien menjadi pemasok buruh bagi pabrik – pabrik industry, maka sekolah pun dialih fungsikan menjadi “pabrik” itu sendiri dengan harapan mampu melahirkan produk siap pakai bernama “buruh professional”. Jika dulu kemanusiaan manusia itu direnggut saat mereka bekerja, kini kemanusiaan kita direnggut sejak masuk sekolah.
            Pola pandang kapitalistik yang sedemikian mungkin tidak pernah terbesit dalam benak para wali murid tersebut, sebab bagi mereka pendidikan ditafsirkan secara sederhana dan semata - mata hanyalah proses belajar mengajar yang memiliki efek positif untuk tumbuh kembang dan masa depan sang anak tercinta, dan agar konsepsi “lugu” para wali murid ini tidak bertentangan dengan tujuan besar kapitalisme, maka dibuatlah jembatan halusinatif bernama “Gengsi”.

            Sistem pendidikan kapitalis selamanya tidak akan pernah mampu memberikan pendidikan yang manusiawi, baik itu secara keilmuan maupun prestasi yang sejati, maka demi menumbuhkan minat masyarakat terhadap system pendidikan mereka dibuatlah konsep “sekolah bergengsi”, “sekolah bonafit”, dan “sekolah prestisius” yang mampu memberi ilusi – ilusi kesuksesan dan keberhasilan serta prestasi yang memukau kepada para wali murid. Inilah yang menjadi marak akhir – akhir ini, sekolah yang berfondasikan “image”.
           Apa yang menjadi sasaran tembak kaum kapitalis ini adalah sisi psikologi kita sebagai manusia yang punya kecenderungan kuat untuk berbangga diri lewat hal – hal yang sangat mudah dimanipulasi. Maka ketika seseorang sudah memasukkan anaknya ke sekolah dengan taraf internasional dia dengan yakin dan penuh kebanggaan merasa telah memasukkan anaknya ke sekolah dengan kualitas terbaik.
            Suatu ketika penulis mendengar percakapan dua orang guru yang sedang mengeluh tentang beberapa orang muridnya yang tidak memiliki kelayakan untuk naik kelas tapi kemudian dipaksakan untuk naik hanya demi mempertahankan gengsi sang kepala sekolah, plus ditambah sekolahnya itu sendiri adalah sekolah yang terkenal “bergengsi” dengan kurikulum luar negeri, di lain tempat seorang murid dari keluarga yang kurang mampu merasa terbebani dengan perintah sekolah yang mewajibkan anak muridnya untuk memiliki laptop karena kini sekolahya sudah dapat gelar RSBI, ada juga bahkan dua sekolah ternama dan bonafit dengan prestasi segudang tapi siswanya selalu terlibat tawuran, dan sejuta kasus miris lainnya yang mungkin kini sudah terlupakan.
            Fakta yang ada seolah kalah bicara dengan pencitraan yang terus berlangsung. Jika kebohongan yang terus diulang kelak akan dianggap sebagai sebuah kebenaran, bagaimana dengan kesalahan yang terus berulang?, apakah kelak akan disebut sebagai sebuah kewajaran?. Rasanya absurd ketika novel Laskar Pelangi begitu disambut dan dipuji setinggi langit, tapi kenyataan dunia pendidikan kita tidak juga berubah.
            Permasalahan ini bukan milik kita saja yang berdomisili di Indonesia, bahkan di Negara maju seperti Jepang juga memiliki persoalan yang serupa, ini dapat dilihat dari maraknya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh para pelajar, betapa gengsi sebuah universitas sangat menentukan karir dan masa depan seseorang. Mungkin diantara pembaca ada yang tidak asing dengan serial Great Teacher Onizuka, baik lewat manga ataupun serial TV nya yang sarat dengan kritik tajam dunia pendidikan yang memberi jalan keluar lewat konsepsi humanisme. 

Islam Menawarkan Solusi Konkrit
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Mulia. Yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”
(QS: Al ‘Alaq ayat 1 s/d 5)
            Esensi dari pendidikan adalah wujud ilmu, kesalahan dalam memaknai dan memahami ilmu tentunya akan berimplikasi pada kesalahan dalam mengonsep pendidikan. Kapitalisasi pedidikan adalah buah busuk dari konsep ilmu dalam peradaban barat, bagi mereka (barat) ilmu dianggap netral dan bebas nilai, ilmu untuk ilmu, maka rumus matematika yang dibuat oleh pembunuh berantai dengan rumus matematika yang dirangkai oleh seorang dermawan bagi mereka statusnya sama, mereka tidak mengenal konsep nilai dalam ilmu karena nilai sudah dihancurkan lewat dekonstruksi postmodern, ilmu, tidak peduli untuk berbuat jahat atau baik akan dianggap sebagai ilmu.
            Islam dalam memandang ilmu tidaklah demikian, ilmu justru dipandang sarat nilai, ini dapat kita pahami ketika Al Waqi’ memberi jawaban kepada Imam Syafi’i saat beliau bertanya bagaimana solusi agar mudah belajar/menghafal, Al Waqi’ berkata bahwa ilmu itu cahaya, maka cahaya Allah (Ilmu Allah) tidak akan member petunjuk bagi seorang pendosa (ahli maksiat). Ilmu dalam pandangan Islam adalah jembatan utama bagi manusia untuk memenuhi eksistensinya sebagai makhluk ciptaan yang tiada lain dan tiada bukan adalah penghambaan kepada Allah SWT Sang Pencipta.
            Maka jelaslah missing link yang telah terjadi dalam dunia pendidikan kita ini, betapa pendidikan yang menjadi pengejewantahan proses penyebaran ilmu tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi manusianya agar menjadi lebih dekat kepada Tuhannya, maka tidaklah mengherankan pendidikan yang sedemikian menjadi begitu rusak.
            Pesan penulis untuk para orang tua. Pendidikan bukan hanya urusan dunia saja, tapi juga berkaitan erat dengan urusan akhirat, jangan pernah ragu untuk berpikir pelik perihal pendidikan bagi anak, selalu persiapkan segala sesuatunya dari jauh – jauh hari, jangan terbuai oleh gengsi dan “bungkus luar” yang mempesona, terakhir dan paling penting, janganlah bosan – bosan mohon petunjuk pada Allah SWT karena Dialah sebaik baiknya pemberi petunjuk.
Wallahu a’lam




Comments

Popular posts from this blog

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELES Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu: • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: • Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. • Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

Pendidikan Tidak Membuat Seseorang Menjadi Kaya

Pendidikan yang tinggi tidak membuat seseorang menjadi kaya, kerja keras dan usaha iya. Pendidikan hanya membuka perspektif baru yang lebih luas terhadap seseorang, memberi nya lensa baru, kacamata yang lebih beragam, berbeda dan lebih berwarna dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kehidupan setelah menempuh pendidikan, adalah fase dimana seseorang sadar kalau dirinya tak disiapkan untuk menghasilkan uang, karna memang bukan itu tujuan dari sebuah pendidikan. Kita semua menyadari kalau pendidikan dinegeri ini mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi materi pembelajaran utamanya masih hanya berupa teori minim eksekusi atau praktek. Alhasil siswa yang dihasilkan hanya pintar bicara tapi minim aksi nyata. Konsep pemikiran buah dari pendidikan yang tinggi kalau hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya harus segera diubah, karna materi sebagai sebuah tujuan sangat kecil nilainya dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ilmu tidak bisa dibandi

HIDUP DIATAS STIGMA (puisi essay)

Tak pantaskah aku hidup selayaknya mereka? Tak bisakah aku bermain selayaknya anak biasa? Tak ada lagikah bagiku kesempatan untuk menuliskan cita-cita tanpa embel-embel pembangkangan dibelakangnya? Tak adakah harapan bagiku menjalani sisa hidup tanpa stigma atas dosa masa lalu ayah ibuku yang tak sepenuhnya mereka kerjakan? Inikah garis hidup yang engkau gariskan Tuhan, pada seorang gadis kecil tak tahu apa-apa dan tak tau arah mengadu kemana? PROLOG Gadis kecil itu tak tahu apa-apa Ditinggal ayah dan bundanya entah kemana Orang bilang diasingkan atau dilenyapkan Sungguh dua kata asing baginya dan semakin membingungkan saja Berjalan sendiri mengarungi hidup Tanpa punya tempat mengadu dan menyandarkan bahu kecil dan tubuh kurusnya Si gadis kecil dengan mimpi besar Seolah berjalan sendiri tanpa harapan Diana namanya. Ya, hanya diana saja Tanpa embel-embel nama belakang Apalagi bin dan binti yang menandakan kalau dia punya orang tua Setiap k